Sebuah Cerpen oleh Sutopo Yuwono
“Ngoyo men, perjalanan jauh kok naik motor”, begitu komentar Petrus ketika Thomas menceritakan perjalanan mudiknya.
“Loh, ngoyo gimana to?”, sahut Thomas, “lha wong tinggal nge gas, ngerem, kalau lelah berhenti, kalau mengantuk tinggal menepi menyadarkan badan dan tidur, kalau lapar tinggal makan, haus ya minum”, lanjutnya ringan.
“Bisa gitu ya”,
“ya bisalah, karena ya memang begitulah hidup”, sahut Thomas, “ kita gas ketika saatnya nge gas, kita Rem ketika saatnya nge rem, kita tidur ketika butuh tidur, istirahat ketika lelah” lanjutnya ringan, “semua harus tepat pada presisi dan akurasi tertentu”.
“Hanya itu saja?”, tanya Petrus menanggapi
“ Yang terpenting kita harus menikmati”
“ Hmm, tentang harus Ikhlas dan mensyukuri?”, Petrus membuka pertanyaan lagi.
“ Ikhlas dan bersyukur itu sebuah keadaan, harus ada upaya terus menerus untuk mencapainya”, ucap Thomas, “salah satunya ya dengan menikmati kehidupan ini”.
“Tidak terbalik tuh? Bukanya jika kita Ikhlas dan bersykur, maka semuanya akan menjadi nikmat”, ucap Petrus menginterupsi.
“hmm, iya ya”, sahut Thomas mengiyakan pemikiran Petrus, “tapi ga penting untuk diperdebatkan lah”, sahutnya berusaha mengakhiri pembicaraan karena sedikit terpojokkan.
“Pantesan dari dulu kamu tidak sukses – sukses”, celetuk Petrus berusaha membuka ruang perdebatan baru.
Mereka berdua sebenarnya adalah sahabat akrab, meski suka berdebat, tapi tidak pernah saling menyalahkan dan membenarkan pemikiran masing-masing. Tapi justru, mereka saling belajar mengelaborasi pemikiran-pemikiran mereka, hasilnya selalu lahir pemikiran baru yang terus berkembang.
Mencari kebenaran secara pribadi, berdiskusi dengan orang lain dengan pemahaman yang berbeda, kemudian mengelabosari pemikiran mereka menjadi sebuah pemikiran baru. Benar menurut diri sendiri, benar menurut orang lain, dielaborasi menjadi benar menurut kesepakatan bersama, dicari lagi dengan perenungan dan penelusuran untuk mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran Tuhan sendiri.
Mereka jarang sekali memaksakan kebenaran pribadinya, karna paham pemahaman menurut mereka terus berkembang dari waktu ke waktu seiring bertambahnya pengetahuan dan pengalaman hidup mereka.
“hmm, sukses itu apa sih?”, Thomas balik bertanya.
“Sukses itu ya punya pekerjaan tetap, gaji yang bagus, mempunyai rumah, syukur-syukur mempunyai kendaraan pribadi, juga yang pasti punya Istri”, jawab Petrus ketus kemudian tertawa lepas.
“loh, kalau begitu kurang sukses apa aku ini? Pekerjaan ada, gaji tiap bulan ada, rumah ada, meski kredit, kendaraan ada meski bebek berusia setengah baya”, sahut Thomas tak mau kalah.
“Istri belum ada”, sahut Petrus meng skak mat Thomas.
Kalau sudah begitu, seperti biasa, Thomas diam saja dengan wajah manyun. Mungkin benar menurut Petrus, bahwa Thomas itu terlalu santai dalam menjalani kehidupan, nyaman dengan keberadaanya, hingga tanpa pasanganpun dia sudah cukup merasa nyaman. Terlalu nyaman dengan kesendirian, begitu Petrus mendeskripsikan.
Akan tetapi siapa yang tahu isi hati seseorang, dibalik sikapnya yang tenang, gayanya yang apa adanya, sesungguhnya menyimpan kerinduan yang luar biasa akan kehadiran seorang kekasih. Tapi meskipun penantiannya yang sudah sangat lama, belum juga menemukan seseorang yang jadi tambatan hatinya, hingga lama – lama seolah-olah kelihatan terbiasa.
Bukan karena tidak punya teman wanita, bukan pula karena kurang ganteng sehingga tidak ada wanita yang tertarik padanya. Beberapa teman wanita secara halus mendekat padanya, mengisyaratkan bahwa siap diajak mengarungi bahtera bersama, bahkan ada yang secara terang-terangan menyatakan rasa sukanya, tapi tetap saja belum ada satu wanita yang dipilihnya.
Bukan juga karena Thomas tidak tertarik dengan wanita, hanya saja dia terlalu radikal ketika jatuh cinta, sehingga tanpa logika terus berupaya mengejar Ursula, gadis muda yang diinginkanya. Thomas tidak peduli bahwa Ursula sudah mempunyai kekasih, “ah, selama janur kuning belum melengkung”, begitu pikir dia. Keradikalannya dia buktikan, meskipun sudah ditolak berulang kali lantaran sudah ada hati lain di hati Ursula, tapi dia tetap tak berhenti mengejarnya. “Ursula juga suka aku kok”, begitu dia meyakini, sehingga tidak bergeming ketika ada hati lain yang berusaha mengambil simpatinya, Thoma tetap setia menanti Ursula berpaling hati padanya.
“ Sukses itu, kalau cita-cita terwujud”, ucap Petrus memecah keheningan.
“Aku setuju itu, tapi kan cita – cita masing-masing orang berbeda, jadi kriteria sukses tidak bisa disama ratakan” sahut Thomas.
“ Iya juga sih, tapi rata-rata orang kan cita-citanya itu ingin punya pekerjaan tetap, ada pemasukan rutin , ingin banyak uang agar kehidupanya terjamin, ingin punya pasangan agar bahagia”, Petrus berujar, “memangnya, cita-citamu sendiri apa?” tanya Petrus tiba-tiba.
“pengen masuk Surga”, jawab Thomas sekenanya.
“Maksudnya?”, Petrus bertanya heran.
“Pengen menemukan Kerajaan Allah”, Thomas berusaha meralat kata-katanya.
“ Tidak pengen kaya?” desak Petrus.
“Aku tidak bilang begitu”.
“Tidak pengen menikah?” Desak Petrus lagi.
“Pengen banget”, sahut Thomas, “bukankah itu semua otomatis akan ditambahkan jika kita menemukan kerajaan Allah”, lanjutnya.
“Iya, aku tahu, tapi tidak begitu juga kali”.
“Bukankah dengan ringan tangan dan banyak membantu, pekerjaan akan otomatis mendekati kita? bukankah kalau kita berdagang dengan jujur, melayani dengan baik, pelanggan akan otomatis datang pada kita? Bukankah kalau kita jadi laki-laki atau wanita yang baik jodoh yang baik akan mendekati kita pula?” ujar Thomas, “jadi mana yang lebih utama?”, lanjutnya.
“Dasar jomblo akut, dibilangin keras kepala, sok – sokan bijak”, ucap Petrus Lirih, kemudian pergi meninggalkan Thomas sendirian.
Tampak Thomas bangkit berdiri mengejar, “loh, apa ada yang salah dengan kata-kataku?” teriak Thomas.
“Tidak ada, tapi faktanya kamu masih jomblo, berarti kamu bukan laki-laki yang baik”, teriak Petrus sebelum akhirnya menghilang dibalik tembok bangunan.
Meski dalam nada bercanda, tapi perkataan Petrus cukup mengena di hati Thomas “Apakah benar bahwa aku memang bukan laki-laki yang baik”, bisik Thomas dalam hati. “Aku ini terlalu egois, memaksakan kehendak, tidak pernah mendengarkan nasehat, tidak memikirkan perasaan orang lain. Tapi ya meski bagaimana lagi, aku juga tidak bisa membohongi hati”, lagi bisik Thomas dalam hati, “Yakin itu kata hati? bukan hasratmu yang tak terkendali?”, suara lembut berbisik dalam hati, Thomas belum berani memastikan.
***
KGK 1776 “Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,… Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya” (Gaudium et Spes 16)