Apakah Kita membutuhkan Kristus atau Dapatkah Kita Menyelamatkan Diri Kita Sendiri? (dilema teologis-4)

( Oleh : Pastor Asran Making,SS.CC )

DILLEMA KESELAMATAN DAN KEBAIKAN MANUSIA;

Pengantar

“Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:17). Tidak ada pengakuan iman Kristiani yang paling utama, selain “Yesus Kristus adalah penyelamat dunia.” Tapi apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan menyelamatkan? Kita menyelamatkan orang yang tenggelam; menyelamatkan orang dari berbagai bahaya seperti kebakaran, dll. Arti dari ekspresi “Yesus menyelamatkan” ditemukan dalam penyelidikan atas dua pertanyaan. Pertama melibatkan bagian “yang diselamatkan” (contoh; kemanusiaan). Di sini kita bisa bertanya, “Mengapa kita butuh diselamatkan?” “Sejauh mana kemanusiaan bisa mengatasi persoalan hidupnya?” Pertanyaan kedua berkaitan dengan dia yang melakukan penyelamatan (yaitu Kristus). Di sini kita akan bertanya, “Bagaimana Kristus membebaskan kita dari situasi hidup kita?” dan “Keselamatan dalam arti apa? Hidup kekal? Kebahagiaan? Kedamaian?” Arti dari “Yesus menyelamatkan” terletak pada korelasi jawaban-jawaban atas kedua pertanyaan tersebut. Dilemma ini mengandaikan adanya penyeimbangan antara problem-problem kemanusiaan yang fundamental dengan solusi yang ditawarkan Kristus. Sebagaimana kita akan lihat, “semakin buruk situasi, semakin besar kebutuhan akan keselamatan”. Dan di sisi lain, “jika situasi tidak buruk, maka kebutuhan akan penyelamat menjadi hilang.”

Beberapa Tawaran Jawaban

  1. Negative;

Ada teolog beranggapan bahwa hadirnya Yesus pertama-tama karena keberadaan manusia yang penuh dosa. Sejak kejatuhan Adam dan Hawa, manusia tidak pernah luput dari dosa. Kesucian seluruh manusia hilang oleh karena dosa Adam dan Hawa. Sebagaimana Adam dan Hawa diusir dari Firdaus, manusia yang adalah keturunan Adam dan Hawa pun tidak lagi menikmati Firdaus surgawi. Keadaaan manusia menjadi sangat buruk karena murka Allah. Karena kedosaan itu, manusia tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Manusia tidak bisa menghindari murka Allah.

Untuk berdamai dengan Allah dan menikmati kembali Firdaus, orang harus bertobat. Manusia harus sadar akan kedosaan dan kembali berdamai dengan Allah. Untuk bertobat dan berdamai kembali dengan Allah dibutuhkan seorang yang tidak berdosa, yang suci. Dia adalah Kristus. Dia adalah satu-satunya yang bisa membawa kembali manusia ke dalam Firdaus. “Sebab jika karena pelanggaran satu orang semua orang teah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allahdan karuniaNya yang dilimpahkanNya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus” (Rom5:15; bdk 1Kor 15:21-22). Maka kehadiran Kristus sebagai penyelamat adalah mutlak.

Namun pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika keadaan manusia tidak buruk? Bagaimana jika masalah utama manusia bukanlah kedosaan?

  1. Positif;

Berbeda dengan para teolog di atas, ada teolog yang justru berpikir sebaliknya. Bagi mereka, problem utama bukan bahwa manusia tidak menyadari keburukan dan kedosaannya melainkan bahwa mereka gagal menyadari kebaikan yang ada dalam dirinya. Dengan mengadopsi psikologi positif mereka beranggapan bahwa “kurangnya rasa percaya diri adalah masalah utama untuk menjadikan manusia menjadi lebih baik”. Rasa bersalah, tidak aman, ketakutan, meragukan kekuatan sendiri, adalah sumber-sumber kegagalan yang membuat manusia tidak bisa menjadi lebih baik.

Untuk mengatasi masalah seperti ini perlu digunakan cara psikologis dan teologis. Cara praktis psikologis yang ditawarkan misalnya adalah dengan mengulangi kata-kata positif setiap pagi, membuat daftar hal-hal positif tentang hidupnya, menciptakan mental sebagai orang yang berhasil. Hal sama diterapkan dalam hal teologi. “Rahasia terbesar untuk menghilangkan rasa rendah diri adalah dengan menanamkan dalam pikiran kita dengan iman yang dalam. Menumbuhkan rasa keimanan yang dalam pada Allah dan itu akan memberikan kerendahan hati, sekaligus merupakan iman yang realistic dalam diri.” “Salah satu konsep yang paling powerfull adalah berpikir bahwa Allah ada dalam dirimu dan menolongmu.” Beberapa ayat Kitab Suci yang biasa digunakan adalah: “Aku bisa melakukan segala sesuatu dalam Kristus yang menguatkanku” (Fil 4:13); “Jika kamu memiliki iman, …. tidak ada yang mustahil bagimu” (Mat 17:20); dan “Jika Allah ada bersama kita, siapa yang bisa melawan kita?” (Rom 8:31). Maka yang terpenting adalah bagaimana mengikuti semua ajaran Yesus dengan baik. Jika kita hidup sesuai dengan perintah dan kehendak Yesus, maka semuanya akan baik-baik saja, keselamatan akan tercapai.

Namun pertanyaannya; jika kita bisa mengatasi segala persoalan hidup, untuk apa Kristus? Jika kita bisa mengatasi inferioritas diri, untuk apa dibutuhkan Kristus? Dapatkah kita memediasi keyakinan akan kebaaikan manusia tanpa harus menghilangkan pentingnya peran Kristus bagi kita? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu berdiskusi tentang kondisi manusia.

Kondisi Manusia

Ada dua hal berkaitan dengan kondisi manusia, yaitu apakah manusia deprived/depraved (sangat kekurangan/bejat) dan tentang Adam dan Hawa. Pertama, apakah manusia deprived/depraved? Kedua kata ini cenderung untuk mengungkapkan kedosaan manusia. Apakah manusia melakukan dosa karena kurang asuhan (deprived) atau karena itu sudah mengakar pada diri setiap orang (depraved)? Jika tendensi berbuat dosa itu sangat kuat, maka berarti itu sudah mengakar dalam diri (depraved). Jika kita menekankan deprived maka kita tidak memberikan cukup perhatian pada begitu ngerinya penderitaan yang disebabkan oleh manusia sepanjang jaman. Namun jika kita beranggapan bahwa manusia itu depraved, maka kita sedang menghilangkan perhatian pada begitu banyak kebaikan luar biasa dari manusia dan berbagai perbuatan social untuk sesamanya.

Diskusi kedua agak teologis berkaitan dengan kisah Adam dan Hawa. Kisah ini masih berkaitan dengan topic deprived/depraved. Apakah kisah taman Eden mengungkap kisa tentang 2 anak yang sedang belajar memahami moral atau sebagai 2 orang dewasa yang bertindak tidak taat dan melawan Tuhan? Ada yang meninterpratasikan kisah ini sebagai deprived tapi ada yang mengungkannya sebagai depraved.

Keselamatan

Sebelum membuat kesimpulan, kita perlu menjelaskan juga tentang paham keselamatan. Ada dua paham, pertama disebut “relational approach” (pendekatan relasional) dan kedua disebut “political approach” (pendekatan politis). Pertama, pendekatan relasional. Pendekatan ini mengatakan bahwa Yesus adalah penyelamat yang mana menyelamatkan dari paham kita yang keliru tentang Allah, tetangga dan diri dan memampukan kita untuk membangun relasi yang baik dan sehat dengan ketiga subyek ini. Pendekatan ini menekankan bahwa kata “salvation” (keselamatan) berasal dari kata “salus” yang berarti “sehat, baik”. Dalam perspektif psikologis, Kristus membebaskan kita dari paham kita yang keliru dan merusak akan Allah, sesama dan diri. Ketakutan kita membuat kita memandang Allah sebagai hakim yang siap menghukum, sesama sebagai orang asing yang mengancam kita dan diri kita sendiri sebagai pendosa yang tidak layak untuk mendapat kasih Allah. Dalam situasi ini, kita melawan Allah karena Allah dilihat sebagai tuan besar yang keras kepala. Kita marah dan kasar kepada sesame serta berkonsentrasi hanya pada kesalahan dan kekurangan-kekurangan diri kita.

Kristus hadir untuk membawa pesan cinta yang memampukan kita untuk mengalami cinta Bapa, solidaritas pada sesama dan kebaikan dalam diri kita sendiri. Keselamatan mengandung unsur pembebasan dari sekat-sekat yang menghambat pertumbuhan kita sebagai putera-puteri Allah dalam kesatuan dengan seluruh umat manusia. Yesus membebaskan kita dari pengasingan terhadap Allah, sesama dan diri. Tanpa Yesus, kita terbelenggu dalam hidup yang penuh ketakutan, terisolasi dan ketidaknyamanan.

Kedua, pendekatan politis. Pendekatan ini sering disamakan dengan sebuah gerakan yang disebut “Teologi Pembebasan”. Pendekatan ini berpendapat bahwa persoalan mendasar yang dihadapi manusia adalah kemiskinan dan ketidakadilan yang mengakar. Kondisi ini menciptakan berbagai macam penyakit mulai dari kebutahurufan sampai pada kekerasan dari pemerintah. Teologi pembebasan berpendapat bahwa keselamatan telah menjadi sebuah “konsep spiritual” semata dan tidak menyentuh persoalan praktis yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Keselamatan jangan sampai dilihat secara terpisah dari air bersih, rumah yang layak, perhatian kesehatan dan pendidikan. Jika memisahkan hal spiritual dari realitas hidup maka bisa dikatakan, Allah hanya peduli pada jiwa kita dan tidak peduli dengan tubuh kita.

Yesus mengajarkan kita tidak hanya berdoa tetapi juga untuk memberi makan kepada yang lapar, minum kepada yang haus, pakaian kepada yang telanjang, menghibur yang sakit dan mengunjungi yang dipenjara. Maka keselamatan dalam pendekatan ini berarti pembebasan bagi yang tertekan. Orang miskin tertekan oleh kemiskinannya, orang kaya tertekan oleh kekayaannya. Maka untuk membawa kebahagiaan ke dalam dunia, kita perlu menciptakan system-sistem social dan politik yang adil. Setiap usaha menuju kepada tujuan itu adalah tindakan penyelamatan, menyelamatkan orang yang menderita. Hidup kekal menggambarkan tentang suatu kehidupan yang baik dan proses keselamatan itu dimulai dari saat kita masih hidup di dunia ini.

Pertanyaan Kritis

Kedua pendekatan ini mewakili usaha untuk menjauhi pandangan bahwa manusia adalah jahat dan keselamatan berarti masuk surga. Jika demikian, muncul tiga pertanyaan. Pertama, kedua pendekatan menawarkan wawasan berarti dalam Injil; bagaimanapun, apakah wawasan-wawasan ini merupakan kekhasan dari ajaran Yesus? Apakah wawasan-wawasan ini bisa dipelajari di tempat lain? Jika wawasan-wawasan ini bisa didapat dari sumber yang lain, bukankah ini berarti mengurangi peran Yesus sebagai penyelamat?

Kedua, apakah sekarang kita sedang memanipulasi Yesus? Apakah kita sekarang sedang memetakan persoalan kita dan menempatkan Yesus ke dalam skema persoalan kita? Apakah kita sedang membuat Injil dan tafsirannya sesuai dengan kehendak kita? Ketiga, apakah kita cukup mendalami pentingnya salib? Tindakan penyelamatan Kristus secara tradisional terkait erat dengan peristiwa penyaliban. “IA sendiri telah memikul dosa kita dalam tubuhNya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup dalam kebenaran. Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh” (1Pet 2:24; bdk Kol 1:19-20; Mrk 10:45; Ef 5:2; Rom 5:8-9). Jika salib tidak memainkan peran utama atau posisi yang tegas dalam pandangan kita tentang keselamatan, apakah iman kita merepresentasikan pesan Injil?

Penutup

Dilemma ini sangat berakar dalam kata yang kita sebut dengan ‘keselamatan’. Arti alami dari kata ini melukiskan bahwa manusia berada dalam situasi bahaya tertentu dan tidak bisa menyelamatkan diri dari bahaya itu. Jika manusia dilihat sebagai makhluk terkutuk karena kebejatannya, maka keselamatan adalah tersedianya hidup kekal di surga melalui salib Kristus. Jika manusia pada dasarnya tidak bejat atau jika problem utama adalah ketakberatian hidup dan bukan penghukuman kekal, maka ketegangan muncul untuk mempertanyakan peran special Kristus sebagai pembawa keselamatan ke dalam dunia. Dilemma akan tetap tinggal: dapatkah kita mengakui secara bersamaan kebaikan manusia, peran Kristus sebagai penyelamat, dan pentingnya Penyaliban Kristus sebagai cara kita diselamatkan?

Pertanyaan Diskusi

1) Kristus menyelamatkan kita dari apa? Bagaimana kita bisa menyelamatkan diri kita sendiri?

2) Menurut perkiraanmu, seberapa besarkah dosa manusia?

3) Apakah keselamatan semata-mata adalah konsep religius? Dapatkah kita mengaplikasikan keselamatan ke dalam persoalan politik?

4) Apakah Anda percaya neraka? Mengapa? Mengapa tidak?

St. Odilia, Citra Raya.

Leave a Reply

Scroll to Top