Setia Menghadirkan Tuhan

( Oleh : Pastor Lucky )

* sharing pelayanan di tanah misi

Dahulu pada jaman Soekarno, Papua disebut dengan Irian Barat. Dan masih teringat dalam otak ku bagaimana Laksamana Yosafat Sudarso berjuang untuk membebaskan Irian Barat dan meninggal dalam pertempuran di laut Aru. Kata IRIAN baru ku ketahui ternyata berarti Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Kini tanah Papua sudah terbebas dari belenggu penjajahan dan pada masa orde baru tanah Papua disebut sebagai Irian Jaya. Pada jaman Gusdur, nama Irian Jaya diubah lagi menjadi Papua untuk mengembalikan identitas asli penduduk daerah ini. Konon dari berbagai buku yang ku baca kata Papua berasal dari kata Pua-pua yang berarti keriting. Tentu makna kata Papua menunjuk pada identitas penduduk lokal yang berkulit hitam dan berambut keriting. Kini Papua dibagi menjadi 2 propinsi yakni Papua Barat yang beribukota di Manokwari dan Papua yang beribukota di Jayapura. Nama Papua mungkin lebih pas mengingat kata Jaya yang pernah disandangkan di pulau ini bernada ironis. Siapa yang Jaya? Ketika kenyataan di pedalaman banyak sekali kepedihan yang harus mereka rasakan? Anak-anak banyak yang tidak mengenyam pendidikan, kesehatan menjadi barang langka, kekerasan marak terjadi dimana-mana, hidup sejajar dengan garis kemiskinan, dll. Mungkin bagi orang kota terdengar aneh apabila menemukan anak SMA masih kesulitan membaca dan menulis. Namun inilah realita di tanah Papua dan secara nyata ku jumpai di Bomomani.

 

Selayang Pandang Paroki Bomomani

Paroki Bomomani berada di wilayah keuskupan Timika. Lebih kurang luas keuskupan ini 102.982Km2  atau seluas pulau Jawa. Keuskupan Timika merupakan keuskupan kelima di Papua yang resmi menjadi keuskupan pada 18 April 2004. Sebelumnya Keuskupan Timika merupakan bagian dari keuskupan Jaya Pura. Umur keuskupan yang baru berusia sepuluh tahun ini masih minim tenaga imam. Sehingga kami para Imam dari Keuskupan Agung Jakarta turut membantu dalam rangka mewujudkan wajah Gereja yang misioner.

Paroki Bomomani merupakan salah satu dari 29 paroki di Keuskupan Timika. Terletak di daerah pegunungan Mapia yang memiliki tingkat kesulitan misi tertinggi setelah daerah Moni di pegunungan Jaya. Paroki Bomomani resmi berdiri pada 28 Februari 2002. Dengan jumlah umat menurut data per September 2014 sebanyak 2.254 Jiwa. Paroki Bomomani memiliki 6 stasi yang beberapa diantaranya hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Stasi terjauh yang kami layani membutuhkan waktu 7-8 jam dengan berjalan. Kehidupan menggereja di pedalaman berbeda dengan hidup diperkotaan. Di perkotaan biasanya gereja berurusan dengan bidang kerohanian dan spiritual. Di paroki Bomomani, hidup kerohanian dan hidup spiritual kami utamakan. Namun bidang lain juga kami perhatikan karena disinilah makna Gereja menjadi berarti. Kami menaruh perhatian pada 5 pilar sebagai berikut:

  1. Hidup Rohani dan Spiritual
  2. Pendidikan yang kualitasnya sangat rendah
  3. Peningkatan perekonomian masyarakat
  4. Peningkatan dan penyadaran akan kesehatan
  5. Kesadaran sosial, politik dan kebudayaan

Kelima pilar ini menjadi misi dalam setiap karya yang dilakukan di paroki Bomomani. Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan untuk dapat mengubah pola hidup menuju habitus baru yang lebih baik. Kesabaran, usaha terus-menerus, teladan dan kehendak baik untuk melayani dengan tulus menjadi kunci untuk pembaharuan umat Bomomani.

 

Menghadirkan Tuhan Dalam Karya

Menjadi misionaris di Bomomani, kadang aku merasa seperti memindahkan air laut ke dalam lubang pasir. Air tidak akan pernah terisi penuh karena terserap pasir dan akan kembali ke laut. Walau demikian namun pasir pasti akan basah. Begitu juga dengan bermisi di tanah Papua. Sukar sekali untuk membenahi mentalitas umat disini. Kesukaran yang paling mendasar dikarenakan pendidikan yang rendah dan mutu pendidikan yang seadanya. Menjadikan kerja sebagai budaya, merupakan cita-cita dan harapan kami. Pasalnya sebagian besar laki-laki di Bomomani tidak bekerja. Akhirnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup aksi “palang” atau penodongan marak terjadi. Jangankan bekerja, untuk datang ke Gereja pada hari Minggu saja dapat dihitung jumlahnya. Kebanyakan yang bekerja dan rajin ikut kegiatan menggereja adalah mama-mama. Budaya patriakal yang mengkristal membuat laki-laki berada di atas angin.

Budaya salah kaprah dan internalisasi nilai yang keliru menjadi tantangan untuk mengembalikan aura Bomomani yang ramah dan nyaman. Disinilah aku sungguh bergulat untuk menghadirkan Tuhan dalam setiap karya yang ku buat. Bapak uskup pernah mengatakan, “Yang terpenting adalah kehadiran mu menjadi tanda kehadiran Tuhan”. Cara ku untuk menghadirkan Tuhan adalah dengan melakukan setiap karya pelayanan dengan tulus dan sepenuh hati. Paus Fransiskus dalam pesannya di hari Minggu Evangelisasi menyatakan, “Gereja kita bukanlah organisasi sosial, perusahaan ataupun LSM. Gereja adalah komunitas orang yang di jiwai dengan Roh Kudus, yang sudah mengalami dan menghayati kekaguman dan perjumpaan dengan Yesus Kristus dan ingin berbagi semangat kegembiraan ini”. Persis disinilah yang ku perjuangkan dalam pengalaman bermisi di Bomomani. Aku berupaya untuk tidak terjebak dalam kerja dan karya terus menerus. Bagi ku keliru jika menyatakan kerja dan karya merupakan doa yang nyata. Sebab bedasarkan pengalaman yang ku hadapi tanpa doa seluruh kerja dan karya terasa hambar dan sekedar memaklumatkan diri. Justru melalui doa, ku timba kekuatan dalam berjuang di tanah misi ini. Lebih lanjut Paus Fransiskus mengatakan, “memberikan misionaris tidak pernah merupakan suatu kerugian, sebaliknya merupakan suatu keuntungan dan membangkitkan semangat dan nafas yang universal”. Pernyataan Paus bukan hanya ku amini namun ku upayakan untuk dilakoni dalam keseharian.

Cara ku menghadirkan Tuhan sangat sederhana dengan mengajak anak-anak kecil berdoa rosario. Ada lebih kurang 20 anak kecil yang setiap sore selalu berdoa bersama. Aku sungguh sadar tanpa menjaga hidup doa dan relasi yang baik dengan Tuhan, misi di Bomomani hanya seperti LSM dan hidup hanya sebatas menjadi pekerja sosial. Aku sungguh bersyukur mendapat pengalaman pastoral ditempat ini. Banyak tantangan membuat aku semakin kuat dan dewasa. Memaknai setiap perkara dalam Tuhan dan tetap selalu setia. Selain tantangan aku juga menjumpai local wishdom yang sungguh memperkaya hidup panggilan ku. Masyarakat disini secara khusus mama-mama adalah orang yang tekun dan pekerja keras. Aku banyak memetik inspirasi hidup dari mereka. Selain itu mama-mama disini juga mengajari ku cara membuat noken, tas selempang gaya Papua. Dari sini aku sungguh menemukan semangat ketekunan yang perlu diupayakan terus menerus untuk mencapai hasil. Seperti membuat noken mulai dari satu ikatan hingga menjadi tas yang indah.

Leave a Reply

Scroll to Top