( Oleh : Br. Heribertus Sumarjo, FIC )
Salah satu tujuan dibentuknya Lembaga Pendidikan Katolik (LPK) adalah untuk menyatakan keberpihakan kepada orang yang miskin yang tidak mampu membiayai pendidikan. Sebab pendidikan adalah hak asasi setiap orang. LPK tidak bisa mengeluarkan siswa dari sekolah hanya karena tidak mampu membayar. Untuk mewujudkan hal itu memang tidak mudah, sebab selalu ada kendala dalam mengimplementasikan harapan itu. Bertitik tolak dari sejumlah persoalan yang dihadapi oleh LPK di lapangan, maka KWI mengeluarkan Nota Pastoral 2008 tentang Lembaga Pendidikan Katolik. Dalam wawancara dengan Idus Masdi dari Melodi, Bruder Heribertus Sumarjo, FIC, Ketua Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) menguraikan secara garis besar tentang latar belakang diterbitkannya Nota Pastoral KWI 2008 tentang LPK. Pada kesempatan yang sama beliau juga menjelaskan kiat yang dilakukan oleh Yayasan Pendidkan Katolik untuk mempertahakan mutu dan visi kekatolikannya. Selain itu, juga dipaparkan bagaimana sebaiknya pola pengajaran pendidikan agama Katolik untuk siswa katolik yang belajar di sekolah non Katolik, Sekolah Negeri, atau Sekolah Swasta Umum. Berikut petikan wawancaranya.
Apa latar belakanng KWI mengeluarkan Nota Pastoral tentang Lembaga Pendidikan Katolik (LPK)?
Ada tujuh persoalan yang melatarbelakangi KWI mengeluarkan Nota Pastoral tentang LPK, antara lain: 1) LPK kurang memahami filosofi pendididkan; 2) Gereja masih lemah dalam memberikan reksa pastoral pendidikan; 3) Masih kentalnya politisasi pendidikan; 4) Kepemimpinan dan manajemen LPK masih banyak yang belum profesional; 5) Lemahnya kualitas pendidikan dalam hal kemampuan akademik, manajerial dan kepemimpinan; 6) Masih banyak LPK yang mengalami keterbatasan dana; 7) Banyak LPK yang mengalami penurunan jumlah murid. Dari ketujuh persoalan tersebut, akhirnya muncul reksa pastoral bahwa sekolah Katolik itu harus menjadi media mewartakan kabar gembira, unggul, dan lebih berpihak kepada orang miskin.
Selain menjadi media mewartakan kabar gembira, uskup juga menegaskan bahwa LPK itu harus setia terhadap kecerdasan bangsa; setia terhadap ciri kas Katolik; setia terhadap spiritualitas pendiri; media pewartaan kabar gembira; unggul dalam pendampingan kaum muda; lebih berpihak kepada orang miskin. Inilah yang menjadi enam nilai inti yang menjadi pemikiran dan landasan filosofis penyelenggaraan lembaga pendidikan Katolik di Indonesia.
Bagaimana usaha yang dilakukan oleh KWI untuk mengatasi beberapa persoalan yang disebutkan tadi?
Yang dilakukan oleh KWI adalah bagaimana enam nilai itu dijadikan sebagai fundasi, pilarnya SDM dan manajemen, infrastruktur dikendalikan sehingga diharapkan bisa menghasilkan sebuah sekolah yang berkualitas. Tetapi kalau hal ini tidak tertata dengan baik, maka yang akan terjadi adalah etatisme pemerintah. Proses pembelajaran akhirnya direduksi menjadi pengajaran dan cenderung mengikuti undang-undang begitu saja. Kalau ini yang terjadi, maka yang diukur hanya: kecerdasaran intelektual; orientasi belajar mengejar kelulusan ulangan dan ujian; tergoda sukses lahiriah atau material, seperti karier, jabatan, kekuasaan, dan uang; pola berpikir mengarah kepada materialitis, konsumeristis, dan hedonistis.
Bagaimana pendapat Bruder dengan kenyataan bahwa sekolah-sekolah Katolik yang bermutu hanya melayani mereka yang mampu membayar?
Saya tidak setuju pendapat kalau sekolah-sekolah Katolik hanya untuk orang yang mampu bayar. Sebab sekolah Katolik itu bersifat universal. Di dalamnya ada yang miskin, pintar, dan mampu. Yang harus dilakukan adalah solidaritas, di mana yang mampu atau yang kuat harus membatu orang yang miskin. Tidak bisa dikatakan bahwa sekolah katolik hanya untuk orang yang mampu saja.
Tetapi di lapangan justru yang sering terjadi adalah bahwa sekolah-sekolah Katolik yang bagus dan berkualitas hanya menerima mereka yang mampu secara finansial, selain kemampuan akademiknya. Meskipun sesungguhnya sudah ada ketentuan minimal saat wawancara yang dipatok oleh sekolah. Tetapi bagi beberapa orangtua yang tidak mampu, ketentuan minimal itu tetap dianggap mahal. Bagaimana Bruder melihat fenomena ini?
Menurut saya tidak ada ketentuan minimal seperti itu, dan juga tidak ada aturan seperti itu. Kalau kita mengacu pada karya Yesus, di mana Yesus hadir untuk orang miskin, begitu juga yang harus dilakukan oleh Gereja yaitu hadir untuk orang miskin. Maka rumusanya ialah bahwa tidak ada sekolah Katolik itu tidak menerima atau mengeluarkan anak hanya gara-gara uang. Tidak ada rumusan itu dalam sekolah Katolik. Anak-anak tidak boleh dikeluarkan dari sekolah hanya karena tidak mampu bayar. Kalau ada sekolah Katolik mengeluarkan anak-anak dari sekolah karena tidak mampu membayar, maka sekolah tersebut telah melanggar Nota Pastoral 4.4. Di situ sudah ada ketentuan bahwa setiap LPK mempunyai kewajiban untuk berpihak kepada orang miskin dan ini merupakan kebijakan asasi. Sebab hanya dengan ini, LPK dapat mewujudkan amanat Sang Guru dari Nazareth yang mendahulukan orang yang miskin. Jadi yang perlu dilakukan sekolah di sini adalah bertobat dan mendalami ajaran Gereja, bahwa kehadiran sekolah Katolik adalah harus berpihak kepada orang miskin. Ini ajaran Gereja dan sesuatu yang asasi, sehingga tidak perlu diributkan lagi.
Apa yang mesti dilakukan oleh setiap sekolah Katolik sehingga tetap konsisten berpihak kepada orang miskin? Kemudian, bagaimana sebaiknya mengatur subsidi silang?
Subsidi silang itu sudah banyak dilakukan oleh Kongregasi yang menyelenggarakan pendidikan Katolik. Kalau tidak dilakukan subsidi silang, maka sekolah akan nombok. Pengalaman kami menunjukkan, terutama sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Budi Mulia, kalau yayasan hanya mengharapkan pendapatan, maka selalu nombok sekitar 2 persen. Tetapi itu tidak berarti kami tidak melayani orang miskin. Semua orang kami layani. Itulah ciri khas katolik. Kalau sekolah Katolik tidak menerima anak-anak dari keluarga miskin atau tidak mampu, maka sekolah tersebut perlu pertobatan. Karena pendidikan itu adalah hak asasi setiap orang. Jadi, rumusannya begini, jangan sampai ada sekolah di mana anak tidak bisa masuk sekolah hanya karena tidak mampu membayar, atau anak dikeluarkan dari sekolah karena belum membayar uang sekolah.
Bagaimana status sekolah-sekolah Katolik yang langsung berada dibawah pengawasan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), seperti Sekolahan Strada, misalnya?
Yang jelas semua sekolah Katolik diatur dalam Kanon 806. Semua sekolah Katolik, baik yang didirikan oleh awam, kongregasi, paroki, maupun keuskupan berada di bawah pengawasan uskup, atau didampingi dan dibina Gereja, dalam hal ini oleh keuskupan. Sementara terkait dengan sistem manajemen sekolah diserahkan kepada masing-masing lembaga (yayasan). Tetapi rasa kekatolikan diatur oleh paroki, seksi pendidikan, perangkat kerja pastor paroki dan ini terkait dengan reksa pastoral. Tetapi kalau menyangkut masalah uang, masalah manajemen, maka itu adalah urusan masing-masing yayasan.
Tetapi kalau ada beberapa sekolah Katolik tidak mampu mengelola, sekolahnya, keuskupan tidak langsung mengambilalih. Prinsip dasarnya adalah Gereja mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan, sedangkan menyangkut urusan manajeman diserahkan kepada masing-masing yayasan. Kalau memang kemudian diserahkan kepada Gereja, maka tidak bisa terima begitu saja, namun dianalisis dulu.
Bagaimana peran penting sekolah Katolik sebagai kelompok minoritas di tengah umat mayoritas?
Kehadiran sekolah Katolik di tengah umat adalah sebagai media pewartaan kabar gembira. Dan kabar gembira itu adalah sesuatu yang bersifat universal. Dan tentu yang lebih penting sekolah katolik harus bisa menyatakan keberpihakannya kepada orang miskin dan kecil. Nah, kalau tugas seperti itu bisa dilaksanakan, maka tentu akan dilihat dan dibaca oleh masyarakat. Tidak hanya itu, sekolah Katolik hendak menularkan semangat plural, inklusif dan demokratis, berbudaya dan adil.
Bagaimana Bruder melihat soal kebijakan pelaksanaan pengajaran pendidikan agama Katolik di sekolah-sekolah Negeri atau Swasta Umum saat ini?
Kalau di sekolah-sekolah negeri dan swasta umum wajib, karena UU Pendidikan Pasal 12 ayat 1a mengatakan: “anak-anak (siswa) diajarkan sesuai dengan agama masing-masing”. Ini hukumnya wajib, baik disekolah negeri maupun di sekolah-sekolah swasta umum. Di sekolah negeri wajib hukumnya untuk menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan agama masing-masing. Kalau hal itu tidak dilakukan, maka itu berarti mengingkari undang-undang yang sudah disepakati bersama. Tetapi kalau sekolah-sekolah tersebut berciri khas Islam, Katolik, Kristen, Hindu, atau Budha, maka pengajaran agama disesuaikan dengan kekhasan masing-masing sekolah.
Bagaimana komentar Bruder dengan kenyataan yang terjadi saat ini, di mana sekolah-sekolah negeri hanya diajarkan agama tertentu saja, sehingga siswa yang beragama lain, seperti Katolik harus mencari guru agamanya sendiri dan belajar di tempat lain, seperti di lingkungan Paroki, padahal setiap siswa punya hak untuk mendapatkan pelajaran agama di sekolahnya?
Saya melihat ini adalah sebuah bentuk pelanggaran terhadap undang-undang yang telah disepakati bersama. Ini yang disebut politisasi pendidikan. Semua tahu bahwa UU Sisdiknas 2003 sudah mengamanatkan bahwa pengajaran agama disesuaikan dengan agama masing-masing anak, baik di sekolah negeri maupun di swasta umum. Tetapi saya melihat praktiknya, banyak hal yang tidak konsisten dilaksanakan di lapangan. Karena itu, Gereja menegaskan bahwa sekolah-sekolah yang berciri khas Katolik harus konsisten mengajarkan agama Katolik di sekolah-sekolah katolik, dan tidak boleh diperlakukan seperti di sekolah di swasta umum atau sekolah negeri.
Bagaimana Gereja memberikan perhatian kepada siswa Katolik yang tidak sekolah di sekolah yang berciri khas Katolik?
Anak-anak kita yang tidak masuk di sekolah Katolik sudah diatur dalam kanon 793, 794, 795, yaitu bahwa Gereja harus mereksa pastoral pada anak-anak yang tidak terlayani. Artinya, pendidikan anak atau siapa saja yang berada di lembaga pendidikan non Katolik harus tereksa.
Bagaimana model konkret?
Kegiatan reksa pastoral terhadap anak-anak yang tidak terlayani sesungguhnya merupakan tugas paroki. Paroki mesti menginventarisasi anak-anak yang belajar di sekolah non Katolik, kemudian dilihat apakah pendidikan Agama Katolik di sana terlayani atau tidak. Selain itu, juga dilihat apakah di situ ada guru yang beragama Katolik atau tidak. Nah, kalau ada guru Katolik di situ, meskipun ia mengajar matematika misalnya, maka ia juga harus mengajarkan agama Katolik kepada anak-anak yang Katolik di sekolah tersebut. Prinsip dasar adalah jangan sampai anak-anak hanya dititipkan pelajaran agamanya pada pelajaran agama Kristen umum atau sama sekali tidak mendapat pendidikan agama katolik. Jadi kita harus aktif dalam memberikan pendidikan agama Katolik kepada mereka. Juga harus diingatkan bahwa pemerintah tidak boleh mengabaikan pendidikan agama Katolik di sekolah tersebut.