Gerakan luar biasa, spontan. Di akhir sambutannya pada retret di Casa Santa Marta, Vatican, 11 April, Paus Fransiskus melanggar protokol dengan berlutut dan mencium kaki otoritas sipil Sudan Selatan, termasuk Presiden Salva Kiir Mayardit, dan wakil presiden Riek Machar dan Rebecca Nyandeng De Mabio. “Kepada kalian bertiga yang menandatangani Perjanjian Perdamaian, saya meminta kalian, sebagai saudara, tetaplah berdamai,” kata Paus. “Dari hati aku meminta kalian. Mari maju. Akan ada banyak masalah, tetapi jangan takut, maju, selesaikan masalahnya.”
Dalam sambutan dadakan setelah pidato, Paus mengatakan, “Kalian telah memulai suatu proses; semoga berakhir dengan baik.” Meskipun masih akan muncul pergulatan-pergulatan, kata Paus, semua ini seharusnya tetap “dalam kantor.” Namun di depan umum, kata Paus, “tetaplah tangan kalian bersatu.” Dengan cara ini, kata Paus, “dari warga biasa, kalian akan menjadi Bapa-Bapa Bangsa.”
Dalam sambutan yang disiapkan, Paus merenungkan “tatapan Tuhan” dan “tatapan rakyat.” Paus memulai pidato dengan kata-kata yang digunakan Tuhan yang bangkit untuk menyapa “murid-murid-Nya yang putus asa,” setelah kebangkitan: “Damai sejahtera bagi kamu!”
“Damai adalah karunia pertama yang Tuhan bawa kepada kita,” kata Paus, “dan komitmen pertama yang harus diupayakan para pemimpin bangsa. Perdamaian adalah syarat mendasar untuk memastikan hak-hak setiap individu dan pengembangan integral seluruh rakyat.”
Paus lalu merenungkan sifat unik pertemuan di Vatikan itu: sebuah “retret … yang ditandai renungan batin, doa penuh kepercayaan, refleksi mendalam dan perjumpaan-perjumpaan rekonsiliasi.” Paus mendefinisikan tujuan retret itu sebagai “berdiri bersama di hadapan Tuhan dan mencermati kehendak-Nya.” Paus mengingatkan otoritas sipil dan gerejawi yang hadir tentang “tanggung jawab bersama mereka yang besar untuk masa kini dan masa depan rakyat Sudan Selatan,” dan tentang bagaimana Allah akan meminta kita “untuk memberikan pertanggungjawaban bukan tentang kehidupan kita sendiri, tetapi juga kehidupan orang lain.”
Setiap retret, kata Paus, harus membuat kita merasa seperti berdiri di depan “tatapan Tuhan … yang bisa melihat kebenaran dalam kita dan menuntun kita sepenuhnya kepada kebenaran itu.” Paus lalu menceritakan kisah “Yesus memandang Petrus,” dengan pertama-tama meminta dia “melaksanakan rencana penyelamatan bagi umat-Nya.” Paus menyebutnya pandangan “pilihan”, atau “memilih.”
Kali kedua Yesus memandang Petrus adalah setelah Petrus menyangkal Tuhan tiga kali, Kamis Putih. Inilah tatapan yang “menyentuh hati Petrus dan menyebabkan pertobatannya,” kata Paus. Akhirnya, setelah kebangkitan, “Yesus sekali lagi memandang Petrus dan memintanya tiga kali untuk menyatakan cintanya.” Itulah saatnya ketika Dia sekali lagi mempercayai Petrus “dengan misi menggembalakan domba-domba-Nya.”
“Tatapan Yesus bertumpu, kini dan di sini, pada setiap kita,” lanjut Paus. “Sangatlah penting untuk menerima tatapan ini” dan bertanya pada diri sendiri, “Apa misi dan tugas saya sehingga Allah mempercayai saya demi kebaikan umat-Nya?”
Yesus “menaruh kepercayaan besar kepada kita dengan memilih kita menjadi rekan-rekan kerja-Nya dalam penciptaan dunia lebih adil,” kata Paus. Tatapan-Nya menembus kedalaman hati kita. “Tatapan itu mencintai, mengubah, mendamaikan dan menyatukan kita.”
Paus lalu berbicara tentang “tatapan lain”, tatapan rakyat, tatapan yang “mengungkapkan keinginan kuat mereka untuk keadilan, rekonsiliasi, dan perdamaian.” Paus mengungkapkan “kedekatan spiritual” dengan pengungsi dan orang sakit. Paus mengingat “semua orang yang kehilangan orang yang mereka cintai dan rumah mereka, keluarga-keluarga yang terpisah dan tidak pernah bersatu kembali, semua anak dan orang tua, pria dan wanita yang sangat menderita karena konflik dan kekerasan yang timbulkan begitu banyak kematian, kelaparan, luka dan air mata.” Paus “terus memikirkan jiwa-jiwa yang menderita ini,” dan berdoa “agar api perang akhirnya padam, dan mereka bisa pulang ke rumah dan hidup dalam ketenangan.”
“Saya tidak akan pernah bosan mengulangi bahwa perdamaian itu mungkin!” kata Paus. Perdamaian itu “karunia Allah yang besar,” tetapi juga “tugas tertinggi di pihak mereka yang bertanggung jawab terhadap rakyat.” Kita semua dipanggil untuk menjadi pembawa damai, kata Paus, untuk “membangun perdamaian melalui dialog, negosiasi dan pengampunan.” Rakyat lelah karena konflik, kata Paus. “Ingat, dengan perang, semuanya hilang!”
Paus merujuk perjanjian damai yang ditandatangani oleh perwakilan politik tertinggi Sudan Selatan bulan September lalu. Paus mengucapkan selamat kepada para penandatangan dokumen itu karena telah “memilih jalan dialog,” karena “kesiapan mereka untuk berkompromi,” dan karena “tekad mereka untuk mencapai perdamaian.”
Paus memuji “berbagai prakarsa ekumenis Dewan Gereja-Gereja Sudan Selatan atas nama rekonsiliasi dan perdamaian, dan perhatian terhadap orang miskin dan terpinggirkan.” Paus mengingat pertemuannya baru-baru ini di Vatikan dengan Konferensi Waligereja Sudan dan Sudan Selatan dalam kunjungan ad limina mereka. Paus terkejut dengan optimisme dan kepedulian mereka terhadap banyak kesulitan politik dan sosial di kawasan itu.
Paus mengkorfirmasi harapan dan kerinduannya “agar segera, atas karunia Tuhan,” dia akan bisa mengunjungi Sudan Selatan, bersama dengan Uskup Agung Canterbury, dan mantan Moderator Majelis Umum Gereja Skotlandia.
Paus mengakhiri meditasinya dengan doa. Dalam doa itu Paus meminta kepada Allah Bapa untuk “menyentuh dengan kekuatan Roh kedalaman setiap hati manusia, sehingga musuh-musuh terbuka untuk berdialog, lawan-lawan bergandengan tangan dan rakyat bertemu dalam kerukunan … Semoga pencarian sepenuh hati untuk perdamaian menyelesaikan perselisihan, semoga cinta mengalahkan kebencian dan semoga balas dendam dikalahkan oleh pengampunan,” doa Paus.( berdasarkan Vatican News)