( Oleh : Pastor Asran Making,SS.CC )
DONGENG SEBELUM TIDUR
Kuingat masa kecilku, setiap malam sebelum tidur ibuku menceriterakan dongeng kepada kami. Karena ibu hanya lulusan SD sehingga dongeng yang diceriterakan pun sangat terbatas. Maka kadang ia mengulang lagi dongeng yang pernah ia ceriterakan. Pada suatu malam, ibuku menceriterakan lagi dongeng “Kancil dan Buaya”. Kakakku langsung berujar, “Bosan! Itu sudah diceriterakan beberapa kali”.
Entah karena diinspirasi Roh Kudus atau karena terdesak, besok malam ibuku menceriterakan sesuatu yang sangat berbeda. Ia menceriterakan kisah-kisah heroic dalam Kitab Suci. Itu terdengar seperti dongeng yang hebat. Kami sangat menyukainya. Ia menceriterakan tentang perang Daud dan Goliat, kisah tentang Samson yang perkasa, kisah penciptaan, kisah 12 anak Yakub, kisah Yudith yang memenggal kepala Holofernes, panglima Asyur dan berbagai kisah lainnya. Aku sangat tertarik dengan kisah itu, namun tidak tertarik untuk membacanya sendiri.
Ibuku bukan seorang yang hebat, yang belajar filsafat dan teologi, maka ia menceriterakan apa adanya sesuai dengan kemampuannya. Kadang-kadang ia mengaitkannya dengan pengalaman kami hari itu. Ketika aku berkelahi dengan kakakku, ia menceriterakan kepada kami kisah “Kain dan Habel”. Aku ingat bagaimana malam itu kakakku menangis terseduh-seduh dan minta ampun karena takut dihukum seperti Kain. Pada waktu kami melarikan diri ke atas bukit karena tsunami tahun 1992, kami dilarang oleh ibu untuk melihat ke belakang karena akan menjadi batu seperti kisah air bah di mana isteri Lot menjadi batu karena melihat ke belakang.
Niat untuk membaca sendiri Kitab Suci mulai tumbuh pada saat SMP. Pada waktu itu aku tinggal jauh dari ibuku, tidak ada lagi dongeng sebelum tidur. Sebagai gantinya aku membaca sendiri kisah-kisah itu dalam Kitab Suci sebelum tidur. Maka ketika tamat SMP, sebagian besar isi Kitab Suci sudah selesai kubaca, kecuali Mazmur, kitab Wahyu dan Surat-surat Rasul Paulus. Dan ketika liburan tiba, giliranku yang menggantikan peran ibu mendongeng Kitab Suci kepada adik-adikku dan keponakanku. Itulah kisah awal bagaimana aku bisa mencintai Kitab Suci.
MENCINTAI KITAB SUCI
Benar pepatah yang mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”. Untuk sampai pada rasa cinta pada Kitab Suci, kita perlu mengenalnya terlebih dahulu, yaitu melalui membaca. Namun untuk membaca pun terasa sulit. Kita lebih senang membaca buku-buku yang lain yang lebih menarik, seperti novel dan lain sebagainya. Kita melihat Kitab Suci sebagai suatu bacaan yang tidak menarik dan membosankan. Mengapa? Ada beberapa anggapan yang biasanya mengemuka:
1) Terlalu sulit untuk dipahami;
2) Isi Kitab Suci tidak berkaitan dengan pengalamanku;
3) Aku adalah orang berdosa sedangkan Kitab Suci berisi hal-hal yang suci; dan berbagai macam alasan lain. Apakah anggapan-anggapan itu benar adanya? Mari kita simak!
Kitab Suci pertama-tama bukan sebagai sumber pengetahuan
Kitab Suci bukanlah seperti buku-buku pelajaran di sekolah yang harus dipahami. Kitab Suci adalah sebuah hasil refleksi penulis atas pengalaman hidupnya berkaitan dengan relasinya dengan Allah dan sesama yang diinspirasi oleh Roh Kudus. Sebagai sebuah refleksi, Kitab Suci pertama-tama bukan merupakan sumber pengetahuan, melainkan sebagai sumber inspirasi dalam membangun hidup dan relasi dengan Allah dan sesama. Inspirasi itu sendiri datang dari Roh Kudus. Maka sikap yang baik ketika membaca Kitab Suci adalah bukan berusaha untuk memahami tetapi membuka hati dan diri agar Roh Kudus bisa membisikkan inspirasi untuk kita. Maka membaca Kitab Suci berarti mencari inspirasi bagi hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Inspirasi itu tak pernah habis karena Roh Allah yang hidup senantiasa memberi pembaruan bagi kita. 10x kita membaca Kitab Suci dengan hati yang terbuka maka kita bisa menemukan 10 inspirasi yang berbeda untuk hidup dari sebuah teks yang sama. Maka pada momen-momen itu bukan lagi kita yang membaca Kitab Suci, tetapi Kitab Suci yang membaca hidup kita.
Kitab Suci lahir dari pengalaman
Kitab Suci bukanlah sesuatu yang turun langsung dari surga tetapi lahir dari pengalaman dan pergulatan hidup penulis dan jemaat pada masa itu. Tentu saja pengalaman dan pergulatan hidup mereka pada saat itu berbeda dengan apa yang kita alami pada saat ini. Namun bukan berarti ia menjadi sesuatu yang asing karena tema pengalaman dan pergulatan hidup saat itu tidak jauh berbeda dengan tema pengalaman dan pergulatan kita saat ini. Lama sih tetap relevan.
Mari kita simak beberapa pengalaman yang juga mirip dengan pengalaman kita. Ada seorang bapak mengeluh kepada seorang pastor, “Romo, saya setiap hari berdoa, misa harian, nggak pernah nyakitin hati orang, nggak pernah mikir yang bukan-bukan, saya juga jujur di perusahaan, tetapi kenapa saya kok sial terus? Usaha saya nggak pernah maju, bahkan terancam bangkrut.” Apakah pengalaman seperti ini tidak ada dalam Kitab Suci? Ayub juga mengalami hal yang sama bahkan lebih mengenaskan dari yang kita alami.
Ada lagi seorang ibu yang berceritera kepada temannya, “Aku jadi malu kalau mau ke Gereja atau pertemuan lingkungan karena dosaku terlalu banyak, aku bahkan sempat pindah ke Gereja Kristen. Kalau mau balik lagi ke Gereja Katolik, aku malu banget.” Kisah “Anak yang hilang” dalam Luk.15 menawarkan kasih Allah yang tak terbatas kepada kita, sebesar apa pun dosa kita.Dan masih banyak lagi pengalaman hidup kita yang mirip dengan pengalaman tokoh-tokoh yang ada dalam Kitab Suci.
Kesucian Kitab Suci
Kesucian Kitab Suci pertama-tama bukan terletak pada tokoh-tokoh yang ada dalam Kitab Suci. Kesucian Kitab Suci terletak pada kehadiran Allah melalui Roh Kudus yang menginspirasi penulis. Sedangkan para tokoh yang ada dalam Kitab Suci, kecuali Yesus, adalah manusia biasa seperti kita yang bisa jatuh dalam dosa. Tetapi bukan kedosaan itu yang terpenting melainkan perjuangan sang tokoh untuk kembali ke hadapan Allah. Kalau mau dihitung, berapa kalikah umat Israel jatuh dalam dosa? Begitu banyak, namun mereka terus berusaha untuk kembali kepada Allah. Rasul Paulus, seorang pembunuh para pengikut Kristus, kembali ke pangkuan Kristus dan menjadi pewarta Kristus terbesar.
Maka adanya anggapan bahwa aku tidak layak membaca Kitab Suci karena saya orang berdosa adalah sesuatu yang keliru. Justru dengan membaca Kitab Suci, kita bisa belajar dari tokoh-tokoh yang ada untuk memperbaiki hidup kita. Kita tidak mau tetap tinggal dalam kedosaan, maka Kitab Suci menjadi pedoman bagi kita menuju kesucian. Dalam Kitab Suci juga kita bisa menemukan doa-doa yang bisa membantu kita untuk belajar berdoa dan kata-kata hikmat yang bisa mengajarkan kita bagaimana menjadi orang yang baik dan suci.
Menulis Kitab Suci Sendiri
Dengan memahami Kitab Suci seperti itu, kita tidak hanya belajar mencintai Kitab Suci tetapi juga belajar untuk menulis Kitab Suci sendiri. Artinya bahwa dengan belajar dari para penulis Kitab Suci, kita juga belajar untuk merefleksikan pengalaman iman kita sendiri dan jika kita menuliskan pengalaman iman itu dalam terang Roh Kudus maka kita sedang menuliskan Kitab Suci bagi diri kita sendiri. Semoga dengan bulan Kitab Suci ini, kita semakin dekat dengan Kitab Suci dan dengan demikian kita semakin mencintai Allah yang terus berkarya demi keselamatan kita.Tuhan memberkati kita. Amin.