Gereja Santa Odilia, Citra Raya, Minggu 20 Agustus 2023, pukul 11.00, bertepatan dengan Misa Minggu Biasa XX, sebagaimana dua minggu sebelumnya dalam rangkaian peringatan Pesta Nama Paroki Santa Odilia yang ke 17 nanti, beberapa bulan yang akan datang, maka pada minggu ketiga bulan Agustus 2023 ini Paroki Santa Odilia menghadirkan kembali Misa Inkulturasi, kali ini dipersembahkan dalam nuansa budaya Kalimantan Barat, tepatnya Budaya Dayak dan Tionghoa.
Misa dipersembahkan oleh Romo Richardus Matius Bili, SS.CC dan didampingi oleh Frater Agung Nugraha, SS.CC, dan lebih istimewa kali ini baik Koor, Pemazmur, Lektor, Pembawa persembahan dan juga petugas Tatalaksana dipersembahkan oleh Komunitas Katolik Kalimantan Barat ( K3BT), yang anggotanya meliputi berbagai paroki di Tangerang.
Sebagai kata pengantar, Bapak Antimus selaku koordinator Komunitas Katolik Kalimantan Barat di Paroki Santa Odilia, menyampaikan salam pembuka dalam bahasa Dayak :
“Adil ka’talino, Bacuramin ka’Saruga, Basengat ka’jubata” ( Salam sejahtera dan damai selalu, atau “Harus bersikap adil kepada sesama manusia”, “Kita harus bercermin, berpandangan hidup seperti perkataan baik di Surga”, dan “ Kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa”)
dan Umat menjawab “Arus, arus, arus ” ( Setuju ). Maka dimulailah acara Misa Ekaristi dalam nuansa Budaya Dayak dan Thionghoa dengan segala doa, harapan dan kebaikan.
Sementara itu di halaman luar gereja kehadiran Romo bersama rombongan pelayan misa sebelum memasuki gereja, disambut oleh penari dan pengiring dalam ritual penyambutan tamu kehormatan dalam budaya adat Dayak, dua penari perkasa lengkap dengan pakaian perang adat Dayak, menyandang Mandau ( Senjata khas suku Dayak ) dan Talawang ( tameng atau perisai khas Dayak) menyambut kehadiran rombongan pelayan misa yang dipimpin oleh Romo.
Romo Richard selaku pemimpin rombongan di beri kehormatan untuk mengenakan mahkota berupa topi berhiaskan kepala burung enggang diatasnya dan bulu-bulu burung enggang di bagian belakang yang menjulang keatas. Mahkota burung enggang ( juga disebut burung rangkong, julang atau kangkaren) ini biasa diperuntukkan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi dan terhormat, kemudian Romo dipersilahkan untuk membuka palang merah dengan cara menebas dengan sebilah Mandau, selanjutnya sebagai kehormatan diminta untuk mecicipi minuman “tuak” sebagai bentuk penghormatan kepada tamu.
Iring-iringan rombongan pelayan Misa di awali oleh tarian penari pria dalam pakaian perang dan diiringi dengan barisan putri-putri dengan pesona kecantikan khas Dayak dan Thionghoa dalam balutan pakaian dan aksesoris adat Dayak dan Thionghoa yang berwarna warni, kemudian dilanjutkan dengan barisan Putra-putri sakristi, Lektor, Pemazmur dan Prodiakon serta Frater dan Romo.
Seketika itu suasana gereja diwarnai dengan nuansa warna Putih dan Hijau sebagai warna liturgi saat itu, diiringi dengan nuansa warna Merah delima yang dominan, serta hitam, putih, kuning, keemasan serta beberapa warna manik-manik yang berwarna warni menambah suasana misa menjadi lebih meriah, diiringi dengan musik khas dayak dengan irama yang bertalu-talu dari bunyi alat musik kelentangan dan suara gemerincing dari hentakan gelang-gelang kaki penari menambah suasana alam Borneo dihadirkan dalam gedung gereja Santa Odilia.
Dalam homilinya Romo menyampaikan akan pentingnya kita memohon kepada Tuhan, sebagaimana kegigihan ibu dari Kanaan yang memohon kesembuhan akan putrinya yang sakit, sekalipun harus merendahkan diri kepada Yesus, sebagaimana bacaan Injil minggu ini, Matius 15: 21-28.
Selain itu kita diharapkan untuk senantiasa berpikiran baik pada sesama dan berdoa untuk mereka sekalipun untuk musuh kita, dengan harapan-harapan yang baik dalam doa. Karena “Doa” adalah memilih kata-kata yang baik dan indah. Kita harus bercermin kepada hal-hal yang baik, sebagaimana di Surga.
Homili ditutup dengan slogan yang biasa kita pahami “Tak kenal, maka tak sayang” menjadi “ Tak kenal, Mari kita kenalan”, Slogan ini sangat tepat dimana saat misa tersebut dihadiri dari umat berbagai paroki, yang dimungkinkan saling tidak pernah atau belum pernah bertemu atau asing apalagi kenal, dan saat-saat yang indah di misa Inkulturasi tersebut kita bisa berkenalan dan menjalin persahabatan, persaudaraan, dan bersama-sama memuji nama Tuhan, sekalipun dalam keberagaman.
Lakukan hal-hal yang baik sekecil apapun, disudut-sudut dunia, maka akan membuat kebaikan di seluruh dunia.
Dalam doa umat, ada yang hal yang istimewa dimana ujud doa diucapkan dalam berbagai bahasa di Kalimantan Barat, yaitu bahasa Ketapang, bahasa Sanggau, bahasa Ahe, bahasa Mandarin dan bahasa Sintang.
Saat persembahan diiring dengan tarian dan lagu dalam irama Dayak dengan petikan “Sapek” ( alat musik petik khas Kalimantan).
Dalam sambutan penutupnya Bapak Yulius Maran selaku Dewan Pengurus Harian (DPH) Peribadatan mengucapkan banyak terima kasih pada team Pastores, Rekan-rekan Komunitas Katolik Kalimantan Barat ( K3BT) dan seluruh pendukung perayaan Misa Ekaristi Inkulturasi ini, dan minggu depan kita akan hadirkan Misa Inkulturasi Budaya Sumatra Utara.
Acara dilanjutkan dalam suasana silaturahmi, ramah tamah dan mencicipi hidangan khas Kalimantan Barat didepan gereja, dalam suasana penuh keakraban, persaudaraan dan cinta.
“Adil ka’Talino”, “Bacuramin ka’Saruga”, “Basengat ka’jubata”
Doa dan harapan yang terbaik untuk kita semua, sebagaimana di Surga
.
.
Penulis: Aspranoto || Dokumentasi : Benedicto Amadius Herlambang, Edhuardos Panji dan Suryo Basuindro.
Album foto juga bisa dibuka dari tautan berikut: https://bit.ly/MisaKalbar_200823
.