( Oleh : Idus Masdi )
Sepanjang sejarah Gereja, kita menjumpai adanya fenomena yang menarik, yaitu jenazah beberapa orang kudus yang tidak rusak. Umumnya jenazah yang tidak rusak ini ditemukan di lingkungan-lingkungan yang berbeda, termasuk dalam lingkungan yang sangat mendukung terjadinya pembusukan jenazah. Beberapa di antaranya dalam temperatur yang cukup tinggi untuk membusukkan jenazah, kelembaban yang besar, bahkan ada yang tergenang dalam rawa. Uniknya, sebelumnya jenazah itu tidak pernah mengalami proses pengawetan sama sekali. Jenazah-jenazah itu tetap bebas dari pembusukan sekalipun lingkungannya memiliki unsur-unsur yang lengkap untuk membusukkan jenazah. Yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian besar jenazah itu adalah orang-orang kudus dalam Gereja Katolik. Bagaimana mungkin alam dapat memilih jenazah?
Bersamaan dengan incorruptibilitas (keadaan jenazah yang tak rusak) ada pula tanda lain yaitu keharuman surgawi, suatu fenomena di mana jenazah atau makam seorang kudus memancarkan bau harum semerbak. Dalam Perjanjian Lama, bau wangi-wangian dipergunakan untuk menyatakan bahwa seseorang berkenan kepada Allah dan kudus dalam pandangan-Nya. Biasanya, bau harum ini khas dan tak dapat diperbandingkan dengan wangi-wangian apapun.
Kardinal Prospero Lambertini, yang di kemudian hari menjadi Paus Benediktus XIV (1675-1758), menulis lima jilid buku berjudul “De Beatificatione Servorum Dei et de Beatorum Canonizatione.” Di dalamnya ia menulis pula tentang fenomena jenazah yang tak rusak ini, dengan judul “De Cadaverum Incorruptione.” Dalam buku ini Kardinal Lambertini menegaskan bahwa dalam kasus tubuh yang mati, nyaris tidak mungkin jasad tersebut tidak memancarkan bau busuk, lebih tidak masuk akal lagi kalau jenazah memancarkan bau harum. Ia yakin, bau harum yang terpancar tersebut pastilah berasal dari suatu kuasa adikodrati dan karenanya dianggap sebagai mukjizat. Walau demikian, perlu dicatat, bahwa iblis pun dapat membuat “bau harum mewangi”. Jadi, tanda ini harus dipertalikan dan didukung dengan kekudusan hidup orang yang meninggal tersebut secara keseluruhan.
Kriteria dari jenazah yang tak rusak adalah setelah dikubur selama bertahun-tahun tanpa mengalami proses pengawetan, tetap dapat mempertahankan rona, kesegaran, dan kelenturan seolah-olah hidup setelah mati bertahun-tahun. Tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa, dan dapat dikatakan suatu mukjizat . Ketidakrusakan jenazah, bisa menjadi salah satu tanda kekudusan seseorang. Secara spiritualitas, tanda demikian merupakan indikasi bahwa jenazah orang tersebut dipersiapkan untuk kebangkitan tubuh dengan mulia.
Fenomena-fenomena ini memang menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa beberapa jenazah para kudus itu bisa tahan bertahun-tahun, bahkan beberapa dekade, dan bahkan ada yang tahan beberapa abad? Akan tetapi, kemudian mengapa setelah tahan sedemikian lamanya jenazah itu pun akhirnya hancur secara alami? Bagaimana mungkin ada bagian tubuh yang masih bisa bertahan utuh padahal sudah terpisah dari badannya? St. Bernadette dan St. Theresa dari Lisieux sama-sama gadis Perancis yang hidup di abad ke-19. Mereka sama-sama masuk biara pada usia muda dan meninggal pada usia muda. Akan tetapi, mengapa jenazah St. Bernadette utuh, sedangkan jenazah St. Theresa ditemukan telah hancur secara alami ketika makamnya dibongkar? Jadi, mengapa tidak semua orang kudus jenazahnya utuh?
Gereja selalu menganjurkan agar kita mencari alasan ilmiahnya terlebih dahulu jika menemukan jenazah yang tidak rusak. Akan tetapi, memang dalam banyak kasus para ilmuwan masih belum dapat memberikan penjelasan ilmiahnya. Walau demikian, Gereja mengatakan bahwa jenazah yang tidak rusak tidak menjamin bahwa orang itu kudus. Memang betul, jenazah yang tidak rusak bisa menjadi tanda kekudusan, tetapi bukan berarti kalau ada jenazah yang tidak rusak, orang tersebut otomatis kudus. Kita perlu melihat bagaimana kehidupan orang itu, segala kebajikan-kebajikan selama hidupnya, singkatnya mengaitkannya dengan kekudusan orang tersebut secara keseluruhan.
Tentu terlepas dari soal pro dan kontra bila dilihat dari kajian ilmu ilmiah dan ilmu pengetahuan terkait dengan fenomena jenazah yang tidak rusak, kita mesti berangkat ke tahap berikut tentang bagaimana campur tangan Allah dalam kehidupan manusia. Umur jenazah hingga 1500 tahun lebih dan tetap tidak hancur jelas menunjukkan sebuah pesan bahwa fenomena itu tidak mungkin terjadi kalau bukan campur tangan Allah di dalamnya. Karena itu fenomena jenazah yang tak rusak ini mengajarkan banyak hal kepada kita. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa iman kita tidak hanya memengaruhi rohani kita saja tetapi juga jasmani kita. Penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus adalah sesuatu yang supernatural tetapi sekaligus sungguh nyata, ada dalam sejarah. Demikian pula kebangkitan-Nya merupakan hal yang adikodrati, tetapi sekaligus sungguh-sungguh real.
Dengan kata lain, fenomena jenazah yang tak rusak ini hendak menyampaikan kepada kita bahwa ada keterkaitan yang erat antara dunia rohani dan dunia jasmani. Bukankah Allah dikatakan Mahakudus, tetapi sekaligus juga dikatakan Mahaindah? Memang kita tidak dapat merumuskan dengan tepat hubungan antara jiwa dan raga kita. Akan tetapi, apa yang kita lakukan terhadap jiwa kita akan memengaruhi tubuh kita. Sebaliknya, apa yang kita lakukan terhadap tubuh kita akan memengaruhi jiwa kita.
Pada zaman sekarang ini, diketahui bahwa banyak orang yang sakit atau sakit lainnya, memiliki luka batin yang berat dalam hidupnya. Mereka yang berbeban berat, depresi, stress, akan langsung dikenali melalui wajahnya. Sebaliknya, mereka yang suci hatinya akan memancarkan sesuatu yang menyenangkan pada wajahnya, bahkan sekalipun mereka sedang sakit.
Dengan demikian, fenomena ini mengingatkan kita bahwa kita sebetulnya adalah bagian dari Tubuh Mistik Kristus dengan Kristus sendiri sebagai Kepalanya. Kristus yang adalah kepala menjadi sumber rahmat bagi seluruh anggota tubuh-Nya. Ia menyalurkan segala rahmat, karunia, dan keindahan-Nya ke seluruh bagian tubuh-Nya. Mereka yang melepaskan diri dari Kristus sama seperti ranting yang melepaskan diri dari pokoknya sehingga akhirnya akan mati dan kering (bdk. Yoh 15:4-5). Semakin kita mengambil bagian dalam hidup Kristus, semakin kita mengambil bagian dalam kekudusan dan keindahan-Nya.
Pada akhirnya, fenomena ini hendak menunjukkan bahwa sampai saat ini mukjizat masih terjadi. Allah mengomunikasikan diri-Nya melalui segala mukjizat yang dapat kita saksikan. Allah masih bekerja di tengah-tengah kita, karena kasih-Nya setia, abadi selamanya. Mudah-mudahan lewat mukjizat tubuh yang tidak rusak ini menghidupkan kembali keyakinan kita yang kerap kali mengalami kekeringan karena terhimpit oleh banyak masalah. Lewat kesaksian para kudus itu kita bisa belajar untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada penyelenggaraan ilahi.