“Anak Kita Meminta Tanda”
By Romo A. Erwin Santoso, MSF
Keluarga Katolik yang terkasih, selamat menjalani masa liburan sekolah bersama semua anak-anak kita. Selamat mengalami saat berkualitas bersama mereka semua. Semoga mereka dapat mengalami saat indah bersama kedua orangtuanya dengan gembira dan belajar menjadi pribadi yang semakin mendalam dalam kebersamaan dengan pribadi terdekat mereka.
Teringat oleh saya beberapa bacaan yang berkaitan dengan suatu tuntutan.
Yang pertama : adalah tentang Rasul Thomas. Thomas adalah pribadi yang jujur dan rasional. Jika dia merasa yakin, maka dia dapat mengatakan,
Yang kedua : “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia.” (bdk. Yoh.11:16) Komisi Kerasulan Keluarga – KAJ Tetapi dalam peristiwa yang lebih terkenal, Thomas justru tidak percaya dan menantang imannya, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yoh.20:25) Apa yang dapat kita renungkan dalam dua petikan ayat itu?
Saudara saudari terkasih, iman adalah sesuatu yang mengena pada pengalaman manusiawi kita. Kita tidak mungkin dapat percaya jika tidak ada kebenaran yang pantas kita akui untuk diyakini. Iman bisa sangat diikuti dan berpengaruh jika orang sudah “kepincut”dan iman sudah mendarah daging baginya. Saya kira pengalaman Thomas makin terasa nyata dan jelas dalam hidup anak-anak kita sekarang ini. Anak-anak yang telah mendapat segala sesuatu dengan rasional dan jelas membutuhkan kejelasan, keterangan, bukti, guna dan rasa dari iman yang mereka “harus akui”. Segala sesuatu statusnya adalah “sedang dipelajari”. Anak-anak tidak akan sangat beriman jika pengalaman itu tidak dilihatnya pada orang tua. Tidak sedikit dalam perjumpaan dengan orangtua, khususnya remaja sekolah menengah.
Anak-anak cerdas mempunyai kecenderungan untuk “minta tanda”dan “minta bukti”. Mereka diam, tetapi menilai. Mereka tidak selalu mendiskusikan, tetapi pasti membicarakan dengan teman teman dan dirinya sendiri. Mereka sungguh membutuhkan tanda dan bukti itu dari Anda yang lebih dewasa. Pindah agama, ikut ke gereja lain, jarang misa, malas ke Gereja, tidak punya teman Katolik, pacaran beda agama atau bahkan berkomentar pedas tentang imannya sendiri kepada orangtua, adalah hal biasa yang lazim ditemukan pada anak-anak Katolik. Orangtua yang mengeluh biasanya juga tidak sadar memicu peristiwa ini pada anak-anak mereka. Memang pasti lebih banyak yang tetap beriman, tetapi sering datang ke Gereja pun belum tentu berarti mereka sungguh mendalam imannya.
Yang ketiga: Katekese adalah sesuatu yang hidup. Hidup harus dapat dijadikan kitab suci yang baru yang makin menjelaskan sumber asli Kitab Suci kita. Pengalaman buruk akan memberi bukti yang buruk pada generasi muda sehingga goyah imannya. Anak-anak tidak hanya perlu belajar bahasa asing. Mereka tidak hanya perlu dipintarkan dengan berbagai ilmu hebat dan unik. Mereka perlu kekayaan hidup dari imannya, yang membuat mereka lengkap dan sempurna. Hidup yang benar adalah yang seimbang, mengalami yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Bagaimana menjelaskan bahwa Tuhan itu ada? Kadang kata-kata yang sungguh tidak jelas mengenai iman memang bisa menjadi keyakinan, jika diulang-ulang, tetapi perbuatan dan bukti tetap diperlukan. Bagaimana kita bisa beriman dan bertengkar di Gereja sekaligus? Bagaimana Tuhan yang sudah berlalu 2000 tahun yang lalu itu masih berguna saat semua bisa dijelaskan? Penderitaan di dunia ini juga membuat para remaja tidak melihat kuasa dan keperkasaan Allah dalam hidup mereka. Bagaimana ini diatasi Kunci utama yang masih akan menyelamatkan adalah hubungan dekat Anda dengan anak-anak. Mereka mungkin akan bertanya dan hilang iman, tetapi kepercayaan mereka pada orangtua akan menahan mereka untuk tetap ikut kebijaksanaan Anda. Mereka akan terpaksa ikut ke Gereja, tetapi tidak sampai jatuh karena mereka mencintai orangtuanya. Cinta Anda akan menjadi bukti utama bahwa Allah mengasihi mereka.
Anda harus memastikan bahwa perilaku Anda sesuai dengan yang Anda percayai. Nasihat dan khotbah tidak akan berguna jika bukti tidak terlihat dari orang terdekat. Iman itu dipelajari dan diterima dari orang lain. Maka mereka mutlak memerlukan pendidikan iman. Menjadi orang Katolik dewasa pun tetap membutuhkan pelajaran dan sharing dari orang lain, apalagi anak-anak remaja kita. Kita tidak ingin mencetak anak-anak pandai yang kelak akan menghancurkan diri sendiri karena putus asa dan kehilangan iman kepada Yang Mahakuasa.
Pendidikan sekular hanya akan menjadikan mereka pemikir dan penuntut. Mereka seperti ikan yang bertanya “Di mana air berada?”. Tuhan Yesus pun tidak menemukan cara lain menyadarkan Thomas. Ia tahu Thomas hanya akan menjadi percaya jika membuktikan. Mari kita buktikan bahwa beriman ada gunanya. Jangan saling bertengkar; jangan melakukan korupsi; bersikaplah jujur; bertekunlah dalam penderitaan, rajinlah menjalani hidup menggereja dan berdisiplin melakukan liturgi.
Terakhir, jangan berhenti mengajar dan memberkati anak-anak remaja dengan penjelasan dan nasihat. Putus asa adalah tanda kejatuhan orangtua mendidik anak-anak. Semoga Anda semua dapat menjadi orangtua yang memanjangkan Tangan Kasih Tuhan kepada generasi muda Gereja kita. Saya percaya Anda akan lebih gembira menjalankannya. Tuhan Yesus memberkati, Allah Roh Kudus merahmati Anda dengan semangat membara menjadi anak-anak Bapa. Amin