( Oleh: Lubertus Agung )
Sejak semula Allah telah menunjukkan kepedulian-Nya pada manusia. Kepedulian pertama dan utama Allah adalah keselamatan bangsa Israel yang disebut sebagai bangsa pilihan-Nya. Kita tahu bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang tidak setia. Mereka mudah jatuh dalam sikap egoisme, pengingkaran akan janji setia kepada Allah. Mereka tidak menyadari bahwa ketika mereka lapar dalam perjalanan ke tanah Terjanji, Allah menurunkan manna dari surga; ketika mereka diperbudak di Mesir, Allah membebaskan mereka; ketika mereka dibuang ke Babel, Allah mengeluarkan mereka melalui raja Koresy, raja Persia, dan seterusnya. Di sini kita pahami bahwa betapa Allah berpeduli terhadap bangsa Israel.
Tidak hanya itu, Allah tidak pernah berhenti berpeduli terhadap mereka. Maka wujud kepedulian Allah kemudian adalah dengan mengutus para nabi-Nya (seperti nabi Elia, nabi Musa, nabi Yesaya, nabi Amos dan lain-lain) untuk menegur dan menobatkan umat Israel untuk kembali pada jalan yang benar. Dengan mengutus para nabi itu, diharapkan mereka menjadi bangsa yang bertobat. Tetapi ternyata jauh dari harapan.
Hukuman demi hukuman yang menimpa mereka, mereka tetap saja tidak percaya kepada Allah. Mereka menanti penyelamat yang sungguh-sungguh membebaskan mereka dari permusuhan bangsa lain. Mereka menginginkan Penyelamat yang dapat mengangkat senjata agar dapat berperang melawan penjajah Romawi saat itu. Dari gambaran hidup orang Israel seperti itu, kita dapat mengatakan bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang tidak memiliki rasa syukur atas cinta dan kepedulian Allah terhadap mereka. Dengan kata lain, di dalam hati orang Yahudi tak seberkas pun rasa syukur terhadap kebaikan Allah.
Kepedulian Allah yang terbesar adalah hadir dalam diri Putera-Nya, Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah satu-satunya Penyelamat yang terakhir yang dipilih Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Yesus adalah alfa dan omega dari kehidupan dan keselamatan manusia. Rencana Allah yang hebat atas diri Yesus menimbulkan pertentangan yang hebat pula bagi para ahli Taurat, orang Farisi, Imam-imam kepala, dan penatua-penatua bangsa Yahudi, serta para pejabat pemerintah zaman itu. Mereka sungguh terancam dengan kehadiran Yesus. Mereka merasa tersaingi, merasa takut jangan sampai mereka tidak terpandang dan terhormat lagi di mata masyarakat. Jabatan mereka tidak berarti lagi di mata dunia karena banyak orang yang beralih untuk mengikuti dan percaya kepada Yesus. Oleh sebab itu mereka menolak kehadiran Yesus. Karena menolak mereka pun berusaha untuk membunuh Yesus. Tentu dengan berbagai macam cara mereka lakukan untuk bisa menangkap dan membunuh Yesus
Terlepas dari semua pertentangan tersebut, tampaknya Allah tetap meghendaki agar Yesus satu-satunya Penyelamat dunia, penebus dosa manusia. Rencana penebusan Allah ini sungguh diluar pemahaman akal budi dan hati manusia. Tidak dapat dipikirkan dan diselami. Bahwasannya, Yesus sebagai “Penebus Tunggal” harus diserahkan ke tangan musuh dan mati dengan cara yang tidak manusiawi. Seolah-olah Yesus melakukan kejahatan yang besar. Tetapi secara iman kita pahami bahwa Rencana Allah datang pada situasi yang kontradiktif, yang ingin mengubah kejahatan menjadi kebaikan atau berkat bagi banyak orang. Dan orang yang tepat terwujud-Nya rencana Allah itu ialah Yesus Kristus yang dipilih-Nya sendiri untuk menanggung segala dosa manusia. Maka Allah menghadirkan Yesus kedunia ini dalam dua aspek kepribadian, yaitu aspek manusia dan Ilahi.
Sebagai manusia, Yesus kelihatannya tidak menginginkan adanya suatu kematian atas diri-Nya. Peristiwa yang menggoncang hati Yesus adalah persitiwa di Taman Getsemani ketika maut hendak datang menjemput-Nya. Dalam peristiwa itu muncullah rintihan manusiawi Yesus dalam doa-Nya, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambilah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42). Ini adalah suatu sikap hati yang sadar dan penuh pasrah Yesus terhadap kehendak Bapa-Nya, yang siap untuk disalibkan. Melalui kekuatan doa itu, Yesus pun menyerahkan diri-Nya pada kuasa maut untuk disalibkan. Menyerahkan diri bukan berarti Yesus jatuh total pada kuasa kegelapan/maut, melainkan menunjukkan kerelaan-Nya terhadap kehendak Bapa-Nya dan ingin memberikan yang terbaik kepada kita. Ini juga menunjukkan kepedulian Allah terbesar kepada kita di mana Yesus Putra-Nya dibiarkan-Nya mati dengan cara di salibkan.
Kematian Yesus di salib memperlihatkan kemanusiaan Yesus kepada dunia yang lahir dalam rupa manusia. Allah lahir dalam rupa manusia “Firman itu telah menjadi manusia” (Lih.Yoh 1:14). Kekaguman kita hendaknya semakin bertambah dan menjadi-jadi, apabila kita menemukan semua yang telah dibuat dan diderita oleh Yesus demi kepedulian dan cinta kepada kita. Sebenarnya, untuk menebus kita, Yesus cukup mengalirkan setetes darah-Nya atau meneteskan setitik air mata atau cukup dengan memanjatkan doa untuk kita. Dan santo Yohanes Krisostomus menambahkan, “Apa yang sebenarnya cukup untuk penebusan kita tidak cukup menandingi cinta dan kepedulian Allah yang luar biasa hebat terhadap kita. Namun, Allah tidak hanya ingin menebus kita, karena cinta-Nya yang begitu luar biasa, Ia menantikan juga cinta dan kepedulian yang sama dari pihak kita. Oleh karena itu, diputuskan-Nya menjalani suatu kehidupan penuh penderitaan dan kesengsaraan dan menanggung kegetiran kematian yang paling dahsyat. Dengan demikian, Ia mendorong kita untuk mengerti cinta dan kepedulian-Nya kepada kita tanpa batas. “Santo Paulus menambahkan, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2:8). Dengan ketaatan yang luar biasa inilah, Yesus meskipun mati dengan cara yang tidak pantas dan sungguh mempermalukan, kita akui bahwa Allah sungguh berpeduli kepada kita. Allah tidak menghendaki kita mati binasa dalam keabadian, melainkan Allah menghendaki kita memperoleh kehidupan dan keselamatan kekal.
Ketaatan Yesus sebagai penebus dan seluruh perjuangan jalan salib-Nya berakhir dengan suatu penyerahan diri total. Sebagai manusia, Ia merasakan kesendirian di atas salib. Perasaan manusia-Nya yang ingin bebas dari penderitaan muncul . “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Ini seolah-oleh Yesus merasa ditinggalkan sendirian oleh Allah. Namun, yang paling mengagumkan kita ialah bahwa Yesus sampai detik terakhir menunjukkan kepada dunia akan totalitas penyerahan diri-Nya sampai mati, “Ya Bapa, ke dalam tanganMu, Kuserahkan nyawaKu.” (Luk 23:46).
Kematian Yesus disalib menjadi jelas bahwa Allah sungguh berpeduli kepada kita. Allah berpeduli dengan rela mengorbankan nyawa Putra-Nya untuk disalibkan. Cara yang terakhir yang dipakai Allah untuk menyelamatkan manusia dengan pengorbanan diri Putra-Nya, Yesus Kristus.
Lalu sebagai orang beriman kristiani, bagaimana kita memandang, memahami, dan menanggapi serta menghayati kepedulian Allah itu. Kalau Allah berpeduli itu berarti ada suatu kehendak yang kuat dari Allah bagi kita agar kita juga berpeduli. Berpeduli terhadap satu dengan yang lain. Maka, Paskah adalah sebuah kepedulian bagi kita akan karya keselamatan Allah, akan cinta kasih Allah yang tanpa batas kepada kita. Dan kerelaan Kristus menderita sengsara dan disalibkan mendorong kita agar kita juga mampu memikul salib hidup kita sampai akhir hayat. Tentu ada sebuah janji akhir jika kita setia memikul dan menanggung segala derita hidup kita. Janji akhir itu ialah kebahagiaan dan kemuliaan. Sebab iman kita percaya bahwa hanya orang yang setia memikul salib dan taat pada kehendak Bapa akan memperoleh keselamatan dan kemuliaan kekal. Yesus Kristus adalah tokoh setia dan taat pada kehendak Allah. Tidaklah salah kalau kita para pengikut-Nya meneladani kesetiaan dan ketaatan Yesus yang sangat berpeduli untuk keselamatan kita.
Kemanusiaan Yesus secara kasat mata disaksikan oleh seluruh dunia dari persitiwa kelahiran-Nya sampai pada persitiwa sengsara dan wafat-Nya di salib. Namun, keilahian-Nya adalah sebuah misteri. Dan misteri itu dipegang oleh Allah sendiri. Misteri kebangkitan Yesus menggambarkan unsur keilahian Yesus yang dapat menjawab kehendak Bapa-Nya, yaitu bahwa sesuai dengan apa yang disabdakan-Nya bahwa Ia akan bangkit pada hari ketiga. Inilah unsur misteri dari sebuah sintesa antara kemanusiaan dan keilahian Yesus. Hidup, sengsara dan wafat ditengarai oleh sebuah cahaya kebangkitan. Dengan peristiwa kebangkitan itu, Allah ingin agar Putra-Nya dipermuliakan dan dengan ketaatan Yesus menderita sengsara dan wafat disalib berarti juga di dalam Yesus, Allah dipermuliakan.
Dengan demikian sampailah kita pada sebuah permenungan bahwa Allah sungguh berpeduli atas kita sebagai umat-Nya. Allah tidak menghendaki agar satu dari antara kita tidak terpisahkan daripada-Nya. Asalkan kita secara konsisten menjalankan perintah dan kehendak-Nya yang terangkum dalam sebuah hukum, yaitu hukum cinta kasih. Sebab Yesus sudah menunjukan kasih-Nya yang sejati terhadap kita melalui jalan salib-Nya. Paskah jangan sampai maknanya dilupakan begitu saja hanya sebagai pemenuhan secara ritual belaka, dengan berbagai persiapan dan kesibukan, tetapi makna Paskah menjadi intisari pedoman hidup kita menuju kebahagiaan bersama Kristus. Mari kita menjadi “orang Israel baru” yang meresapi dan menghayati tahun iman ini ‘Tiada Syukur Tanpa Peduli” , sebagai aktualisasi kepedulian Allah yang terlebih dahulu berpeduli atas kita. Selamat Paskah untuk kita semua!