Sekolah Katolik Berorientasi Bisnis?

( Oleh :  Idus Masdi )

Salah satu tujuan berdirinya Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) adalah memberikan kesempatan kepada semua anak didik untuk mendapat pendidikan, karena pendidikan merupakan hak asasi setiap orang. Dan seluruh  arah pendidikan Katolik saat ini mengacu pada  amanat pendidikan yang tercantum dalam Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen yang terdiri atas 12 artikel.

Dari 12 artikel  yang secara khusus berbicara tentang  Sekolah Katolik adalah artikel 8. Dalam artikel ini secara tegas diungkapkan bahwa sekolah Katolik didirikan dengan tujuan untuk mengejar tujuan-tujuan budaya dan pendidikan manusiawi. Tetapi ciri khasnya ialah menciptakan lingkungan hidup bersama yang dijiwai oleh semangat injil, kebebasan dan cinta kasih. Pengetahuan  yang mereka peroleh mengenai dunia, kehidupan dan manusia juga harus didasari iman, agar mereka menjadi ragi keselamatan bagi masyarakat. Nah, untuk mengimplementasikan  harapan itu, maka Gereja berhak mendirikan dan mengurus segala macam sekolah pada semua tingkat. Guru memainkan  peranan utama dalam melaksanakan visi dan misi  Sekolah Katolik. Oleh karena itu mereka perlu disiapkan secara sungguh-sungguh baik dalam bidang ilmu pengetahuan,  program termasuk metolologi pendidikan maupun dalam hal iman atau keagamaan.

Idealisme seperti yang terungkap dalam artikel diatas mesti bisa diwujudkan  oleh setiap Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) atau Yasayasan Pendidikan Katolik. Untuk mendaratkan harapan itu memang  tidak mudah sebab selalu ada dilema yang dihadapi  oleh setiap sekolah Katolik. Menurut Pastor Dr. V. Darmin Mbula, OFM, Ketua Majelis Pendidikan Katolik (MPK), KWI, dilema yang sering dialami sekolah Katolik adalah bagaimana sekolah itu bisa menjalankan  misi Katolik demi kebaikan manusia  di satu sisi, dan bagaimana mencari keuntungan dari sisi bisnis agar kegiatan operasional sekolah tetap berjalan dengan baik.  Tapi ia melihat  bahwa tuntutan untuk melaksanakan misi Katolik dan orientasi sekolah untuk meraih keuntungan sering bercampur aduk. Alasan klasik yang diseringkan dikemukakan oleh beberapa sekolah yang mematok biaya pendidikan yang cukup tinggi, kata Ketua MPK ini,  adalah tidak mungkin menyelenggarakan sekolah kalau tidak ada biaya. Karena itu, demi mempertahankan mutu atau kualitas, ada beberapa sekolah Katolik  menetapkan biaya masuk yang cukup tinggi dengan angka belasan juta dan bahkan ada yang puluhan juta.

Tetapi Pastor Darmin tidak sependapat kalau dipukul rata bahwa semua sekolah Katolik  mahal. Dalam pengamatannya  ada beberapa model penyelenggaraan sekolah Katolik di Indonesia. Namun ia tidak menyangkal adanya beberapa sekolah Katolik yang jumlah muridnya banyak, mayoritas dari suku tertentu,  dan berkualitas. Untuk mempertahankan  mutu maka dikenakan biaya yang cukup tinggi. Tetapi ada juga sekolah katolik yang muridnya sedikit dan tidak berkualitas. Namun ada juga yang jumlah siswanya sedikit, tapi berkualitas. Selain itu, sekolah Katolik juga  berada dalam beberapa manajemen. Ada sekolah Katolik yang berada langsung dibawah pengelolaan keuskupan, misalnya Strada yang berada langsung dibawah KAJ. Tetapi ada juga sekolah Katolik yang dikelola  oleh paroki, kongregasi atau  tarekat, dan ada sekolah milik awam Katolik.  

Terkait dengan tingginya  biaya yang ditetapkan di beberapa sekolah Katolik terkenal, sehingga siswa yang tidak mampu  secara finansial tidak mempunyai akses ke sekolah tersebut, Br. Heribertus Sumarjo, FIC, mengatakan bahwa pihaknya tidak sependapat  dengan opini yang beredar di tengah masyarakat kalau sekolah-sekolah Katolik hanya untuk orang yang mampu bayar (Lih. Wawancara di Rubrik Bincang). Menurut Ketua Komisi Pendidikan KAJ ini, sekolah Katolik itu  bersifat universal, di mana di dalamnya ada yang miskin, pintar, dan mampu. “Yang harus dilakukan adalah solidaritas, di mana yang mampu atau yang kuat harus membatu orang yang miskin. Tidak bisa dikatakan bahwa sekolah Katolik hanya untuk orang yang mampu saja,” tegasnya.

Selain itu, Bruder Heribertus juga menepis anggapan tentang adanya ketentuan minimal  uang muka yang ditetapkan oleh beberapa sekolah Katolik sebagai syarat untuk diterima di sekolah tersebut. Ia yakin tidak ada ketentuan  atau peraturan seperti itu. Menurutnya, acuan dalam pendidikan Katolik  adalah karya Yesus, di mana Yesus hadir untuk orang miskin. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh Gereja yakni hadir di tengah orang miskin. Bila mengacu pada karya Yesus, maka rumusanya ialah tidak  boleh ada satu pun sekolah Katolik  yang tidak menerima atau mengeluarkan anak hanya gara-gara uang. Tidak ada rumusan itu dalam sekolah Katolik. Anak-anak tidak boleh dikeluarkan dari sekolah hanya karena tidak mampu bayar.

Ketua Komisi Pendidikan KAJ itu juga menambahkan,  kalau ada  sekolah Katolik mengeluarkan anak-anak dari sekolah karena tidak mampu membayar, maka sekolah tersebut telah  melanggar Nota Pastoral KWI tentang Lembaga Pendidikan Katolik (LPK), artikel  4.4. Dalam artikel tersebut secara tegas diungkapkan bahwa setiap LPK mempunyai kewajiban untuk berpihak kepada  orang miskin dan ini merupakan kebijakan asasi. Sebab hanya dengan ini, LPK dapat mewujudkan amanat Sang Guru dari Nazareth yang mendahulukan orang yang miskin. “Jadi yang perlu dilakukan sekolah di sini adalah bertobat dan mendalami ajaran Gereja, bahwa kehadiran sekolah Katolik adalah harus berpihak kepada orang miskin. Ini ajaran Gereja dan sesuatu yang asasi, sehingga tidak perlu diributkan lagi,” tegasnya.

Selain itu, ia juga menjelaskan soal pentingnya subsidi silang. Ia tidak menyangkal adanya kenyataan bahwa sekolah membutuhkan biaya agar tetap bisa menjaga mutu, sehingga tetap bersaing. Biaya yang tinggi, katanya, dapat disiasati dengan subsidi silang. Ia menegaskan bahwa subsidi silang itu sudah banyak dilakukan oleh Kongregasi yang menyelenggarakan pendidikan katolik. Kalau tidak dilakukan subsidi silang, maka sekolah akan nombok. Ia mengacu pada sekolah Budi Mulia yang dikelola oleh Kongregasi FIC. Kalau sekolah mengharapkan seluruh biaya operasional dari pendapatan (biaya SPP), maka Yayasan nombok hingga 2 persen. Dengan adanya subsidi silang maka orang-orang miskin yang tidak mampu bayar terlayani.  Ini harus dilakukan untuk memperlihatkan ciri khas kekatolikan. Karena, menurutnya, kalau sekolah Katolik tidak menerima anak-anak dari keluarga miskin atau tidak mampu, maka sekolah tersebut perlu pertobatan. Karena pendidikan itu adalah hak asasi setiap orang.

Ia juga menambahkan bahwa setiap  sekolah Katolik tidak boleh menyimpang dari ciri khas kekatolikan, karena itu perlu ada pengawasan. Hal ini sudah diatur dalam Kanon 806 Kitab Hukum  Gereja Tentang Pendidikan Katolik. Dalam kanon tersebut secara tegas diungkapkan bahwa semua sekolah Katolik, baik yang didirikan oleh awam, kongregasi, paroki, maupun keuskupan berada di bawah pengawasan uskup  setempat.

Sementara terkait dengan sistem manajemen sekolah diserahkan kepada masing-masing lembaga (yayasan), termasuk masalah uang. Kemudian kalau ada beberapa sekolah Katolik tidak mampu mengelola sekolahnya, maka keuskupan tidak bisa langsung mengambilalih. Pimpinan Gereja tetap berada pada koridor pengawasan dan tidak bisa mencampur terlalu jauh. Tetapi kalau memang kemudian sekolah tersebut diserahkan kepada Gereja, maka harus lebih dahulu dilakukan analisis.

(Sumber Foto : http://3.bp.blogspot.com/)

Leave a Reply

Scroll to Top