( Oleh : Lubertus Agung, S.Fil )
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya memanusiakan manusia yang lahir dari ketidaktahuan menjadi tahu tentang sesuatu, baik menyangkut dirinya sendiri maupun sesuatu di luar dirinya. Proses pemanusiaan ini tentunya dalam konteks melalui sebuah lembaga pendidikan yang mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Dengan adanya legitimasi tersebut setiap orang tua dapat menyekolahkan anaknya di Lembaga Pendidikan tersebut. Tujuan umum pendidikan mengacu pada Pembukaan UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan manusia” (UUD’45 Bab XIII, pasal 31, ayat 5). Tujuan ini menjadi dasar determinasi dan implementasi visi dan misi setiap lembaga pendidikan di seluruh nusantara.
Pendidikan Katolik
Pendidikan Katolik jelas pendidikan yang terlembaga. Sebagai pendidikan terlembaga, pendidikan Katolik sama dengan pendidikan non Katolik (Negeri dan Swasta) mendapatkan legitimasi dari pemerintah setempat di mana sekolah itu berada. Legitimasi itu tujuannya sama dengan sekolah lain. Tetapi, Pendidikan Katolik arahnya mau kemana? Atau Quo Vadis? Kalau Anda pergi ke suatu tempat tentu arahnya jelas, maksudnya jelas, dan tujuannya juga jelas. Demikian juga dengan pendidikan Katolik. Pendidikan Katolik menurut Kitab Hukum Kanonik (2008: 2), bertujuan memanusiakan manusia secara utuh. Lalu, bagaimana memanusiakan manusia secara utuh itu? Apa sesungguhnya filosofi dari Lembaga Pendidikan Katolik? Filosofi dari Pendidikan Katolik mendahulukan pembinaan integral manusia, memperhatikan tujuan akhir manusia, mengupayakan kesejahteraan umum, mengembangkan bakat, fisik, emosional, moral, intelektual, budaya secara harmonis, menumbuhkan sikap tanggung jawab dalam kehidupan sosial secara aktif (Educare, April 2014).
Namun litani filosofi itu mempunyai basic yang kuat yang menjiwai seluruh proses implementasi Pendidikan Katolik, yaitu iman. Iman inilah yang menjadi nafas utama kehidupan pendidikan katolik sepanjang masa. Maka‘Kurikulum’ utama sekolah katolik sesungguhnya didasarkan pada Spiritualitas Sang Tokoh Pendidik kita yang utama ialah Yesus Kristus. Hal ini dapat diperjelas lagi dalam GE (Gravissimum Educationis; 2008: Art.8) tentang ciri khas sekolah katolik yakni menciptakan lingkungan hidup bersama yang dijiwai oleh semangat injil, kebebasan, dan cinta kasih. Maka pengetahuan yang mereka peroleh tentang dunia, kehidupan, dan manusia juga harus disinari iman, agar mereka menjadi ragi keselamatan bagi masyarakat. Dan iman yang didukung oleh semangat injil, kebebasan dan cinta kasih itudiharapkan sekolah katolik memiliki nilai plus di banding sekolah non katolik. Nilai plusnya adalah mengedepankan prinsip option for the poor (Keberpihakan pada kaum miskin) sebagai ejawantah dari semangat cinta kasih injil. Tentu ini tidak mudah, dibutuhkan suatu perjuangan, komitmen, loyalitas, dan konsistensi dari seluruh stakeholdernya untuk dapat wujudkannya. Sejalan dengan prinsip tersebut, sekolah Katolik sungguh-sungguh mampu bersaing untuk tetap menjadi sekolah yang berkualitas dan unggul dalam segala aspek pedidikan dan pengajaran. Sebab sekolah-sekolah non katolik pun tentu memiliki daya juang dan daya saing yang cukup tinggi dalam hal mencari kualitas dan keunggulan. Sekolah katolik seyogianya terus-menerus berbenah diri serta berusaha menggali potensi dirinya yang kemudian menjadi ciri khas untuk tetap menjadi sekolah yang unggul dan berkualitas. Lalu, apa yang menjadi ciri sekolah katolikitu?
Dalam Nota Pastoral tahun 2008 mengutarakan tiga ciri utama yang mengarahkan Lembaga Pendidikan Katolik. Pertama, media pewartaan kabar gembira. Kedua, unggul dalam komitmen dan pembinaan. Ketiga, lebih berpihak kepada yang miskin. Kemudian, dalam Nota Pastoral tersebut dijelaskan bahwa ciri sekolah sebagai media pewartaan kabar gembira apabila Lembaga Pendidikan Katolik dapat menciptakan lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih injili (Nota Pastoral KWI 2008:3). Cinta kasih injili dapat dipahami sebagai bentuk cinta kasih yang dilandasi oleh ajaran injil seperti melayani, mengampuni/memaafkan, lemah lembut, dan sebagainya sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Guru kita, Yesus Kristus. Ciri kedua tentang keunggulan lembaga pendidikan katolik terletak pada komitmen dan loyalitas terhadap misinya, yakni menumbuhkan kemampuan dan penilaian yang cermat, memperkenalkan warisan budaya, mempersiapkan peserta didik untuk memiliki keterampilan, memupuk semangat persaudaraan, mengembangkan sikap saling memahami. Tentu keunggulan itu diwujudkan melalui pembinaan utuh pribadi manusia, yakni pengembangan bakat fisik, psikis, emosional, intelektual, moral, spiritual, dan budaya secara harmonis (Nota Pastoral KWI 2008:4). Sedangkan pilihan lembaga pendidikan untuk lebih berpihak kepada yang miskin merupakan kebijakan asasi untuk mewujudkan amanat Sang Guru dari Nazareth yang mendahulukan yang miskin, supaya asas keadilan dijunjung tinggi, dan orang miskin lebih mendapat perhatian yang semestinya (Nota Pastoral KWI 2008:5).
LPK : Berasaskan Kasih
Visi dan misi sekolah katolik di mana-mana pada umumnya berlandaskan padaKasih. Kasih inilah yang menjadi ‘roh’eksisitas sekolah Katolik. Meskipun landasan visi dan misinya sama, tetapi implementasinya berbeda. Perbedaannya terletak pada pemahaman dan kemampuan tiap sekolah dalam ikhtiar untuk mewujud nyatakan kasih itu. Kata ‘Kasih” tampaknya sederhana dan mudah dikatakan, namun sulit diterapkan secara 100% karena di dalam lembaga itu terimplisit sesuatu yang di kejar yang berorientasi pada “business schooling” (Sekolah berujung bisnis). Kalau ini yang terjadi, maka kasih bisa dianulir kedalam bisnis demi mendapatkan keuntungan seperti yang dilakukan oleh ‘businessmen’ pada umumnya. Pemaknaan kasih menjadi utuh atau setengah utuh alias cacat , tergantung pada “kearah mana sekolah itu mau di bawa?” Atau apa tujuan dibangunnya sekolah tersebut? Atau bagaimana sekolah Katolik itu memahami dan menghayati Kasih itu di tengah realita kehidupan pluralisdan modern?
Pendidikan Katolik yang berasaskan Kasih menerapkan pola pendidikan dan pengajaran yang bermuara pada tujuan untuk membentuk kepribadian para peserta didik dengan kedisiplinan, kemandirian, pembinaan religius, pembentukan karakter, berkepribadian utuh, humanis dan berorientasi pada nilai-nilai luhur manusia seperti cinta kasih, iman, konsistensi, kebajikan, kerja keras, tanggung jawab, dan sebagainya. Pola seperti itu menjadi daya tarik bagi kalangan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Katolik karena itu merupakan nilai-nilai yang membangun kualitas dan keunggulan sekolah, selain kualitas dan keunggulan secara akademik. Hal yang tidak boleh dilupakan oleh sekolah Katolik ialah keberpihakannya kepada kaum miskin dan berekonomi lemah. Inilah sesungguhnya perwujudan kasih Sekolah Katolik sesuai dengan kehendak Gereja, dan tentu lebih dari itu adalah penghayatan Kasih Yesus sendiri.
Tetapi yang menjadi ironisnya ialah bahwa sekarang ini justru banyak orang tua Katolik yang menyekolahkan anak mereka di sekolah negeri dan swasta non katolik karena factor ekonomi. Sekolah Katolik dengan biaya yang tinggi tentu tidak bisa mendapatkan kesempatan pendidikan yang layak di sekolah Katolik, terutama pendidikan agama dan pembinaan iman. Sebetulnya ini adalah sebuah keprihatinan. Harapannya bahwa anak-anak katolik bisa sekolah di sekolah katolik dengan tujuan untuk mendapat pelajaran agamadan pembinaan iman secara katolik. Tetapi karena faktor kehidupan ekonomi yang tidak selinier dengan tuntutan sekolah yang bayarannya mahal. Maka sekolah negerilah menjadi pilihan bagi kaum miskin. Lalu, bagaimana sekolah katolik menanggapi realita ini? Seperti apakah kasih yang diwujudkan oleh sekolah katolik terhadap orang tua yang ekonomi lemah? Sejauh mana sekolah katolik berpeduli dan berbelarasa dengan keluarga katolik yang berekonomi pas-pasan?
Berhadapan dengan realita seperti itu, Lembaga Pendidikan katolik sesungguhnya menjadi ragi keselamatan bagi pembentukan iman dan pengetahuan agama para peserta didik (Katolik khususnya) yang mengacu pada nota pastoral tersebut di atas. Dengan demikian menjadi jelas bahwa arah pendidikan Katolik itu adalah memanusiakan manusia seutuhnya untuk membangun kepribadian, intelektual, moral dan keimanannya tanpa tebang pilih karena factor ekonomi. Sehingga suara profetis Yesus kepada para murid-Nya “ Pergilah keseluruh dunia dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku” , adalah menjadi profetisme Lembaga Pendidikan Katolik. Suara profetis Sang Guru itu seolah-olah mau mengatakan‘ Hai LPK, jadikanlah semua anak (katolik) yang miskin dan berekonomi lemah menjadi muridmu, agar mereka mendapatkan pengetahuan iman dan kasih darimu’. Memang untuk mewujudkan tugas profeti situ tidaklah gampang, karena mungkin banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Tetapi, kalau kasih yang dikedepankan, apa pun pertimbangan dari segi untung atau pun rugi, sekolah Katolik itu tetap eksis, bermutu, dan unggul, juga tetap menjadi sahabatnya kaum miskin. Ini adalah sebuah ‘credo’ yang menjadi keyakinan Sekolah Katolik dalam mewujudkan asas kasih sejati yang berpihak pada kaum miskin. Jadi, jelas bahwa quo vadis-nya sekolah katolik adalah mewujudan Kasih Sang Guru untuk memanusiakan manusia secara utuh, terutama pemberdayaan kepribadian, martabat , agama/ keimanan, serta menjunjung tinggi asas keadilan terhadap kaum miskin. Sehingga amanat Yesus tidak hanya berhenti pada perkataan saja, melainkan lebih kuat dalam tindakan nyata dari Lembaga Pendidikan Katolik. Dengan kata lain, Pendidikan Katolik adalah pembuktian dari kata-kata menjadi perbuatan nyata.