(Interview : Ibu Maria Oentoe Tinangon)
“Mohon Perhatian Anda, Pertunjukan Film Di Theater 1 Segera Dimulai. Para Penonton Yang Telah Memiliki Karcis, Dipersilakan Untuk Memasuki Ruangan Theater 1”. Suara bening ini sering kita dengar saat memasuki bioskop-bioskop 21 (twenty one) di Indonesia. Suara indah ini ternyata milik Maria Oentoe Tinangon, seorang penyiar dan pemain sandiwara radio dan televisi. Pada Minggu, 16 Maret 2014, Maria hadir di tengah kita untuk memberikan pelatihan tentang ‘cara membaca yang baik’ kepada para lektor Paroki Santa Odilia. Kehadirannya pun tidak disia-siakan oleh Melodi untuk menggali pengalamannya seputar kiatnya mengemas beberapa acara radio dan televisi, dan juga ketertarikannya untuk melatih dan mendidik lektor yang profesional. Apa saja pengalaman suka dukanya dalam menjalani profesinya sebagai penyiar dan pemain sandiwara radio dan televisi, serta apa yang mendorongnya untuk terlibat aktif memberikan pelatihan bagi para lektor di beberapa gereja di lingkungan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Berikut ini petikan wawancara Maria Oentoe dengan Idus Masdi dari MELODI.
Bisa diceritakan sedikit pengalaman ibu sampai menjadi penyiar di sebuah stasiun radio?
Setelah menyelesaikan SMA di Santa Ursula, dekat Pasar Baru, saya masuk PEMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Di PMKRI itu ada radio. Mereka menawarkan untuk menjadi penyiar di radio, yang bernama Radio Angkatan Muda. Alamatnya di Jalan Mangga Besar 8 Nomor. 15. Padahal saya tidak mempunyai pengalaman menjadi penyiar radio. Saya coba saja. Setelah beberapa kali coba akhirnya saya diberikan kesempatan menjadi penyiar di radio tersebut, tapi tidak full time, soalnya masih kuliah.
Apakah ibu memilih profesi sebagai penyiar karena memang sudah dikondisikan sebelumnya, atau karena sudah jauh-jauh hari sangat tertarik dengan profesi tersebut?
Saya sangat tertarik untuk berbicara di depan mike. Tidak lama setelah lulus, sebelum masuk PMKRI, saya diajak oleh Kak Pius Pop yang berasal dari Sanggar Prativi, untuk bermain di sandiwara Radio, dan kemudian dilanjutkan di televisi. Tetapi setelah menikah pada tahun 1969, saya hanya sesekali ke Sanggar Prativi. Kebetulan suami adalah orang dari Sanggar Pritivi. Saya juga tidak full time di di situ karena terbentur dengan kuliah.
Tidak lama setelah itu saya diajak oleh Bapak John Simamora yang menangani bagian drama di RRI (Radio Republik Indonesia). Ajakan itu setelah beliau mendengar rekaman suara saya. Tanpa berpikir panjang saya menyatakan kesediaan. Saat itu saya ditawarkan untuk main Sandiwara Radio di RRI. Namun, tidak lama kemudian saya juga dilirik oleh orang-orang dari televisi. Mereka mengajak saya untuk main di televisi. Saya pun menyambut baik tawaran itu setelah berkonsultasi dengan orang-orang dari Sanggar Prativi. Saya merasa bersyukur, karena sebtulnya saya adalah orang bisa, tapi Sanggar Prativilah yang berjasa membesarkan saya, sehingga bisa bekerja di radio dan televisi.
Dalam menjalankan profesi, baik sebagai penyiar maupun sebagai pemain sandiwara radio dan televisi, apa saja pengalaman suka dan dukanya?
Ada banyak pengalaman suka yang saya alami, tapi ada juga pengalaman dukanya, terutama setelah suami saya meninggal tahun 2005. Peristiwa kematian itu membuat saya merasa seperti terpojok banget. Saya seolah-olah merasa seperti seorang diri di dunia ini, padahal saya punya empat orang anak. Selama berbulan-bulan saya hanya bisa berdiam diri saja. Dalam diri saya protes, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil sang suami dari saya. Pengalaman itu seperti sebuah pukulan berat dalam hidup saya. Meskipun demikian saya tetap menjalani rutinitas yaitu mengikuti beberapa kegiatan sandiwara (tv dan radio), tapi itu juga tidak bisa menyembunyikan rasa kesedihan saya yang mendalam. Mungkin karena saya diam terus, tiba-tiba anak tertua saya mengatakan: “saya ingin mama sekarang pergi ke Yerusalem.” Saya tersentak mendengar ajakan itu, sesuatu yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Dia pun menyiapkan segala sesuatu yang saya perlukan dalam ziarah itu, termasuk uang. Setelah sampai di Yerusalem, saya menemukan jalan keluar terbaik. Di sana saya mendapatkan sebuah pencerahan, bahwa penderitan yang dialami oleh Yesus jauh lebih berat ketimbang yang saya alami, tapi kemudian Tuhan bangkit. Pengalaman kebangkitan Tuhan itu akhirnya memberikan inspirasi kepada saya untuk bangkit dari kesedihan. Saya pun bertekat harus bangkit. Rasanya nggak bagus, kalau saya terus terperosok dalam kesedihan .
Sekarang ibu cukup aktif memberikan seminar dan pelatihan untuk para lektor/lektris di beberapa paroki saat ini. Apa sebetulnya yang menggerakkan ibu untuk terlibat dalam kegiatan itu?
Pada prinsipnya, saya senang banget mengajari orang. Jauh lebih bahagia kalau saya bisa membagi ilmu yang saya miliki kepada orang lain. Mungkin sebentar lagi saya dipanggil Tuhan, tapi sangat disayangkan kalau dalam hidup ini saya tidak bisa memberikan sesuatu yang saya miliki kepada orang lain. Inilah yang mendorong saya untuk berbagi. Dalam beberapa seminar, saya fokus pada kegiatan melatih para lektor bagaimana teknik membaca yang baik, misalnya bagaimana mengatur suara, pernafasan, intonasi, dinamika, dan bagian mana saja kata atau kalimat yang perlu memberikan tekanan tertentu dalam bacaan itu. Yang jelas, saya senang dan bahagia banget bila banyak lektor yang saya latih dan didik, menjadi lektor yang baik tapi juga terampil dalam membacakan Firman Tuhan. Menjadi lektor itu susah-susah gampang. Dia harus bisa baca Firman Tuhan dengan baik dan benar. Tapi untuk itu dia harus mamahami isi dan maksud firman Tuhan, sehingga dia tahu mana kata dan kalimat yang perlu mendapatkan tekanan tertentu. Rasanya hambar kalau tidak dibaca dengan dinamika tertentu. Inilah tantangan bagi lektor.
Dibandingkan dengan bermain sandiwara, tantangan menjadi lektor jauh lebih berat. Sandiwara biasanya direkam lebih dulu, kalau ada beberapa bagian tertentu yang tidak sesuai alur cerita maka bisa diedit, tapi seorang lektor berhadapan langsung dengan umat yang mendengar bacaan yang dibawakannya. Persoalan di sini tidak sekadar bagaimana harus bisa membaca dengan baik dengan dinamika tertentu, tapi juga bagaimana mengatasi demam panggung saat berdiri di depan podium. Tidak ada cara lain untuk mengatasi demam panggung, kecuali dengan berlatih dan terus berlatih mempersiapkan diri dengan baik. Kemudian saat membaca, anggap saja tidak ada orang yang sedang menonton mimik dan gerak gerik kita.
Kapan ibu mulai merasa terpanggil untuk mengadakan serangkaian pelatihan tentang kiat membaca yang baik kepada para lektor?
Saya tidak tahu persis waktunya kapan. Tapi saya ingat dalam sebuah kesempatan ada yang datang: “Maria tolong ajarin kita untuk jadi lektor baik dan terampil”. Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung menjawab ‘siap’. Tidak lama kemudian, saya merasakan bahwa ajakan itu seperti sebuah ‘panggilan untuk melayani’. Sejak saat itu saya merasa bahwa ini mungkin cara Tuhan menyuruh saya untuk terlibat dalam kehidupan menggeraja, lewat talenta yang saya miliki. Saya pun menyisihkan sebagian waktu saya untuk mengajar. Namun untuk bisa memberikan sesuatu kepada orang lain, perlu ada persiapan. Nah, sebelum saya mengajar, saya membeli buku di Toko Obor, yang berjudul: “Sembilan Prinsip Menjadi Lektor.” Buku ini dikarang oleh seorang Romo dan isinya sangat bagus. Tidak hanya itu saya juga membeli buku lain untuk menambah wawasan saya tentang tugas lektor. Setelah mendapatkan pengetahuan yang cukup, saya mulai berani mengadakan seminar untuk para lektor di beberapa tempat, termasuk di Paroki Santa Odilia.
Menurut ibu, seberapa penting tugas seorang lektor dalam membacakan Firman Tuhan?
Tugas seorang lektor itu sangat penting. Yang dibacanya itu adalah Firman Tuhan. Dan Firman Tuhan itu mempunyai daya yang luar biasa bagi kita. Bagaimana firman itu bisa memberikan sebuah daya atau kekuatan kepada umat yang mendengar, sangat ditentukan oleh kemahiran seorang lektor yang membacakannya. Untuk itu dia harus bisa memahami teks yang dibacakannya, mengatur suara, tempo, intonasi yang jelas, memberikan tekanan tertentu pada bagian kata atau kalimat yang dianggap sebagai pesan utama dari teks bacaan itu. Bacaan itu akan terasa hambar, tidak menarik, dan biasa-biasa saja, kalau dibaca lurus-lurus saja.
Apa pesan ibu untuk para lektor muda?
Lakukan sungguh-sungguh saat diberikan kepercaayaan untuk membacakan Firman Tuhan. Harus diingat, saat membaca Firman Tuhan, maka ia tidak hanya membaca untuk dirinya sendiri, tapi untuk umat yang hadir saat itu. Menjadi lektor yang terampil butuh proses, karena itu ia tidak boleh berhenti belajar. Namun hendak juga dingat, bila ia diberikan kepecayaan oleh Gereja untuk menjadi lektor, janganlah mengambil tugas itu karena merasa terpaksa, tapi harus ada niat dari dalam diri sendiri. Kita tidak akan pernah berkembang, kalau sesuatu dijalankan secara terpaksa. Tapi hendaknya tugas itu dilakukan karena ada dorongan dari dalam hati, dan itulah yang membuat orang tulus dalam berlatih.
Saya sangat yakin anak-anak muda yang bersedia menjadi lektor, karena atas kemauan sendiri, maka pada saatnya mereka akan berkembang menjadi lektor yang profesional. Nah, kemauan itulah yang mendorong mereka untuk terus belajar menjadi lektor yang terampil. Diharapkan, pada satu titik perlahan-lahan mereka akan menyadari bahwa menjadi lektor adalah sebuah panggilan, karena yang dibacakan adalah Firman Tuhan yang memberikan daya luar biasa kepada setiap pribadi yang mendengar firman tersebut.