(foto: Paus Yohanes Paulus II, Kanonisasi)
Dan Paus Yohanes XXIII
( Oleh : Idus Masdi )
Gereja Katolik Indonesia merasa bersyukur karena karena pernah dikunjungi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989 di beberapa tempat, antara lain, Jakarta, Yogyakarta, Maumere, dan Medan. Kesaksian orang-orang yang terdekat dengan Sri Paus saat itu menunjukkan bahwa memang beliau pantas disebut Bapa Suci karena kepribadian yang luhur dan hangat. Di Maumere, Flores, misalnya, yang menerima berkat dari Sri Paus, bukan hanya orang Katolik saja tetapi juga yang non Katolik. Ini merupakan sebuah simbol bahwa Sri Paus adalah seorang pribadi yang mampu menularkan inspirasi yang menghidupkan.
Sebagai ungkapan rasa syukur atas pengangkatannya sebagai Santo, dan terutama atas kunjungannya ke Indonesia, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengadakan misa syukur di Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesa Indah (TMII), Senin, 28 April 2014. Misa syukur itu diadakan sehari setelah Yohanes Paus II dan Yohanes XXIII dikanonisasi menjadi orang kudus oleh Paus Fransiskus di Vatikan. Perayaan misa ini dipimpin oleh Mgr Ignasius Suharyo, uskup Agung Jakarta, dan dampingi lebih dari 100 orang imam yang berkarya di KAJ. Lebih dari 2000 umat hadir dalam perayaan ekaristi tersebut. Yang hadir adalah perwakilan dari seluruh paroki se-KAJ, termasuk Paroki Santa Odilia yang diwakili oleh Kelompok Legio Maria, OMK, dan anggota Dewan Paroki. Acara dimulai dengan perarakan dari Gereja Santa Catharina menuju Sasono Langen Budoyo. Misa dimeriahkan oleh koor gabungan Frater Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II KAJ dan mahasiswa Atmajaya.
Sasono Langen Budoyo memang sengaja dipilih karena di tempat yang sama pada tahun 1989, Paus Yohenes Paulus II bertemu dengan pemuka dan tokoh agama dari seluruh Indonesia. Saat itu Sri Paus mengungkapkan rasa kekagumannya atas idiologi Pancasila, semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Dengan potensi itu, Sri Paus saat itu yakin bahwa Indonesia akan banyak berperan untuk memajukan perdamaian dunia.
Keteladanan hidup dan keluhuran budinya yang menginspirasi jutaan manusia di muka bumi telah membuat Sri Paus menjadi tokoh yang sangat dominan pada abab 20. Karena itu, memang tidak mengherankan kalau kemudian Sri Paus tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk dikanonisasi menjadi orang kudus setelah wafat pada tahun 2005. Enam tahun setelah wafat, tepatnya 2011, Yohanes Paulus II diangkat menjadi “beato” oleh Paus Benediktus XVI sebagai bagian dari proses menuju kanonisasi menjadi orang kudus.
Beliau berada di jalur yang cepat menuju Santo, tentu bukan sebuah kejutan. Masa kepausannya mendominasi abad ke-20 dan kehadirannya membawa banyak inspirasi bagi Gereja dan dunia. Saat wafatnya tahun 2005, banyak orang menyerukan, “Santo subito!” (Santo sekarang!). Tidak lama setelah itu Vatikan mulai melakukan penyelidikan tentang kesucian hidupnya. Kemudian Vatikan mengakui mukjizat pertamanya, yang menyembuhkan seorang biarawati Perancis akibat penyakit Parkinson, hanya dua bulan setelah ia wafat. Paus ini juga menderita penyakit yang sama. Keajaiban yang kedua adalah penyembuhan seorang wanita Kosta Rika akibat penyakit aneurism (sejenis penyakit yang berkaitan dengan pendarahan di bagian otak) setelah keluarganya berdoa di salah satu tempat doa Sri Paus. Kedua mukjizat itu merupakan bukti bahwa Paus layak diangkat menjadi Santo.
Pada tahun 2011 Yohanes Paulus II diangkat menjadi beato. Proses beatifikasinya dilakukan di hadapan lebih dari sejuta umat di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Sesaat setelah Paus Benediktus XVI menyatakan: ”Mulai sekarang Paus Yohanes Paulus II disebut beato (yang terberkati),” umat di Roma dan kota-kota lain di seluruh dunia bersorak gembira, meneteskan air mata, dan bertepuk tangan. Tepuk tangan semakin membahana ketika sebuah banner dengan gambar wajah Paus asal Polandia itu dibuka di bagian muka Basilika Santo Petrus.
”Dia memberikan kembali pada Kristianitas wajah aslinya sebagai sebuah agama harapan,” kata Benediktus XVI dalam khotbahnya, merujuk pada peran menentukan Yohanes Paulus II dalam membantu meruntuhkan komunisme di Eropa Timur dan hancurnya Tembok Berlin yang menandai berakhirnya era kedigdayaan idiologi komunisme selama abad 20. Pada prosesi itu sebanyak 86 delegasi resmi dari berbagai negara ikut hadir dan juga para peziarah melambai-lambaikan bendera dari seluruh dunia di lapangan yang bermandikan sinar matahari itu. Beatifikasi merupakan langkah pertama di jalur menuju kemungkinan menjadi Santo/Santa, salah satu penghargaan tertinggi Gereja Katolik.
Meskipun keputusan itu dianggap terlalu cepat dari yang diperkirakan banyak orang, namun keputusan-keputusan tentang kesucian Yohanes Paus II hampir selalu melibatkan pertimbangan tentang konteks lokal dan kebutuhan kontemporer. Kesucian paus asal Polandia ini telah dipromosikan oleh banyak elemen konservatif dalam dunia Katolik. Ini berbeda dengan Yohanes XXIII. Paus ini adalah seorang yang menjadi pahlawan bagi kelompok yang lebih liberal karena ia memprakarsai Konsili Vatikan II.
Pertanyaan adalah apa yang mendorong pihak Vatikan untuk melakukan kanonisasi kedua Paus ini secara bersamaan. Tampaknya ini tidak terlepas dari kehendak Paus Fransiskus yang ingin menampilkan sebuah tindakan lain, yakni menekankan kesinambungan dan hubungan antara umat Katolik dari semua elemen, sebuah tema yang telah mendominasi kepausannya selama ini.
Dibandingkan dengan Yohanes Paulus II yang membutuhkan beberapa mukjizat untuk memperlihatkan tanda bukti kekudusannya, kanonisasi Paus Yohanes XXIII tidak ada persyaratan, karena paus tersebut sudah layak. Paus ini memimpin Konsili Vatikan II, sebuah pertemuan raksasa yang benar-benar merubah Gereja Katolik modern, dan kini merayakan 50 tahun. Paus Fransiskus telah menekankan kodrat ilahi dari karya konsili ini selama beberapa bulan terakhir dan telah meniadakan persyaratan. Konsili itu dianggap sebagai sebuah keajaiban pada abad 20 dan itu terjadi karena campur tangan Tuhan yang berkarya dalam dan lewat Paus Yohanes XXIII. Karena itu, “tidak ada suatu keraguan” tentang kesucian Paus Yohanes XXIII.
Prosedur Kanonisasi
Kanonisasi merupakan proses resmi untuk memaklumkan seseorang sebagai seorang Santa/Santo (orang suci). Sebelum tahun 1234, Gereja tidak memiliki suatu prosedur resmi yang demikian. Biasanya, para martir dan mereka yang dianggap kudus, dimaklumkan sebagai Santa/Santo oleh Gereja pada saat wafat mereka. Sebelum disahkannya kekristenan pada tahun 313 oleh Kaisar Konstantinus, makam para martir, misalnya makam St Petrus, diberi tanda dan dijadikan tempat ziarah. Peringatan wafat mereka dikenangkan dan dicantumkan dalam kalender Gereja setempat. Setelah disahkannya kekristenan, seringkali basilika atau kapel dibangun di atas makam-makam tersebut.
Dengan berjalannya waktu, Gereja melihat pentingnya memperketat proses kanonisasi. Sebab, sayangnya, seringkali tokoh-tokoh legenda dihormati sebagai Santa/Santo. Atau, pernah terjadi, Gereja lokal di Swedia mengkanonisasi seorang biarawan pemabuk yang tewas dalam suatu pertikaian karena mabuk – sulit dipercaya bahwa hal tersebut dapat dijadikan bukti kemartiran. Karena itu, pada tahun 1234, Paus Gregorius IX menetapkan prosedur untuk menyelidiki hidup calon Santa/Santo dan kemungkinan adanya mukjizat yang terjadi. Pada tahun 1588, Paus Sixtus V mempercayakan kepada Kongregasi Ritus (yang kelak diberi nama Kongregasi untuk Masalah Santa/Santo) untuk mengawasi keseluruhan proses. Dimulai dengan Paus Urbanus VIII pada tahun 1634, berbagai Paus telah merevisi dan memperbaharui ketentuan-ketentuan dan prosedur-prosedur kanonisasi.
Pada tahun 1983 Paus Yohanes Paulus II melakukan perubahan besar dalam proses kanonisasi. Proses kanonisasi dimulai setelah kematian seorang Katolik yang dianggap banyak orang sebagai kudus. Seringkali proses kanonisasi baru dimulai bertahun-tahun setelah kematian seorang kudus untuk memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai calon Santa/Santo tersebut. Uskup setempat mengadakan penyelidikan tentang kehidupan calon Santa/Santo, tulisan-tulisan mengenai teladan kepahlawanannya (atau kemartirannya) serta kebenaran ajarannya. Kemudian sejumlah teolog di Vatikan menilai calon Santa/Santo tersebut. Setelah persetujuan para teolog dan para Kardinal dari Konggregasi Masalah Santa/Santo, Paus mengumumkan calon Santa/Santo tersebut sebagai “VENERABILIS” (Yang Pantas Dihormati).
Langkah selanjutnya adalah BEATIFIKASI. Beatifikasi memerlukan bukti berupa mukjizat (kecuali dalam kasus martir). Sebab mukjizat dianggap sebagai bukti bahwa orang yang dianggap kudus itu telah berada di surga dan dapat mendoakan kita. Mukjizat itu harus terjadi sesudah kematian calon Santa/Santo dan merupakan jawaban atas permohonan khusus yang disampaikan kepada calon Santa/Santo tersebut. Jika Paus telah menyatakan bahwa calon Santa/Santo tersebut telah dibeatifikasi menjadi BEATA/ BEATO (Latin artinya Yang Berbahagia), maka orang kudus tersebut boleh dihormati oleh daerah atau kelompok umat tertentu yang berkepentingan.
Hanya jika dapat dibuktikan adanya satu mukjizat lagi, maka Paus akan melakukan kanonisasi calon Santa/Santo (termasuk martir juga). Gelar SANTA atau SANTO menunjukkan kepada kita bahwa orang yang menyandang gelar tersebut adalah orang yang hidup kudus, telah berada di surga, dan pantas dihormati oleh seluruh Gereja Katolik. Kanonisasi tidak “membuat” seseorang menjadi Santa/Santo, tetapi merupakan pengakuan kita akan karya besar yang telah dilakukan Tuhan.
Kanonisasi bersifat mutlak dan tidak dapat dibatalkan. Namun demikian, proses kanonisasi memerlukan waktu yang amat lama dan usaha keras. Jadi meskipun semua orang yang dikanonisasi adalah orang kudus, tidak semua orang kudus dikanonisasi. Siapa saja yang berada di surga adalah seorang yang kudus.
Pada masa kepausannya, Yohanes Paulus II memberikan kanonisasi lebih banyak orang (483) ketimbang yang dikanonisasi dalam 500 tahun sebelumnya. Sebagiannya untuk memberi bobot pada otoritas Vatikan untuk memberikan gelar orang kudus yang telah muncul di seluruh dunia Katolik global. Sebanyak 78 dari 265 paus telah menjadi orang kudus, yang mungkin tampak sebagai sebuah jumlah yang besar, tapi ini termasuk 52 dari 54 paus pertama. Setelah abad keenam, jumlah kanonisasi Paus menurun drastis.
Hingga masa gerakan reformasi di abad pertengahan, sebagian besar paus tidak menjadi orang kudus dan tidak diharapkan untuk melakukannya, karena gelar orang kudus diperuntukkan bagi mereka yang tidak begitu terlibat dalam urusan duniawi. Sebagai contoh, Paus Celestine V bisa menjadi orang kudus, karena ia diakui atas kehidupannya yang tenang sebagai seorang pertapa, ketimbang kehidupannya yang singkat sebagai paus (ia juga menjadi inspirasi untuk mendiang Paus Emeritus Benediktus XIV). Di era modern, para tokoh yang saleh dalam komunitas-komunitas lokal, orang-orang seperti Ibu Teresa, dan lain-lain memiliki kesalehan yang luar biasa di luar hirarki yang paling mungkin untuk diakui sebagai orang kudus. Dengan demikian, kanonisasi dua paus ini baru terjadi karena keduanya sangat menonjol.