Mitos hidup perkawinan: menerima pasangan apa adanya!

Dalam kursus persiapan perkawinan, saya mengajukan pertanyaan pertama begini, “Apakah kaliah harus menerima kelemahan pasangan apa adanya?” Dengan penuh semangat mereka menjawab, “Pasti dong Romo! Masak sudah suami isteri nggak mau meneriman kelemahan pasangan!” Lalu saya tidak mengomentari, tapi saya bertanya lagi, “Sampai kapan kalian akan saling menerima kelemahan apa adanya?” Dengan mantap tanpa ragu ragu, mereka pun menjawab, “Yah pastilah kami mau menerima kelemahan sampai maut memisahkan Romo. Masakan kita sudah janji nikah, mau diingkari!”

Saya masih juga belum berkomentar, tapi memperdalam jawaban, “Kalau begitu, “Apa jaminan kalian, kok bisa mengatakan mampu saling menerima kelemahan pasangan sampai akhir hayat? Kalau orang hutang di pegadaian, jaminannya bisa sertifikat tanah, dsb. Kalau
kalian bertekad mau menerima kelemahan “apa adanya”, jaminannya apa? Pasangan itu lalu bekerut dahi. Namun mereka berusah menjawab, “Romo, jaminan kami ya percaya saja pada pasangan, dan ingat janji nikah!” Saya mulai menggugat jawaban mereka, “Ah apa benar, saya kok tidak yakin!! Coba sekarang kalau kenyataannya begini. Misalnya, kalau suamimu ini sering tidak bisa bangun malam, padahal sebagai ibu, kamu sudah capek, dan tidak bisa

bergantian jaga untuk ganti popok  anakmu, apakah sebagai ibu, kamu akan diam saja atau mau protes atau marah?”Pihak calon isteri langsung saja spontan menjawab, “Yah kalau begitu, mana bisa Romo, pasti  saya juga marah!’ Saya langsung tertawa, sambil menyahut, “Nah, lho…baru saja tadi kalian bilang mau menerima kelemahan apa adanya, kok sekarang berbeda jawabanmu? Coba saya tanya pada calon suami nih, “Mas, kalau isterimu judes dan galak, selalu saja komentar dengan cara berpakaianmu, caramu makan, dsb, kira kira kamu terima apa nggak diperlakukan begitu oleh isterimu nanti?” Spontan, calon suami tadi langsung menyahut, “Romo, yah harapannya tidak seperti itu, tapi kalau terjadi, mana saya bisa terima kelemahan isteri saya!”

Saya lalu menanggapi jawaban mereka berdua, “Nah ternyata apa yang tadi kalian katakan tidak konsisten kan? Setelah dihadapkan pada contoh dan kenyataan yang akan terjadi, kalian sudah mengatakan “tidak bisa menerima kelemahan pasangan!” Jadi sebenarnya, mitos itu mesti diganti dengan cara pandang baru, bagaimana mengubah PARADIGMA KITA TENTANG KELEMAHAN MANUSIA, Kelemahan yang dianggap sebagai gangguan yang menggelisahkan, membosankan dan mengecewakan, dipahami sebagai “SAAT SAAT ISTIMEWA PENUH RAHMAT TUHAN untuk tumbuh dan berkembang sebagai pasangan hidup

Contohnya begini: kalau isterimu judes, galak dan cerewet, itu kesempatan bagimu sebagai suami untuk “dinilai, dikritik dan ditunjukkan kesalahanmu” Jadi nanti kalau habis bekerja, kalau ada kesalahpahaman, tanyalah pada isterimu, “apa yang salah dalam diriku menurutmu, coba kamu nilai kerjaanku apa sudah baik apa belum!” Kalau, suamimu sering bangun terlambat karena tidur larut malam, atau tidak bisa bangun malam untuk berganti jaga, tanyakan pada suamimu, “Mas, kalau kamu bangun terlambat, saya belajar untuk memahami bagaimana kamu capek seharian sudah kerja. Tapi saya juga jadi ingin tahu, apa Mas keberatan dengan tanggung jawab untuk berganti jaga malam hari mengganti popok? Kalau keberatan, katakan, ya itulah resiko yang harus aku tanggung! Namun, alangkah senangnya, kalau Mas bisa bangun pagi, atau bisa berjaga malam! Tapi itu harapanku!” Isteri belajar untuk mempelakukan suami menjadi “diri sendiri”. Demikian juga suami yang mengenal isterinya judes, ia tidak mau mengubahnya, melainkan menghargai dia dengan cara memberi kesempatannya menilai.

Dari berbagai pengamatan, setelah pandangan itu diterapkan, ternyata mengurangi banyak percecokkan dalam keluarga. Mereka bisa bergembira dalam hidup perkawinan, Tidak usah pusing saling mempersatukan perbedaan, melainkan mereka bisa sersan, serius tapi santai, menghadapi kelemahan satu sama lain.

Moga moga makin banyak hidup perkawinan menjadi tanda kehadiran cinta Allah yang membebaskan orang untuk saling mengasihi.

(Blasius Slamet Lasmunadi, Pr)

(Sumber http://www.imankatolik.or.id/)

Scroll to Top