Ketika membacakan intensi Misa dalam perayaan Ekaristi di lingkungan, aku tanpa sengaja menatap mata seorang gadis muda belia yang sembab. Pelan-pelan wajahnya tertunduk menatap lantai. Suara sesenggukan dan tetesan air matanya membuat Perayaan Ekaristi diselimuti kesedihan. Peristiwa sedih pasti terkenang dalam benaknya. Aku bertekad pergi ke rumahnya untuk menghalau nestapanya.
Ketika aku sampai di rumahnya, ia sedang menatap foto ibunya yang berada di pangkuannya. Ia berulang-ulang memukulkan tangannya di sofa : Romo…. Mengapa aku baru tahu bahwa ibuku sangat mengasihiku ketika ia telah tiada setahun silam. Hari itu merupakan peringatan satu tahun ibunya menghadap Sang Pencipta dan telah didoakan dalam Misa yang mengundang banyak umat menahan tetesan air mata. Ia mensharingkan pengalamannya. Ia adalah puteri dan anak satu-satunya. Ibunya sangat memanjakannya. Ibunya mengerjakan apa saja baginya. Ia tidak boleh bekerja berat. Apapun yang ia perlukan senantiasa tersedia baginya. Ia pun sangat menyanyangi ibunya.
Pada suatu hari ibunya berpamitan pergi ke sebuah kota selama tiga minggu sambil menengok omanya. Sepulang dari kota itu, sikap ibunya berubah terhadapnya. Ibunya tidak lagi memanjakannya. Ia harus mengerjakan sendiri semuanya. Ketika ia lapar, ibunya mengatakan : Engkau kan sudah besar, engkau bisa memasak sendiri makanan. Ketika bajunya kotor, Ibunya mengatakan : Engkau kan sudah besar, engkau harus mencuci sendiri bajumu. Ia merasa bahwa kasih sayang ibunya terhadapnya telah sirna. Kasih sayangnya terhadap ibunya pun pelan-pelan terkikis sampai tiada bekas.
Ketika ibunya meninggal dunia, ia tidak menunjukkan kesedihan. Ketika ia mulai masuk fakultas kedokteran univervitas terkenal di Jakarta, ia mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Ayahnya menyerahkan kepadanya sebuah kado yang terbungkus indah : Nak, ibumu berpesan sebelum meninggalkan kita untuk menyampaikan kado ini kepadamu hanya ketika engkau menghadapi kesulitan besar. Ia membuka kado itu dengan tangan gemetar. Sebuah surat berwarna merah muda, lambang cinta, terletak di atas ikatan tumpukkan lembaran uang. Bibirnya bergerak pelan-pelan membaca surat wasiat : Anakku, tahukah engkau kemana aku pergi selama tiga minggu itu.
Aku memerisakan kesehatanku. Dokter menyatakan bahwa aku mengindap kanker stadium final. Aku sadar bahwa tidak lama ajalku pasti tiba. Aku mengkuatirkan engkau apakah engkau bisa hidup sendiri ketika aku telah tiada karena selama ini aku memanjakan engkau. Dalam sisa usiaku, aku membiarkan engkau belajar melakukan sendiri dalam segala hal. Engkau pasti mengira bahwa aku jahat, tetapi itu merupakan caraku untuk membantu engkau menjadi mandiri. Terimalah uang Rp. 50.000.000,00. Uang ini adalah warisan penjualan sawah dari omamu untukku. Uang ini sebenarnya untuk biaya pengobatanku, tetapi aku tidak tega menggunakannya karena aku tahu bahwa engkau akan memerlukannya. Banjir bandang membobol matanya. Ia sadar bahwa ibunya sangat mengasihinya. Ia mengungkapkan kasihnya kepada ibunya dengan menjadi seorang bina iman anak.
Kasih ibu itu mengingatkan kita akan kasih Tuhan Yesus. Ia sangat mengkuatirkan kita sebelum pulang ke rumah-Nya di surga. Ia mengkuatirkan apakah kita bisa mempertahankan diri sebagai anak terang di dunia yang semakin hari semakin gelap. Ia berdoa kepada Bapa-Nya agar memelihara kita dari serangan iblis dengan menguduskan kita. Kekudusan terjadi dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan sesama. Kesatuan dengan Bapa dan sesama dieratkan oleh Roh Cinta, yaitu Roh Kudus yang sama pada peristiwa Pentakosta. Roh Cinta ini mengusir segala prasangka dalam pikiran kita terhadap Tuhan dan sesama. Ketika pikiran kita mengatakan bahwa kita tidak akan berhasil dalam kehidupan, Ia akan meyakinkan kita bahwa kita bisa melakukan banyak hal dalam diri Kristus. Ketika pikiran kita mengatakan bahwa kita tidak mungkin sembuh dari penyakit kita, Ia akan meyakinkan kita bahwa Allah Bapa sangggup memulihkan kesehatan kita. Ketika pikiran mengatakan bahwa kita tidak mungkin dapat menyelesaikan persoalan besar kita, Ia akan meyakinkan kita bahwa Allah Bapa sanggup membereskannya. Ia akan mengisi pikiran kita dengan iman, harapan, dan kemenangan. Kita pun yakin bahwa Allah Bapa sanggup mengubah keadaan karena cinta : Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Tim 1:7). Roh Cinta ini menumbuhkan dalam jiwa kita kerinduan untuk berdoa secara bebas kepada Bapa dan berpegang pada Firman-Nya : Lakukanlah kebajikan kepada hamba-Mu ini, supaya aku hidup, dan aku hendak berpegang pada firman-Mu (Mazmur 119:17). Cinta, doa, dan Firman merupakan sarana Allah Bapa memelihara jiwa kita sampai pada kesudahannya. Tuhan memberkati.