Oleh : Kristanto Irawan Putra
Malam itu tidak hujan, tidak seperti malam-malam sebelumnya yang biasa kulewati selepas kerja. Tanganku meletakkan tas kerjaku, melepaskan penang merah yang tersemat di balik kerah seragamku, dan menanggalkan seragam putih berlogokan “NTS” di bagian dadaku. Kakiku melangkah menuju bilik kecil di seberang kamarku, mengangkat air dalam gayung dari bak kotak, dan menyiramkannya beberapa kali ke arahku untuk menyegarkan kembali ragaku.
Lalu bagaimana dengan jiwaku? Jiwaku meronta-ronta merindukan kesegaran yang sama – seperti yang barusan telah dirasakan oleh ragaku. Malam itu aku memang telah merencanakan pergi ke sana: tempat di mana jiwaku bisa beroleh sebuah keseimbangan di dalam hidupku: kesibukan bekerja di dunia industri nampaknya memang harus dikompensasi dengan banyak percikan dan siraman rohani. Entah kenapa hati sanubariku merasakan denyutnya bertambah fana dan hampa ketika empunya hanya terus-terusan memikirkan jabatan dan harta di dunia.
Ditemani Mercedes-ku, aku pun berangkat menuju ke sana. Kosong tanpa gegap gempita. Apakah acara doa dan permenungannya sudah dimulai? Untungnya lutut kakiku belum kehabisan energi untuk menaiki tangga gedung itu. Dengan sigap kudaki anak tangga itu satu per satu. Aku menuju ruangan aula itu – aula besar di lantai 3 yang telah mengumpulkan anak-anak muda seusiaku dalam acara ulang tahun komunitas beberapa minggu yang lalu. Sayangnya, malam itu kulihat aula itu sedang off. Mataku tak melihat batang hidung seorangpun yang berada di ruangan yang memang gelap itu. Jiwaku yang tengah meronta merindu siraman, tidak patah semangat setelah itu. Ia terbukti langsung memerintahkan kembali lutut kakiku untuk berjalan menuruni tangga, menyusuri lorong di lantai 2 hingga kutemukan sebuah ruangan dengan lampu menyala. Senyum mulai mengembang di wajahku ketika aku sampai di depan pintu dan kulihat perempuan..
Tunggu, perempuan-perempuan ini bukan mereka. Perempuan-perempuan ini lebih terlihat seperti teman-teman ibuku! Membaca bahasa tubuhku yang sedang kebingungan mencari ruangan, salah seorang perempuan itu pun berkata “KKMK ya Mas? Mereka sih baru mulai malam, sekitar jam 8”. Jiwaku pun berterima kasih pada kedua telingaku yang mampu menangkap pesan itu. Dengan lega, aku kembali memerintahkan lututku untuk menuruni anak tangga menuju lobi lantai satu dan mempersilakan bagian tubuh yang tidak terlalu sopan untuk disebutkan itu untuk duduk menunggu kehadiran teman-teman KKMK-ku.
Lima belas menit kemudian, hatiku bersukacita mendengar suara motor memasuki area parkir di depanku. Ternyata motor itu dinaiki oleh sepasang muda-mudi yang berinisial S-P. Tak lama berselang, datanglah motor-motor berikutnya, misalnya yang melayani dua pasang muda-mudi empunya yang berinisial A-N dan E-N. S-V-A, dan muda-mudi lainnya – yang tak bisa diingat lagi urutannya oleh memoriku. Lobi pun ramai sudah, mungkin kami sudah ada bersepuluh waktu itu. Satu hal yang diingat persis oleh punggungku: akomodasi berupa sekardus aqua aku angkut menaiki tangga. Dan lututku pun tidak komplain dengan turun-naik di malam itu. Mungkin ia telah dapat menyerap energi-energi Chi positif yang disalurkan oleh teman-temanku malam itu ketika tangan mereka menjabat tanganku.
Ternyata ruangan yang dipakai adalah ruangan di lantai 2, pintunya tidak jauh dari mulut lorong tadi. Kursi-kursi ditata, buku panduan APP di-estafet-kan. gitar-gitar dan pianika pun dikeluarkan dari sarungnya, Mas berinisial T pun memulai acara pertemuan APP yang ke-2 ini. Ragaku tahu bahwa telinga adalah indera yang pertama kali harus diasuransikan ketika Mas Ardi, Mas Rian, dan Mas Alfian memainkan instrumennya. Alunan musik dari teman-teman KKMK Odilia ini benar-benar tak boleh untuk dilewatkan. Selaras musiknya begitu merdu, melambungkan kidung pujian mengantarkan jiwaku yang hendak bercakap-cakap secara pribadi denganNya, mensyukuri segala nikmat kehidupan yang Ia berikan.
Apabila sebelumnya dibicarakan tentang Kebhinekaan dalam Keluarga, mataku membaca tulisan di buku bahwa Kebhinekaan dalam Komunitas adalah tema pertemuan APP yang ke-2 ini. Sudah menjadi kebiasaan bagi kami KKMK, bacaan kitab suci – yang menjadi salah satu sumber permenungan – dibacakan secara bergantian oleh teman-teman, Bacaan malam itu diambil dari Kitab 1 Kor 3: 1 – 9 dengan judul “Perselisihan”. Mataku menitipkan pesan sponsor untuk diketikkan oleh sepuluh jariku di sini: Tolong jangan lupa bercerita tentang gadget suci dan gadget belum suci yang ada di ruangan itu! Gadget suci adalah gadget yang empunya sudah menemukan perikop itu di aplikasi alkitab seperti eKatolik, sedangkan gadget belum suci adalah yang belum punya – atau yang empunya tidak tahu cara membuka perikop itu melalu gadget-nya. #KidsZamanNow memang harus bijak dan smart dalam menggunakan teknologi.
Kembali ke bacaan 1 Kor 3, diceritakan bahwa manusia telah mengelompok-lompokkan dirinya sebagai golongan Paulus dan golongan Apolos dan yang memiliki rasa iri hati dan perselisihan adalah manusia yang masih duniawi. Kami yang hadir di ruangan itu mencoba merenungi, apakah yang dimaksud dengan “Paulus menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberikan pertumbuhan”. Salah satu Mas yang berinisial A merasa excited dan menilai bahwa bacaan ini sangat sesuai dengan yang sering terjadi di komunitas yang pernah dia ikuti. Beberapa poin permenungannya antara lain:
1. Kebhinekaan dalam Komunitas. Apakah di dalam komunitas Gereja
kita, kita mau mengakui kebhinnekaan tersebut?
2. Apakah dalam menyikapinya, kita masih menjadi manusia duniawi atau
sudah menjadi manusia rohani yang dewasa dalam Kristus?
Apabila open mindset adalah sesuatu yang didengung-dengungkan di pabrik tempatku berkarya, rasa-rasanya open heart adalah sesuatu yang menjadi syarat keberhasilan merenungkan firman Allah ini. Dan jari-jemariku mewakili hatiku mengetikkan kata “APRESIASI” atas keterbukaan hati teman-teman dalam men-sharing-kan buah-buah permenungannya terhadap tema itu. Ada yang mengumpamakan komunitas itu harus seperti pohon, ada pula yang mengumpamakan harus seperti petugas-petugas dalam sebuah misa, ada juga yang menyampaikan bahwa pada intinya kita harus saling melayani.
Kurasakan jiwaku mendapatkan asupan nutrisi yang sangat baik pada malam hari itu dan begitupun yang akal budiku harapkan: semoga nutrisi ini bisa didapatkan oleh teman-temanku yang hadir pada malam hari itu.
Sebelum mengakhiri pertemuan APP ini, Mas A-R-A kembali mengiringi suara-suara hati kami menyanyikan kidung pujian yang begitu khidmat, yang sempat diabadikan dalam video. Akhir kata, kami menunggu mata, telinga, suara hati, dan jiwa teman-teman lain yang belum berkesempatan hadir pada pertemuan APP kali ini untuk bisa hadir pada pertemuan APP berikutnya: setiap hari Selasa dengan jam kumpul selepas kerja. Allah akan memberikan pertumbuhan kepada siapa saja yang mau menanam dan menyiram! Selamat menjadi manusia rohani dalam kebhinnekaan di dalam komunitas. Amalkan Pancasila, Kita Bhinneka, Kita Indonesia!
Mantap sudah mas Kris