Menghadirkan Pelayanan yang Inspiratif

(Oleh : Idus Masdi)

Ada hal yang menarik ketika kita memasuki tahun 2014, terutama karena tahun ini dibaptis sebagai tahun politik. Pembaptisan ini tentu berkaitan dengan konstelasi politik bangsa Indonesia yang saat ini fokus pada  kegiatan pemilihan untuk wakil rakyat yang akan duduk di parlemen dan pemilihan presiden. Dalam konteks pembangunan yang lebih luas, perhelatan ini dinilai sangat esensial dan strategis  karena akan menentukan nasib bangsa ini  dalam lima tahun ke depan, atau bahkan puluhan tahun ke depan. Seperti apa gambaran Indonesia untuk tiga atau lima tahun ke depan, justru sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dalam tahun 2014 ini.

Dinamika politik yang terus berkembang ini juga mendapatkan perhatian yang serius dari pimpinan Gereja kita.  Disadari bahwa sebagai anggota Gereja kita tidak akan pernah luput dari hiruk pikuk politik  yang berlangsung dengan sengit di seputar kehidupan kita. Dampaknya akan sangat terasa. Oleh karena itu, sebagai anggota Gereja kita pun dipanggil untuk berperan membangun sebuah kehidupan  bangsa yang lebih baik dan merajutnya dengan rupa-rupa pelayanan kasih. Namun di sini lain, dalam kondisi seperti ini, kita  juga  dipanggil untuk melakukan gerakan antisipatif mencegah kemungkinan terjadinya hal-hal terburuk yang menggagalkan karya pelayanan kasih itu. Karena itu, perlu ada sebuah  guidance  yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan sebuah karya pelayanan di tengah tahun politik ini. Dalam konteks ini menjadi relevan bagi kita untuk mengacu pada pesan Surat Gembala Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo. Beliau menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Pelayanan.

Menarik untuk disimak,  bahwa tema yang diangkat adalah   “Dipilih untuk Melayani”. Bapa Uskup mengaitkan tema ini  dalam dua konteks, yakni konteks gerejawi dan konteks tahun politik. Ditegaskannya, dalam konteks gerejawi, memilih dan melayani adalah dua kata amat dekat dengan jati diri kita sebagai murid-murid Kristus. Sementara dalam konteks politik, tema itu bisa dikaitkan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2014 ini. Beliau menaruh harapan agar  para tokoh yang akan terpilih dalam pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden benar-benar melayani demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Tapi Bapa Uskup, kemudian menambahkan bahwa Tahun Pelayanan tidak bisa dipisahkan dari Tahun Iman dan Tahun Persaudaraan. Iman yang sejati akan berbuah persaudaraan. Belum atau kurang adanya  persaudaraan merupakan  tanda bahwa iman belumlah kuat dan mendalam. “Persaudaraan yang sejati akan berbuah pelayanan yang tulus dan gembira. Persaudaraan yang yang tidak atau belum berbuah pelayanan kasih barulah egoisme dalam bentuk yang terselubung,” imbuhnya.

Ia menyampaikan bahwa pelayanan mempunyai isi dan pengertian yang amat kaya. Pelayanan merupakan setiap bentuk usaha untuk semakin memuliakan martabat manusia, mewujudkan kesejahteraan umum, mengembangkan solidaritas, memberi perhatian lebih kepada sudara-saudari kita yang kurang beruntung, dan melestarikan keutuhan ciptaan.

Bagaimana tema pelayanan yang digaungkan dalam Surat Gembala itu,  dapat sungguh-sungguh menyapa umat basis  di akar rumput (lingkungan)  sehingga  mereka memahami pesan itu  dalam pergulatan hidup sehari-hari. Ternyata Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) tidak tinggal diam. Komisi Liturgi KAJ telah mengambil prakarsa membuat buku panduan APP (Aksi Puasa Pembangunan) 2014  dengan mengangkat  isu pelayanan sebagai fokus refleksi umat selama masa prapaskah.

Ada banyak tokoh yang ditampilkan dalam buku APP,itu,  dan salah satunya adalah Bunda Teresa dari Kalkuta, India. Seluruh hidupnya mengabdi pada layanan kemanusiaan, terutama orang yang miskin, menderita sakit, dan orang-orang yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah dan masyarakat. Ia tidak pernah lelah, tapi justru selalu menemukan energi baru ketika ia berada di tengah-tengah orang yang sungguh-sungguh membutuhkan uluran tangan kasihnya,  karena di sana ia dengan jelas melihat  Kristus  yang hadir dalam rupa wajah manusia yang terlantar. Karena itu, ketika kita berbicara tentang pelayanan kasih, maka Gereja menunjukkan dengan jelas apa yang dilakukan Bunda Teresa. Ia menghadirkan sebuah spiritualitas pelayanan yang tanpa pamrih, yang mengatasi ruang dan waktu. Pelayanannya menjadi berbobot karena mampu memberikan inspirasi kepada jutaan manusia untuk melakukan apa yang telah dimulainya.

Spirit  Pelayanan Bunda Teresa

Dalam sebuah konferensi pers di Amerika Serikat, untuk menceritakan kehidupan orang-orang miskin di Kalkuta, India, Bunda Teresa tidak menjawab ketika beberapa kali wartawan bertanya tentang sejarah hidupnya. Bahkan, ketika pertanyaan itu diubah wartawan, dengan  menanyakan perkembangan di dalam gereja, masalah emansipasi wanita, juga kerohanian dunia Barat, serta cara pewartaan Injil, dia hanya menjawab, “Sungguh, saya tak tahu apa-apa tentang hal itu.”  Tetapi, ketika wartawan bertanya apa visinya untuk hidup bersama kaum miskin, Bunda meradang. “Kalau Anda melakukan pekerjaan ini untuk mencapai kemuliaan diri, Anda hanya akan bertahan satu tahun, tidak lebih. Hanya jika Anda melakukan itu untuk Allah, Anda akan maju terus, apa pun rintangannya.”

Ia hanya bicara tentang pelayanan kasih, kemana pun ia pergi. Ia tidak menumpuk uang untuk tarekatnya, tapi menyalurkan kepada orang-orang kecil, hina dan papa, dan melayaninya, dengan kesungguhan hati. Ia tak pernah memakai metode apa pun untuk mendekati kaum papa. Ia hanya menggunakan bahasa kasih. Ia selalu berbicara pelan, sederhana, namun secara jelas mewartakan empati pada kemiskinan. Ia selalu memulai pekerjaannya, dengan sebuah niat yang lepas dari diri sendiri: “Kami berbuat karena Yesus, untuk Yesus, dan bersama Yesus. Sesuatu yang indah selalu untuk Tuhan, memberi meskipun diri sendiri menderita karena-Nya, melayani-Nya dalam orang-orang yang menderita dan terbuang.”

Jika usai berbicara, dan banyak yang tersentuh, dan bertanya pada Bunda Teresa, apa yang dapat mereka lakukan, ia hanya tersenyum dan selalu memberikan jawaban yang sama dari mulutnya: “Mulailah, pelan saja, satu, satu, satu….”. Kemudian ia segera menyambung dengan kalimat lain, “Mulailah di rumah dengan mengatakan yang baik pada anak-anakmu, kepada suamimu, atau istrimu. Mulailah dengan melakukan apa saja, sekecil apa pun, sesuatu yang indah sebagai pelayanan pada Allah.”  Selanjutnya, ketika ditanya, apakah pelayanannya untuk kaum papa itu sebagai  sebuah kritik sosial, ia  hanya tersenyum. Dan para pengikutnya akan selalu berkata: “Tak ada kritik di sini, seperti juga tak pernah ada perintah. Kami hanya melayani…”

Ibu Teresa adalah sosok wanita yang telah menghadirkan kasih Kristus dalam realitas kemiskinan, kejahatan, keterpurukan yang konteksnya berlatar kemajemukan agama. Tidak banyak wanita ataupun laki-laki seperti dia. Kemiskinan dilihatnya sebagai fakta hidup untuk mempraktekan kasih Yesus. Dia hadir di Kalkuta bukan hanya sekedar untuk merealisasikan tugasnya sebagai seorang biarawati. Di sana ia menemukan kehidupan sebagai seorang yang percaya kepada Kristus sesungguhnya.  Di sana ia juga melihat dunia yang sesungguhnya. Dunia yang majemuk, bukan hanya dari segi agama, tapi juga persoalan.

Banyak orang yang terkesan dengan model pelayanan Bunda Teresa, dan bakan dirinya dilihat sebagai gereja yang hidup. Jelas, ia tidak membuat gereja secara institusi atau perkumpulan orang yang mengaku percaya kepada Kristus,   sibuk dengan urusan keakanan. Hanya berdoa, beribadah secara seremonial dan sibuk mengumpul umat. Bahkan, domba-domba lain, dengan berbagai cara, yang dibuat seolah-olah suci dengan mengatasnamakan misi Allah, dijadikan bagian dari perkumpulannya.

Makna Imago Dei itu, secara tidak sadar telah ditemukan Ibu Terasa dalam segala aktivitas harian di Kalkuta. Realitas  kemiskinan dan pluralisme agama, adalah fakta hidup yang telah menjadi target pelayanan Ibu Teresa semasa hidupnya. Kasih adalah spiritnya dalam berkarya. Pada sebuah kesempatan dia sempat berkata, “Seluruh dunia akan hancur, bukan pertama-pertama oleh bom atom atau senjata kimia berbahaya, melainkan oleh ketiadaan cinta kasih akibat keserakahan manusia.”

Kasih Allah yang tanpa menuntut balas dan menembus batas-batas perbedaan, benar-benar telah menjadi semangat yang utama untuk Bunda  Teresa berkarya. Dia bahkan berpendapat, bahwa adalah sebuah usaha yang sia-sia ketika hanya beberapa orang yang ingin menghilangkan  kemiskinan di Kalkuta. Namun menurutnya, yang terutama, adalah bagaimana sentuhan kasih dirasakan oleh orang-orang yang ada di sana. Harus dimulai, meski sebagian orang menganggap itu sia-sia.

Menolong orang-orang yang terkapar parah di pinggir jalan, bagi Ibu Teresa, pertama-pertama bukan bagaimana agar mereka bisa kembali bernafas lega. Namun bagaimana terutama orang-orang yang oleh orang lain telah dianggap serupa binatang itu, sebelum di jemput ajal, dihargai sebagai manusia yang mempunyai hak untuk mendapat sentuhan kasih sayang. 

“Kalau Anda membelakangi kaum miskin berarti Anda membelakangi Kristus sendiri. Kristus, telah membuat dirinya lapar, telanjang dan tak beratap, supaya kita sempat mengasihi dia dalam diri kaum miskin.” Begitu Bunda Teresa memahami  dan menghayati pekerjaannya. Kristus, bagi Ibu Teresa telah hadir dalam diri orang-orang miskin. Sehingga, melayani mereka berarti juga telah melayani Kristus.

Berpuluh tahun melayani, ia tak pernah tampak lelah, selalu gembira, ceria, karena itulah unsur yang paling penting dalam suster Misionaris Cintakasih. “Buatilah apa yang kau mau buat, tapi dengan gembira, dan hiasi hari dengan hati penuh cinta,” demikianlah dia menasehati suster-susternya. Beberapa orang yang pernah berjumpa dan bicara dengannya, selalu berkata, Bunda adalah karunia terbesar di zaman ini. Tapi, pujian itu, justru dia cela. “Kenapa terlalu banyak kata-kata, bukan kerja. Biarkanlah mereka berkata apa saja tentang pelayanan kita,” katanya, yang tetap memilih meninggal, di tengah keluarganya, kaum hina papa, di Calcuta, India.

Karya pelayanan kasihnya telah membuka mata dunia. Berbagai penghargaan dianugerahkan kepadanya, mulai dari Indian Padmashri Award pada tahun 1962, Hadiah Perdamaian dari Beato Paus Yohanes XXIII, Nobel Perdamaian pada tahun 1979 dan penghargaan-penghargaan lainnya seperti: Magsaysay (Filipina), Warga Kehormatan India, Albania, AS, Doktor Kehormatan bidang Teologi Kedokteran Manusia dan diberikan kehormatan berpidato di depan Majelis Umum PBB. Di samping itu berbagai media dengan penuh minat mulai mengikuti perkembangan kegiatannya.  Bunda  Teresa menerima baik penghargaan maupun perhatian dunia “demi kemuliaan Tuhan atas nama orang-orang miskin.” 

Leave a Reply

Scroll to Top