Pengantar
Seperti apakah relasi antara Allah dan manusia? Bagaimana orang bisa mengalami Allah? Pertanyaan ini menghantar kita pada diskusi bagaimana Allah hadir dalam hidup manusia dan seluruh ciptaan. Atas pertanyaan ini, kita akan menemukan dua jawaban yang berbeda; yang satu menekankan kemahakuasaan Allah sehingga antara Allah dan manusia teradapat jurang yang dalam dan yang lain menekankan kedekatan dan kesatuan Allah dan manusia. Jawaban yang pertama menekankan transendensi Allah dan yang kedua menekankan immanenci Allah. Penekanan yang berbeda menghasilkan cara pandang dan relasi yang berbeda antara manusia dan Allah. Untuk lebih jelasnya kita akan menelaah secara lebih terperinci.
Trancendenci Allah
Transendensi Allah terungkap lebih jelas pada bagian akhir Kitab Ayub. Dari dalam “badai” Allah menjawab Ayub, “Dimanakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceriterakanlah jika engkau mempunyai pengertian!” (Ay 38:4). Allah mulai menyebut hal-hal ilahi atau pekerjaan-pekerjaan Ilahi dimana manusia tidak bisa memahami atau menyelesaikan pekerjaan tersebut. Semua pencapaian manusia, kehebatan manusia kalah dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Allah dalam karya penciptaan. Allah adalah pencipta dan kita adalah ciptaan. Kita bukan Allah; kita adalah hamba Allah. Maka Ayub hanya bisa menjawab dengan rendah hati: “Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepadaMu? Mulutku ku tutup dengan tangan” (Ay 39:37).
Penulis Ayub menggambarkan Allah sebagai yang Mahakuasa, mempunyai kuasa dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Allah melampaui semua kategori yang bisa kita gunakan untuk mendeskripsikan Allah. Mereka yang mengklaim bisa memahami Allah adalah keliru. Tidak ada definisi, penjelasan, atau gambaran yang bisa menjelaskan realitas Allah secara utuh. Tema seperti ini juga terdapat dalam Yes 55:8-9, “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalanKu, demikianlah Firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalanKu dari jalanmu dan rancanganKu dari rancanganmu.” Gambaran tentang Allah yang demikian menghadirkan rasa kagum dan hormat pada Allah.
Immanenci Allah
Selain percaya akan transendensi Allah, umat Judeo-Kristiani juga percaya akan immanenci Allah; Allah yang begitu dekat dengan manusia, “Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepadaNya, pada setiap orang yang berseru kepadaNya dalam kebenaran” (Mzm 145:18). Immanensi Allah juga terungkap dengan bagaimana Ia menyapa manusia. Jika dalam Ayub Ia hadir dalam badai, maka dalam 1Raj 19:12-13, Ia hadir dalam “angin sepoi-sepoi basa” ketika Ia berbicara kepada Elia. Gambaran kehadiran Allah yang demikian mengungkapkan bahwa Allah juga hadir secara sederhana, dalam kelembutan yang bisa dialami dalam pengalaman keseharian manusia. Gambaran Allah yang demikian akan menghadirkan keintiman dan kedekatan dengan Allah.
Model Relasi yang Tercipta
Kedua gambaran Allah ini diterima dalam Gereja. Dilemma timbul ketika memilih untuk menekankan salah satu. Penekanan yang berbeda menghasilkan model relasi yang berbeda. Mereka yang memilih Transendensi Allah akan menekankan “keberbedaan Allah” dari manusia. Allah adalah penguasa dan kita adalah pengikut. Maka model relasi yang bisa dibangun oleh manusia adalah “TAAT”. Tema ini bisa kita temukan dalam kisah Adam dan Hawa. Bagaimana Adam dan Hawa tergoda untuk memiliki ‘pengetahuan’ yang dimiliki Allah (Kej 3:5). Inilah dosa asal manusia: kita ingin menjadi Allah ketimbang menjadi hamba Allah. Hal ini juga terungkap dalam berbagai kisah penyembahan berhala. Misalnya dalam Kel 32, Umat Israel ingin menciptakan Allah yang menyerupai manusia dan menyembah Allah yang demikian. Kita menginginkan Allah yang sesuai dengan kemauan kita ketimbang menyesuaikan diri kita dengan kehendak Allah. Dosa penyembahan berhala tidak lain adalah ketidakmauan untuk menerima Allah sebagaimana yang Ia kehendaki. Maka penekanan pada transendensi Allah berusaha untuk menghindari hal demikian. Bahwa Allah adalah Mahakuasa dan kita adalah hambaNya, kita perlu TAAT padaNya.
Sementara itu, penekanan pada immanensi Allah menghadirkan model relasi yang berbeda antara Allah dan manusia. Di sini kehadiran Allah meresap dalam seluruh pengalaman manusia. Allah membangkitkan, membujuk, mendorong, dan mengajak manusia untuk terlibat dalam “kehidupan yang lebih mendalam” dan kreatif untuk mendukung keberadaan manusia. Namun manusia, dengan kebebasannya, bisa memilih jalan yang lain, yang bisa saja berakibat pada kehancuran. Kita bisa saja menolak atau memilih untuk “BEKERJA SAMA” (cooperative) dengan Allah untuk membuat dunia menjadi lebih baik.
Bagaimana Mengetahui Kehendak Allah?
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana kita bisa tahu apakah itu kehendak Allah atau bukan? Atas pertanyaan ini, mereka yang menekankan Transendensi Allah berpendapat bahwa pengetahuan akan Allah diberikan kepada kita oleh Allah. Maka dibutuhkan sumber-sumber khusus dimana Allah yang Mahakuasa bisa mengadakan relasi dengan manusia. Sumber itu antara lain adalah Yesus (Yoh 1:18), Kitab Suci, para pemimpin Gereja dan para nabi karismatik. Mujizat-mujizat yang terjadi merupakan karya Allah yng transenden.
Namun jika Immanensi Allah yang ditekankan, maka kehadiran Allah bisa ditemukan seluas dan selebar pengalaman manusia. Allah bisa dialami dalam pengalaman-pengalaman religious: dalam doa, liturgy, bacaan-bacaan rohani; Allah juga bisa dialami dalam alam, music, atau karya-karya seni. Keagungan Allah ditemukan di atas puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi, kemahakuasaanNya di antara cela-cela tebing bebatuan, kelembutanNya terpancar melalui sinar mentari pagi yang menerobos masuk lewat jendela kamar, keindahanNya terpatri di taman bunga yang sedang bersemi. Allah hadir dan menyapaku lewat pelukan hangat suami/isteriku, lewat tangisan anakku, lewat senyum manis sahabatku. Allah yang immanen adalah Allah yang hadir dalam segala situasi dengan berbagai cara dan bisa melalui siapa saja dan apa saja.
Tantangan
Kedua pendekatan menyadari akan tantangan yang dihadapi. Transendensi mendapati dua tantangan. Tantangan pertama berkaitan dengan peran dan tanggung jawab manusia. Jika Allah Mahakuasa yang menguasai alam semesta dan satu-satunya yang memiliki kepenuhan pengetahuan, kuasa dan cinta, maka dimanakah tempat manusia dalam mengatur dunia di masa yang akan datang? Apakah Allah sudah mengetahui dan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi di dunia di masa yang akan datang? Dapatkah pilihan manusia bisa mengubah sebuah rencana Allah? Kritik yang ditujukan atas pandangan tentang relasi Allah-manusia yang demikian adalah bahwa pada akhirnya mengurangi tanggung jawab manusia akan situasi dunia saat ini dan melahirkan sikap masa bodoh manusia akan ketidakadilan social. Mereka lebih memilih konsep Immanensi Allah yang menekankan kerja sama antara Allah dan manusia sehingga manusia bisa berperan lebih aktif dalam memelihara dan memajukan dunia.
Tantangan kedua berkaitan dengan kritik bagaimana kita bisa mengetahui Allah yang Transenden. Jika Allah melampaui pemahaman manusia, maka pasti ada sebuah sumber yang mengnungkapkan kehendak Allah bagi kita. Tanpa sumber ini, kita tidak bisa memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah. Sumber-sumber utama itu adalah Gereja, Kitab Suci, dan Magisterium. Maka ketiadaan sumber-sumber ini juga berarti ketiadaan Transendensi Allah. Pengetahuan akan kehendak Allah menjadi sangat terbatas. Dan apakah ada jaminan bahwa sumber-sumber itu tanpa salah karena dibuat oleh manusia?
Bagi yang menekankan Immanensi Allah melihat kehidupan iman sebagai panggilan untuk mengikuti kerinduan yang terdalam dari hati kita karena dari kedalaman hatilah kita dapat mengenal Allah. Kritik muncul, pertama, bagaimana kita bisa membedakan kehendak Allah dari kehendak pribadi? Pada titik mana keinginanku berakhir dan kehendak Allah mulai bekerja dalam diriku? Problem discermen (pencerahan) ini menguasai banyak bacaan rohani dalam sejarah kekkristenan. Orang harus membedakan Roh Allah dari keinginan dan ketertarikan pribadi. Tapi apakah itu bisa berhasil? Bisa saja terjadi bahwa kita memaksakan kehendak pribadi dan mengklaimnya sebagai kehendak Allah. Ini pernah terjadi dan akan bisa terus terjadi. Contoh, perang salib. Jika sebuah gerakan memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup seseorang, apakah berarti dianggap sebagai rencana Allah?
Kritik kedua, bagaimana kita bisa membedakan yang Ilahi dari yang secular, yang suci dari yang biasa? Mereka yang menekankan Immanensi Allah percaya bahwa kehadiran Allah nampak dalam seluruh pengalaman manusia. Seluruh hidup manusia adalah bermakna untuk mengalami Allah. Seluruh ciptaan adalah tanda kemuliaan Allah. Maka semua yang ada di bumi bisa dijadikan sebagai sumber tanda kehadiran Allah.
Penutup
Dilemma ini tentu saja membingungkan dalam memahami kehadiran Allah. Kedua penekanan tentu saja benar adanya. Dalam realitas ada yang mencoba untuk mencari jalan tengah dalam memahami kehadiran Allah. Namun satu hal yang pasti Allah adalah Maha dalam segalanya, namun dalam ke-Maha- annya itu, Ia hadir dalam diri seorang manusia agar lebih dekat dengan manusia. Ia juga mau merasakan suka duka hidup manusia, ikut bergembira dan juga ikut menangis bersama manusia. Dia-lah Yesus, sang Almasih kita, penyelamat kita. Dalam Dia kita menemukan Allah yang sungguh Maha dalam segala hal, tapi juga dalam Dia kita menemukan Allah yang merendahkan diri sebagai seorang hamba. Apapun penghayatan Anda, apakah penghayatan itu semakin mendekatkan Anda dengan Allah? Semakin membuat Anda taat dan tunduk pada kehendakNya? Semakin membuat Anda bisa bekerja sama dengan Allah untuk menjadikan dunia semakin baik dari hari ke hari?
Pertanyaan Diskusi
- Menurutmu, Allah itu sebenarnya Transenden atau Immanen? Bagaimana Anda menanggapi kritik yang ditujukan pada pilihan Anda?
- Apakah ada model pendekatan lain yang Anda temukan?
- Penekanan mana yang menurut Anda menggambarkan kehidupan kristiani? TAAT atau KERJA SAMA?