Pengantar
KS adalah Sabda Allah yang diungkapkan dalam bahasa manusia. Dalam hal ini Allah adalah pengarang, “Allah memilih orang-orang yang digunakanNya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka – semua itu dan hanya itu yang dikehendakiNya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh.” (DV 11). Di sinilah letak tegangan itu, apakah kita harus memberi penekanan pada “Sabda Allah” atau pada “bahasa manusia”? Terlihat sederhana, namun hal ini akan memberi kesimpulan yang berbeda pada “bagaimana cara kita membaca dan menafsir KS”? Untuk mendalami tegangan ini kita perlu melihat dua pendekatan yang berbeda, yaitu “Pendekatan Fundamentalis (PF) dan Pendekatan Kritis-Historis (PKH).
Pendekatan Fundamentalis
Mereka yang menggunakan PF memberi penekanan pada frasa pertama, yaitu “Sabda Allah”. Bagi mereka ada koneksi langsung antara apa yang Allah ingin kita ketahui dan apa yang tertulis dalam KS. Allah berbicara langsung kepada kita melalui KS. Karena Allah tidak pernah salah, maka KS pun bebas dari setiap kesalahan; karena Allah tidak pernah berbohong maka apa yang tertulis dalam KS itulah yang dikehendaki oleh Allah. Pemahaman seperti ini membawa dua konsekuensi praktis. Pertama, KS tidak pernah salah tentang apapun. Semua informasi yang tertulis dalam KS (sejarah, etika, ilmu pengetahuan) bebas dari kesalahan. Kedua, semua kisah yang ada dalam KS adalah benar, semua peristiwa yang terekam dalam KS adalah benar. Maka KS harus dipahami secara literer (seperti yang tertulis).
Walaupun mereka tahu bahwa KS ditulis oleh manusia, mereka berkeyakinan bahwa para penulis diilhami oleh Roh Kudus untuk menulis. Sebagai konsekuensinya, apa yang mereka tulis adalah hasil inspirasi, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2Tim 3:16). Maka KS merupakan inspirasi Ilahi dan sebagai bahan pengajaran bagi semua generasi, karena yang ditulis bukanlah ide manusia melainkan kehendak Allah. Karena Allah tidak pernah berubah maka KS merupakan sumber kebenaran etis untuk semua generasi.
Pendekatan Kritis-Historis
Mereka yang menggunakan PKH memberi penekanan pada frasa kedua, yaitu “ditulis dalam bahasa manusia”. Bagi mereka, tulisan dalam KS merupakan hasil tulisan manusia yang berlangsung dalam proses yang panjang. Maka cara terbaik untuk memahami KS adalah dengan menempatkannya dalam konteks historis, jaman KS itu ditulis. Faktor-faktor yang perlu dipelajari adalah: budaya, situasi politik, social dan ekonomi saat KS itu ditulis. Selain itu perlu diperhatikan juga: gaya penulisan atau gaya bahasa serta gaya berceritera pada jaman itu. Dengan mempelajari hal-hal tersebut, maka akan diketahui: “Apa yang sebenarnya terjadi?”dan “Apa yang terekam dala Kitab Suci?” Dalam banyak kasus, keduanya identic, tetapi juga ada kemungkinan kisah dalam KS sudah dibumbuhi kejadian actual atau bisa jadi kisah KS lebih berbicara secara simbolis daripada secara historis.
Kritik atas PF
PKH mengklaim bahwa PF tidak cukup untuk menjawab 3 (tiga) persoalan: i) adanya kontradiksi atau ketidak-konsistenan yang terdapat dalam KS; ii) pengaruh budaya dalam penulisan KS; dan iii) kehadiran gaya bahasa dalam KS. Kita lihat satu persatu.
Pertama, kontradiksi atau inkonsistensi. Bagi PKH, KS tidak selamanya sejalan dengan dirinya sendiri. Contoh adalah kisah penciptaan. PF percaya kisah penciptaan sebagaimana adanya yang tercatat dalam KS. Namun PKH menilai bahwa ada kontradiksi di dalamnya. Dalam kejadian sendiri ada 2 (dua) versi kisah penciptaan, yaitu dalam Kej 1:1-2:4a dan Kej 2:4b-25. Versi pertama berceritera sangat runtun dari hari pertama sampai Tuhan menciptakan manusia pada hari ke-6 setelah yang lain diciptakan. Hari ketujuh Tuhan istirahat. Versi kedua menceriterakan bahwa manusia diciptakan dari debu tanah pada saat bumi masih kosong. Setelah manusia diciptakan baru Allah menciptakan taman Eden.
PKH mengkritik para PF yang menghendaki agar KS dibaca secara literer. Jika itu yang terjadi maka mereka harus mengharmoniskan kedua kisah itu atau menerima salah satu dan menolak yang lain. Bagi PKH, akan lebih bisa dipahami jika kisah penciptaan itu dilihat sebagai “ajaran keagamaan” daripada sebagai “ilmu pengetahuan tentang asal mula alam semesta”. Sebagai ajaran keagamaan, kisah penciptaan versi pertama hadir untuk menegaskan kemahakuasaan Allah yang mampu membuat segala sesuatu menjadi teratur. Sedangkan versi kedua untuk menegaskan monoteisme (percaya akan satu Tuhan) untuk membedakan umat Israel dari budaya lain yang menyembah banyak Tuhan dan dewa.
Kontradiksi atau ketidak-konsistenan lain dalam KS adalah rekaman kata-kata Yesus yang terakhir dalam keempat Injil yang berdeda satu dengan yang lain. Dalam Matius dan Markus, “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15:34; Mat 27:46). Dalam Lukas, “Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu” (Luk 23:46). Dan dalam Yohanes, “Sudah selesai!” (Yoh 19:30). PKH mengkritik PF bahwa jika mereka konsisten untuk membaca KS secara literer, maka seharusnya kata-kata terakhir Yesus itu sama atau paling tidak mirip satu dengan yang lain.
Kedua, pengaruh budaya dalam penulisan KS. Kelompok PF berpendapat bahwa KS merefleksikan kehendak Allah sepanjang masa. Kelompok PKH berpendapat bahwa tulisan KS merefleksikan nilai-nilai dan kepercayaan dalam budaya dimana KS ditulis. Cara pandang yang berbeda menghasilkan pemahaman yang berbeda terhadap ajaran-ajaran etis yang ada dalam KS. Bagi PF ajaran etis dalam KS merupakan standard yang digunakan untuk menilai semua kepercayaan dan praktek-praktet etis. Standard ini tidak berubah sepanjang jaman.
Sementara itu PKH berpendapat bahwa ada ayat-ayat dalam KS merupakan refleksi dari adat kebiasaan budaya setempat pada jaman itu dan bukan merupakan kehendak Allah. Misalnya berkaitan dengan perempuan, perbudakan, dan peperangan. Misalnya dalam 1Kor 14:33-35 dan 1Tim 2:11-14, Paulus berbicara tentang kedudukan wanita dalam masyarakat dan agama, dimana wanita berkedudukan jauh lebih rendah dari pria. Atau dalam Ef 6:5, Paulus membenarkan adanya praktek perbudakan. Sementara itu dalam Yos 6:21, Allah memerintahkan membunuh semua makhluk hidup yang ada di Yerikho.
PKH menempatkan praktik dan sikap-sikap ini dalam konteks sosial dimana KS ditulis. Mereka tidak menganggapnya sebagai sebuah kebenaran ilahi sepanjang masa tetapi lebih merupakan praktek-praktek dan kebiasaan serta kepercayaan yang hidup pada waktu tertentu. Kelompok PF sebaliknya menegaskan bahwa jika ada konflik antara apa yang tertulis dalam KS dengan nilai-nilai yang dihidupi dalam masyarakat maka kita harus mengacu pada KS. Itulah alasannya mengapa para PF menolak teori Evolusi Darwin dan lebih mempercayai kisah penciptaan seperti dalam Kejadian. Sementara itu kelompok PKH lebih melihat kisah penciptaan dalam Kejadian sebagai pemahaman penulis akan dunia. Jika direfleksikan maka kisah ini sangat kaya makna, yaitu tentang iman monotheise, kehadiran setan dan kebutuhan untuk tunduk dan taat sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, sangat dianjurkan bahwa orang Kristiani boleh menerima teori evolusi sekaligus menerima kebenaran ajaran KS, dan penting bagi setiap orang Kristen untuk memahami pengaruh budaya dalam penulisan KS.
Ketiga, gaya bahasa dalam penulisan KS. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita juga mengenal adanya gaya bahasa yang tidak untuk dipahami secara literer. Misalnya sebutan ‘kambing hitam’ bukan ditujukan pada kambing yang berwarna hitam, tetapi bagi orang yang menjadi penyebab perkara. Dalam membaca KS pun kita perlu mengenal adanya gaya bahasa-gaya bahasa yang hidup pada jaman KS ditulis dan tidak sekedar memahami seperti yang tertulis. Misalnya dalam teks Mat 5:29, “Jika matamu menyesatkan, maka cungkillah dan buanglah, sebab lebih baik bagimu untuk masuk surga dengan mata sebelah dari pada seluruh tubuhmu masuk neraka.” Teks ini jangan sampai dipahami secara literer melainkan mengenal adanya hyperbola, yaitu panggilan untuk hidup suci dan benar.
Kritik atas PKH
Pendekatan PKH pun tidak luput dari kritik. Kelompok PF mengkritik PKH dalam beberapa segi. Pertama, mereka mengkritik PHK yang membuat pembedaan antara “apa yang sebenarnya terjadi” dengan “apa yang KS katakan”. Bagi PF, karena KS merupakan Sabda Allah maka KS harus dipahami seperti yang tertulis, karena apa yang tertulis itulah yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu, KS tidak pernah salah.
Kedua, PF mempertanyakan PKH tentang standard yang digunakan untuk membedakan ayat-ayat mana yang merefleksikan secara langsung Kehendak Allah dan mana yang merupakan hasil refleksi berdasarkan konteks budaya penulis? Dua area yang disorot adalah “mujizat dan etika.” Dalam hal mujizat, PF bertanya, “Apakah kita harus menolak historisitas dari mujizat-mujizat yang terjadi karena secara ilmu pengetahuan itu tidak mungkin?” Misalnya Yesus berjalan di atas air, apakah benar-benar terjadi atau itu hanya parabola? PF mengatakan bahwa jika kita menilai semua kejadian yang ada dalam KS menurut ilmu pengetahuan, maka kita harus menolak semua mujizat yang terjadi dalam KS. Bagaimana menjelaskan keperawanan Maria berdasarkan ilmu pengetahuan? Atau menjelaskan kebangkitan?
Berkaitan dengan etika, kelompok PF mengingatkan bahwa bila kita mengikuti cara berpikir PKH maka pembaca bisa saja memilih sendiri etika mana yang cocok dengannya dan menghilangkan ajaran etika yang lain yang ada dalam KS jika dia tidak suka pada etika itu. Kelompok PF berargumen bahwa jika kita secara konsisten menerapkan KS sebagaimana yang tertulis adanya maka kita bisa menghindari kebingungan untuk menentukan ayat-ayat mana yang merupakan Kehendak Allah dan mana yang merupakan kreasi budaya.
Penutup
Dibalik perdebatan antara dua kelompok ini, ada satu hal yang disepakati bersama, yaitu bahwa Kitab Suci bukan merupakan Kitab sejarah peradaban melainkan Kitab yang mengisahkan sejarah relasi Allah dengan manusia yang berpuncak dalam diri Yesus Kristus. Akan selalu ada dilemma ketika kita membaca KS. Dilemma untuk melihat dan membedakan apakah ini benar merupakan kehendak Allah yang harus saya ikuti dengan setia seperti yang tertulis? Atau merupakan budaya atau tradisi sehingga perlu saya teliti lebih mendalam sebelum saya praktekkan dalam hidup saya? Cara terbaik dalam membaca KS adalah dengan membiarkan Roh Kudus sendiri yang hadir untuk memberikan makna dan arti dari KS untuk hidup kita. Pemikiran manusia bisa berubah sesuai dengan perubahan jaman, tetapi Roh Kudus tetap sama dan IA akan setia mendampingi kita untuk memahami Sabda Allah yang ada dalam KS.
Pertanyaan Diskusi
- Pendekatan mana yang Anda pilih? Mengapa?
- Bagaimana Anda menjawab kritik yang ditujukan kepada Anda?
- Apakah Yesus benar-benar berjalan di atas air?
- Apakah ada kisah-kisah yang ada dalam KS yang Anda anggap bukan merupakan fakta historis?
- Apakah manusia diciptakan langsung sebagai manusia atau merupakan proses evolusi dari kera?
St.Odilia-Citra Raya, 18 April 2015
(Oleh : Asran Making, SS.CC)