Berawal dari keinginannya menjadi seorang pemain sepakbola, Pastor Tony Blikon, SSCC yang dilahirkan pada 29 November 1973 membulatkan keinginannya menjadi seorang pastor. Anak sulung dari 5 bersaudara yang semuanya laki-laki ini sangat merindukan untuk menjadi seorang pemain sepakbola seperti para seminaris yang sering ia lihat.
Setelah ditahbiskan pada 18 Juni 2004 di Gereja St. Mikael-Waringin, Bandung, ia mengemban tugas pertamanya sebagai pastor pembantu di Paroki Beato Damian, Batam selama satu tahun. Tepat pada ulang tahun pertama imamatnya, Pastor Propinsial memberitahukan bahwa ia harus pindah ke Bandung sebagai persiapan studi lanjut untuk mendalami Kitab Suci. Namun setiba di Bandung, ia diserahi surat tugas sebagai socius (pembantu rektor) di Seminari Damian, mendampingi para frater. Ia merasa kaget, merasa tidak siap dan tidak pantas untuk tugas tersebut. Tahun itu merupakan tahun pergumulan yang luar biasa baginya karena ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Walau sering ia merasa bosan dan jenuh karena rutinitas harian yang monoton, ia selalu belajar untuk setia dan mencintai kebosanan itu. Bukankah tantangan dalam setiap panggilan adalah mencintai kebosanan yang ada di dalam panggilan itu?
Demikianlah motto yang menjadi kekuatan bagi dia dalam pergumulan tahun itu.
Atas permintaanya sendiri, Pastor Tony berangkat ke Yogyakarta untuk persiapan studi selama 1 tahun dengan belajar bahasa Ibrani dan memperdalam bahasa Yunaninya. Akhir tahun 2007, ia dipindahkan lagi ke Bandung untuk menyelesaikan administrasi sebelum keberangkatannya ke Roma. Namun, pada Januari 2008 ada berita bahwa Pastor Alfons Claes, SSCC yang saat itu bertugas sebagai Pastor Pembantu di Paroki St. Odilia, jatuh sakit. Karena keprihatinannya ia memberanikan diri untuk mengirimkan surat kepada Dewan Propinsi, yang berisi “ saya rela ditunda untuk rencana studi Kitab Suci. Kalu memang Paroki St. Odilia sangat membutuhkan”. Surat itu ternyata mendapat tanggapan positif dari Pater Propinsial. Saat itu propinsial sempat bertanya,”jika saya menempatkan anda selama 2 atau 3 tahun di St. Odilia, dan setelah itu anda saya kirim untuk melanjutkan studi, bagaimana tanggapanmu?” Pastor Tony setuju!
Inilah sedikit kisah terdamparnya Pastor Tony di paroki kita ini. Berbicara soal duka dan duka menjadi imam, Pastor Tony mengawali dengan sebuah peribahasa, “ Siapa yang tidak mengenal kegelapan, tidak akan juga mengenal terang ” (peribahasa Jepang). Dengan kata lain, jika kita ingin tahu apa sesungguhnya terang itu, masuklah ke dalam kegelapan. “ Maksudnya, bahwa pengalaman negatif seperti duka-derita, kegagalan dan kekecewaan, sisi gelap kehidupan dapat mebawa efek positif bagi hidup. Orang dapat menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan sesama sesudah pengalaman hidup yang pahit. Sisi gelap itu berguna untuk penghayatan hidup yang penuh. Bukankah sebuah foto atau gambar itu indah karena tampilan yang serasi antara terang dan gelap?” Banyak suka duka yang ia alami, bahkan sejak awal pengalaman panggilannya. Tetapi katanya,” ia menjadikan semuanya sebagai bingkai penghias potret hidupnya”.
Tuhan tidak pernah menjanjikan suatu kehidupan tanpa derita. Tetapi Ia menjanjikan rahmat bagi orang yang setia. Disaat-saat lemah dan tak berdaya, Pastor Tony selalu diteguhkan oleh natz berikut ini “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelamahanlah kuasaKu menjadi sempurna.” (2Kor 12 : 9). Kebahagiaan terbesar baginya adalah dapat mempersembahkan Ekaristi di dalam mana ia bertindak atas nama Kristus.
Memulai dengan motto tahbisan imamatnya dari Yoh 15 : 8, Pastor Tony merasa bahwa teks tersebut memberi insipirasi bagi penghayatan hidup imamatnya. “ Ranting tidak dapat berbuah kalau ia terpisah dari pokok anggur. Demikianpun saya jika terpisah dari Yesus maka saya tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi saya melihatnya dari sisi yang berlawanan. Adalah ranting yang menghasilkan buah bukan pokok anggur tersebut. Pokok memerlukan ranting agar dapat menghasilkan buah. Disini saya melihat betapa besarnya kepercayaan yang Yesus berikan kepada saya.Yesus tahu bahwa saya lemah, rapuh dan mudah jatuh. Tetapi ia memberikan kepercayaan yang besar kepada saya. Rasa-rasanya tugas yang diemban karena kepercayaan yang diberikan nampaknya memberikan kebanggan tersendiri, Apalagi yang memberi kepercayaan itu adalah Tuhan Pencipta yang tahu betul siapa kita secara pribadi. Toh dalam kekurangan dan ketidak pantasan itu, Tuhan masih mau berkata, “ Tony…Akulah pokok anggur dan kamu ranting-rantingnya” Suatu kepercayaan yang luar biasa.” Mengutip ucapan St. Agustinus,”bagimu saya adalah seorang pastor, tetapi bersamamu saya seorang beriman”. Maka pesannya bagi umat St. Odilia adalah “ Marilah kita berjalan bersama, saling mendukung demi perkembangan dan kemajuan paroki kita ini. Kalau saya salah, tegurlah secara pribadi. “