Bacaan:
Yesaya 52:7-10
Ibrani 1:1-18
Yohanes 1:1-18
Pada suatu pesta Natal, umat di suatu paroki gempar, soalnya di palungan Natal mereka melihat seorang bayi sungguhan yang rupanya baru dilahirkan. Bayi itu tidak terawat, keadaannya sangat menyedihkan. Rupanya ada seorang Ibu yang tidak bertanggung jawab, telah meletakkan bayinya di palungan Natal itu.
Umat Paroki itu merasa bahwa ini merupakan suatu skandal. Mereka mengambil bayi itu dan mengirimkannya ke suatu oanti asuhan. Sebagai gantinya, mereka meletakkan sebuah boneka putih berambut pirang di palungan itu! Maka pesta Natal berlangsung secara meriah seperti biasanya….
Sayang, umat paroki itu merasa lebih tepat merayakan pesta Natal dengan sebuah boneka putih berambut pirang daripada seorang anak manusia yang terlahir papa seperti juru Selamat sendiri, ketika Ia dilahirkan sebagai manusia 2000 tahun yang lalu.
Pesta Natal adalah pesta Allah mengidentifikasikan diri-Nya dengan manusia. Pesta Allah menyamakan diri-Nya dengan manusia. Pesta Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Pesta Natal adalah pesta pernyataan betapa Allah mencintai manusia. Dengan pesta Natal kita semakin mengenal siapa itu Allah dan siapa itu manusia. Allah ternyata adalah Allah yang sangat mencintai kita dan manusia adalah makhluk yang sangat bermartabat bagi-Nya. Allah seolah-olah tidak puas hanya dengan menciptakan manusia menurut citra-Nya, tetapi Ia mau sekaligus menjadi manusia itu sendiri dalam diri Yesus. Natal mengungkapkan sisi dari Allah yang tak terduga dan tak terpikirkan: Allah yang sungguh imanens. Allah yang menjadi senasib dengan manusia. Allah yang mau dilahirkan, disusui, digendong, dimomong… dsbnya, sama seperti manusia.
Kalau Allah sendiri mencintai manusia, sampai-sampai Ia sendiri mau menjadi manusia, maka sebenarnya kita manusia seharusnya lebih bisa mencintai sesama manusia lain. Lebih bisa senasib dengan manusia.
Tetapi apa yang terjadi di antara kita manusia???
Kita sering membuat manusia itu tidak senasib. Kita membuat kelas-kelas, tembok-tembok. Manusia bukan saja membuat kelas-kelas antara sesamanya, tetapi sering mengejami sesama. Berlaku kejam terhadap sesamanya. Akhir-akhir ini di koran-koran banyak ditulis tentang kekejaman manusia terhadap sesama manusia lainnya. Kalau berita koran itu benar, itulah contoh-contoh bagaimana manusia bertindak kejam terhadap sesamanya manusia, padahal kita sama-sama manusia yang begitu dicintai oleh Allah. Bagi Allah semua manusia itu sama martabatnya. Apakah ia jenderal atau gembel, presiden atau rakyat jelata, adalah makhluk-Nya yang sangat bermartabat. Dengan pesta Natal, kita merayakan cinta Allah yang tidak terbatas dan martabat manusia yang sedemikian dicintai-Nya. Pesta Natal merupakan penghormatan dan pengakuan paling tinggi terhadap martabat manusia. Natal merupakan pesta bagi martabat manusia. Maka dalam pesta Natal yang bermakna harus diuangkap cinta kepada Allah dan cinta kita kepada sesama. Tanpa itu, bagaimana pun gegap gempitanya perayaan Natal, ia kehilangan maknanya. Natal bukan sekedar perayaan liturgis yang meriah, tetapi Natal adalah sebuah peristiwa cinta yang harus terjadi kembali. Peristiwa mencintai Allah dan manusia. Atau lebih konkrit menurut sabda Tuhan sendiri: Mencintai Allah dalam diri sesama.
Memang peristiwa Natal tidak dapat dibayangkan tanpa cinta kita kepada sesama. Cinta dalam keluarga, cinta dalam lingkungan, bahkan cinta yang mengjangkau sampai jauh keluar lingkungan. Ada rupa-rupa cara kita dapat mencintai sesama, yang dicintai Tuhan itu. Tetapi pada dasarnya cinta itu selalu berarti memberi. Memberi apa yang kita miliki, supaya yang diberi merasa dicintai. Tiap-tiap kita dapat memilih cara yang paling baik untuk diri kita sendiri untuk memberi itu….
Kalau kita saling bertukar kado dan saling bersalam Natal, sebenarnya kita mau katakan kepada satu sama lain begini: “selamat saudaraku!! Betapa kita dicintai Tuhan. Marilah kita slaing mencintai. Terimalah kado Natal dan salam kasih dari saya!!”
Terima Kasih Tuhan Yesus, KelahiranMU membawa kedamaian bagi semua umat manusia.