Oleh : Sutopo Yuwono
Taman Maerokoco adalah taman yang sangat diagungkan oleh Srikandi, taman Maerokoco tidak lain adalah simbolisasi dari hati dan kebahagiaan Srikandi itu sendiri.
Sebelumnya, taman Maerokoco yang begitu indah nan megah sempat dirusak oleh Prabu Jungkung Mardeyo. Setelah beberapa saat dibuai oleh harapan dan kebahagiaan, dijanjikan akan diajak berlayar dengan bahtera indah nan megah menuju pulau kebahagiaan abadi, namun karena keadaan yang memaksa (sudah menjadi takdir sang Dalang Kehidupan agar cerita berlanjut), ternyata Srikandi ditinggalkan sendiri di tengah samudera luas kehidupan kota Tangerang yang sebenarnya indah tapi kadang tampak begitu kejam bagi yang belum paham. Sirnalah keindahan dan kemegahan taman Maerokoco.
Kemudian Prabu Drupada, ayahnya Srikandi membuat sayembara ‘barang siapa bisa membangun kembali taman Maeroko, akan mendapatkan hati Srikandi.’
Begitulah saya memaknai cerita dalam pagelaran wayang kulit yang diadakan di halaman depan Gereja St. Odilia Paroki Citra Raya pada rabu 1 mei 2019 dalam rangka perayaan puncak Hari Buruh Internasional yang diawali dengan Misa Syukur oleh Bapak uskup Mgr. Ignatius Suharyo, dilanjutkan dengan saresehan dan pentas seni, dan dipuncaki dengan pagelaran wayang kulit, setelah sebelumnya pada pra may day juga diadakan berbagai kegiatan seperti pelatihan ketrampilan, seminar tentang BPJS dan Kesehatan, Olahraga Jenaka juga Bazar hasil karya dan usaha buruh, pameran Koperasi Credit Union dan job fair. Tentu saja, pemaknaan saya tersebut berbeda dari pakem (cerita asli wayang/ pedalangan) cerita itu sendiri, dan pemaknaan lain orang pasti juga berbeda. Pemaknaan tersebut sangat tergantung dari pengalaman yang dialami juga daya tangkap dari masing-masing pribadi dalam memaknai setiap kejadian. Saya rasa, tak jadi soal entah seperti apapun kita memaknainya, yang lebih penting adalah mendapat apa/ belajar apa dari cerita tersebut.
Tak banyak yang paham alur cerita dari wayang tersebut, jangankan memahami ceritanya mengerti bahasanya saja banyak yang kesulitan. Bagaimana tidak, umat yang hadir dalam perayaan tersebut bukan hanya orang Jawa, akan tetapi ada yang dari Medan, Lampung, Kalimantan, Bali, Flores bahkan Papua. Tak sedikit pula yang pergi meninggalkan acara ketika pertunjukan berlangsung. Semoga bukan karena tidak berkenan dengan acaranya, namun karena ada keperluan lain yang tak kalah penting untuk diutamakan.
Meski banyak yang tidak paham alur ceritanya, namun bukan berarti pertunjukan tersebut tidak ada artinya, alunan gamelan sepanjang pertunjukan mampu membuai banyak penonton, mengantarkan berimajinasi menelusur kedalaman relung hati, menjadi trigger akan perjumpaan dengan yang Illahi. Atau barangkali sayup sayup alunan gamelan menjadi iringan menghantar berpetualang ke alam mimpi di siang hari, di sela kelelahan para panitia yang telah begadang sampai dini hari, bahkan ada yang sampai pagi demi kelancaran acara tersebut.
***
Ditengah suasana yang mulai tampak menjenuhkan bagi beberapa peserta, atau justru bagi sebagian peserta lain sedang panas-panasnya mendengarkan kisah yang dituturkan dalang, pertunjukan disela dengan tembang yang dibawakan 2 orang sinden dengan tetap diiringi gamelan. Tiba – tiba dari belakang penonton terlihat sekelompok ibu – ibu yang maju ke depan sambil menari dengan wajah ceria. Ah tampak sekali kegembiraan mereka.
Entah aksi itu sepontanitas atau memang sudah disetting oleh tim wayang, tapi yang jelas aksi tersebut langsung diikuti oleh penonton lainnya. Bagai bubuk mesiau yang terkena terkena percikan api, tampak di depan sana kawan-kawan muda KKMK, para panitia segera beraksi ke depan panggung dengan gerakan – gerakan indah yang tidak terkoordinasi dengan rapi, namun dilakukan dengan wajah ceria sehingga nampak sekali kegembiraan mereka. Hmm, mungkin gerakan – gerakan tersebut adalah ekspresi suasana hati mereka.
Bukan hanya itu, dari arah penontonpun tampak bapak-bapak dan juga ibu – ibu yang turut maju ke depan panggung untuk turut bergembira bersama lantunan tembang-tembang jawa yang diiringi gamelan slendro. Yang tak kalah istimewa, akhirnya Suster Tika (Karena kasih sayang dan keibuanya, saya ingin membahasakanya eyang putri bagi anak-anak saya kelak) dengan penuh antusias dan sikap keibuan turut bergabung bersama kawan – kawan muda dan para penonton untuk bergoyang bersama, mengekspresikan kegembiraan mereka. Satu tembang berasa kurang, “lagi , lagi”, begitu teriakan mereka, tak kalah meriah dengan konsernya Gun & Roses ataupun Citra Scholastika. Dan susterpun turut menyumbangkan lagu ‘Caping Gunung’ dengan begitu merdu.
***
Tiba di penghujung acara, serentak tanpa komando para penonton dan panitia segera membersihkan sampah, memasukannya ke dalan kantung sampah warna hitam, kemudian menumpuk kursi yang dipakai dalam kegiatan. Ah mungkin sudah menjadi habitus umat Gereja St. Odilia untuk bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan, juga budaya gotong royong yang memang sudah terbangun begitu kental. Hmm, seperti yang dipesankan Bapak Uskup, bahwa kita harus bekerja sama, sejalan dengan sepirit rangkaian kegiatan Pra may day hingga acara puncak may day tersebut.
Dengan cekatan, tim wayangpun juga segera membereskan perlengkapanya setelah sebelumnya sempat berfoto bersama dalang, niyaga (penabuh gamelan/ pemusik gamelan) , dan seluruh panitia.
Proviciat untuk KERABAT (Kerasulan Buruh Dekanat Tangerang) yang telah bekerja keras, bekerja sama dan berkoordinasi dengan beberapa kelompok lainya di Seluruh Paroki se dekanat Tangerang guna suksesnya Perayaan Hari Buruh Internasional 2019 bersama para buruh se dekanat Tangerang. Selamat bekerja bersama Membangun Taman Maerokoconya Dekanat Tangerang.