( Oleh : Idus Masdi )
Beberapa tahun lalu saat menjalani tugas orientasi pastoral di salah satu paroki di pedalaman Flores, NTT, saya melihat ada sebuah semangat yang luar biasa pada waktu ada kegiatan sharing Kitab Suci bersama dengan umat di stasi. Tugas utama saya selama kurang lebih setahun adalah membantu pastor paroki, terutama memimpin ibadat dan kegiatan pendalaman Kitab Suci di beberapa stasi. Kunjungan ke stasi-stasi cukup intens, meskipun harus berjalan kaki menyusuri gunung, bukit, lembah dan menyeberangi sungai. Paroki dengan topografi yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit itu cukup luas, tapi sayang hanya dilayani oleh seorang pastor. Tidak mengherankan kalau sebagian besar waktu pastor paroki berada di stasi-stasi dibandingkan dengan pusat paroki. Kondisi wilayah yang berbukit dan sedikit curam itu memang menjadi tantangan tersendiri. Mobilitas sedikit terganggu. Daya gerak untuk berkunjung dari satu stasi ke stasi lainnya tidak cepat, karena harus berjalan kaki. Waktu yang dibutuhkan untuk berkunjung ke salah satu stasi sekitar dua hingga tiga hari.
Meskipun demikain, ada selalu hal yang menarik saat kunjungan berlansung. Sebelum diadakan Perayaan Ekaristi atau Ibadat Sabda keesokan harinya, malam sebelumnya dilakukan pendalaman Kitab Suci bersama dengan umat. Umat ternyata cukup antusias mengikuti sharing Kitab Suci, meskipun sedikit agak sulit untuk mengungkapkan pengalaman harian mereka untuk dihubungkan dengan amanat teks yang telah mereka baca dan dengar selama pendalaman berlangsung. Tetapi itu tidak menjadi persoalan, karena ada sisi lain yang lebih penting dalam kegiatan tersebut, yakni umat sangat antusias mengikuti sharing. Suasana sharing pun menjadi lebih hidup dan cair. Pemandu sharing selalu berusaha untuk mengingat peserta kalau mereka terlalu jauh menyimpang dari maksud teks. Saya melihat suasana yang dinamis dan hangat itu menandakan bahwa ada kerinduan untuk mengenal lebih dalam tentang kisah-kisah heorik yang disampaikan dalam Kitab Suci.
Untuk mendorong umat lebih mencintai Kitab Suci, maka paroki menghimbau agar setiap keluarga katolik memiliki Alkitab. Alasanya sangat sederhana, kalau mereka ingin mendengar pesan Tuhan lewat Kitab Suci, maka tahap pertama yang harus mereka lakukan adalah memiliki Kitab Suci. Tetapi himbauan itu kerap kali kurang ditanggapi. Ada selalu alasan klasik yang membuat mereka enggan memiliki Kitab Suci, misalnya harganya terlalu mahal. Tetapi ironisnya, kalau acara adat, meskipun berbiaya mahal, mereka selalu mempunyai uang.
Setelah himbauan kurang ditanggapi, maka kemudian paroki mengeluarkan kebijakan untuk mewajibkan para pengantin atau calon keluarga yang akan menikah secara Katolik, harus memilki Alkitab, selain rosario dan salib. Kebijakan ini ternyata cukup ampuh, karena pastor paroki tidak akan menikahkan pasangan yang belum memiliki Kitab Suci. Kalau belum punya Kitab Suci, maka pernikahan ditunda. Umat tidak keberatan dengan aturan ini. Meskipun pada awalnya merasa sedikit terpaksa untuk memiliki Kitab Suci, tetapi lambat laun umat mulai sadar tentang pentingnya memiliki Firman Tuhan itu untuk setiap keluarga Katolik. Metode pastoral yang sedikit memaksa ini ternyata cukup efektif untuk mendorong setiap keluarga Katolik memilik Alkitab.
Dari pengalaman di atas kita bisa melihat bagaimana perkembangan iman berproses dari waktu ke waktu. Bila pada awalnya umat enggan membaca Kitab Suci, karena tidak punya Kitab Suci atau tidak tahu bagaimana harus membaca dan meresapinya, tapi seiring dengan perkembangan waktu dan informasi, umat perlahan menyadari mengenai peran Kitab Suci dalam kehidupan harian mereka.
Bagaimana Kitab Suci bisa menjadi bagian dari hidup umat? Inilah persoalan mendasar yang mendorong Gereja Indonesia untuk mengumatkan Kitab Suci, sehingga umat semakin sering mendengar apa yang Tuhan kehendaki atas dirinya lewat Kitab Suci. Bulan Kitab Suci Nasional yang jatuh pada setiap bulan September merupakan suatu kesempatan untuk kembali menyegarkan ingatan umat tentang kedudukan sentral Kitab dalam pergulatan iman orang-orang Katolik. Lewat Kitab Suci umat tahu bagaimana Tuhan menyatakan cintanya yang tulus dan tanpa syarat kepada manusia, meskipun manusia kerapkali menolak cinta Tuhan itu.
Pertanyaan adalah bagaimana agar Kitab Suci itu bisa mendarat ke setiap pribadi orang beriman. Maka di sinilah sesungguhnya peran penting keluarga. Setiap keluarga Katolik dipanggil untuk memperkenalkan karya cinta Tuhan kepada anak-anaknya. Tentu dia tidak bisa mengajarkan bagaimana bentuk dan model kasih Tuhan kepada putra-putrinya kalau ia sendiri tidak membaca Kitab Suci.
Lebih dari sekedar bertanggung jawab dalam mewawat dan membesarkan anak-anak, setiap keluarga Katolik dipanggil untuk memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-ananknya. Keluarga tersebut baru dikatakan sebagai keluarga yang sungguh-sungguh Katolik kalau mampu mengajarkan anak-anak mengenal dan mencintai Tuhan. Disadari bahwa kualitas seorang beriman Katolik sangat ditentukan oleh seberapa jauh dia mengenal dan menjalin relasi yang intim dengan Yesus. Namun pertanyaan adalah bagaimana ia dapat membangun relasi yang baik dan meneladani Yesus. Jawabannya adalah sesering mungkin membaca dan bergaul dengan Kitab Suci. Sedemikian penting Kitab Suci, sampai Santo Hironomus, yang menerjemakah Kitab Suci dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Latin (Vulgata), mengatakan: “Siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Yesus”.
Hampir semua orang Katolik hidup dalam satu keluarga atau komunitas tertentu. Semangat persaudaran yang dibangun di dalamnya mesti berlandaskan pada Kitab Suci. Karena itu, sangat tepat bagi keluarga-keluarga Katolik untuk menjadikan Kitab Suci sebagai bagian dari hidup sehari-hari dan menjadi panduan normatif-religius. Dengan demikian, pada saatnya Kitab Suci menjadi semacam “matahari” yang menerangi kehidupan yang terkadang pada bagian tertentu diliputi oleh kegelapan karena tumpukan persoalan. Kitab Suci akan menjadi semacam “motor” yang menggerakan kehidupan berkeluarga. Mendasarkan hidup pada Kitab Suci berarti ingin menatap hidup sesuai dengan perintah dan ajaran Tuhan seperti yang tertera dalam Kitab Suci. Hidup tidak akan pernah kering kalau Kitab Suci dijadikan sebagai “sumur kehidupan”, tempat di mana setiap keluarga Katolik menimba kekuatan-kekuatan rohani.
Pertanyaannya adalah mengapa setiap keluarga Katolik dianjurkan untuk menata seluruh hidup sesuai dengan panduan Kitab Suci, terutama pesan-pesan injil yang diwartakan oleh Tuhan Yesus Kristus yang bangkit. Ada beberapa alasan yang memperlihatkan kedudukan Kitab Suci yang sangat penting dalam membangun keluarga Katolik. Pertama, kitab Suci adalah Sabda Allah dalam bahasa manusia. Kitab Suci adalah kabar gembira Allah, yang mesti didengar dan dialami oleh keluraga Katolik agar cinta Allah itu bisa menjadi kenyataan dalam keluarga.
Kedua, dengan bahasa yang sedikit metafor Kitab Suci diibaratkan sebagai “Surat Cinta” Allah kepada keluarga-keluarga Katolik. Dalam Kitab Suci dengan jelas digambarkan bagaimana Allah mengungkapkan cintanya yang tulus kepada manusia, termasuk keluarga Katolik. Cinta Allah itu ibarat seorang pacar yang menuliskan surat cinta kepada wanita pujaan hatinya. Tetapi, tentunya ungkapan cinta Allah adalah tulus, tanpa batas, tanpa syarat, dan tidak bersifaf gombal.
Ketiga, kitab Suci adalah Terang Kehidupan keluarga Katolik. Sebagai terang kehidupan, Kitab Suci ibarat “api” yang senantiasa memberikan cahaya bagi keluarga agar bisa melewati lorong-lorang gelap kehidupan. Kitab Suci dalam hal ini menjadi semacam panduan normatif-religius untuk mengarahkan pola tingkah laku keluarga Katolik, yakni tingkah laku yang dikehendaki Allah dan sesuai dengan teladan Yesus Kristus.
Keempat, kitab Suci adalah Sabda Tuhan, perkataan dan perbuatan Yesus sebagai sahabat anak-anak. Kitab suci berisi sabda Tuhan dan perbuatan-perbuatan Yesus yang bisa dijadikan sebagai ajaran iman bagi anak-anak. Dengan membacakan atau menceritakan kisah-kisah yang tertulis dalam kitab suci kepada anak-anak, anak-anak akan lebih mengenal iman katolik dan meneladani serta mengikuti perintah Yesus yang adalah sahabat bagi anak-anak.
Anak-anak sesungguhnya senantiasa belajar dari kehidupannya. Bila ia dibesarkan dalam keluarga yang senantiasa membaca kitab suci maka ia akan berlaku demikian untuk seumur hidupnya. Sebaliknya, jika anak-anak tidak dibiasakan sejak kecil untuk bergelut dengan kitab suci maka sampai menjadi seorang dewasa, anak-anak akan tetap berlaku demikian. Mereka melihat kitab suci sebagai sesuatu yang asing dan aneh untuk dibaca.
Foto : Heribertus Eric Wagolebo (Fotografer Santa Odilia – KFO) ~ Perpustakaan Paroki