Kepedulian Tumbuh dari Rasa Empati

( Oleh : Idus Masdi )

Pada edisi kali ini Melodi mengambil tema “Ayo Peduli,” sebagai fokus utama tulisan. Tema ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari tema APP Keuskupan  Agung Jakarta (KAJ) “Tiada Syukur Tanpa Peduli”. Ada banyak bentuk kepedulian  yang bisa kita lakukan. Dalam tulisan ini saya meng-sharing-kan kesaksian hidup Sr. Virgula SSpS di Flores Barat, NTT. Suster asal Jerman ini sangat terkenal di Flores karena kepedulian  dan karya pelayanan yang tanpa pamrih dan kenal lelah terhadap orang sakit dan miskin.

Saat memulai tugas misinya di Flores, Sr. Virgula mendirikan rumah sakit kusta di Cancar, sebuah kota kecil yang  terletak tidak jauh dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Ia mengabdikan seluruh hidupnya kepada pelayan orang sakit, sehingga banyak nyawa yang berhasil diselamatkan. Dari kampung ke kampung ia bersama tim medisnya melayani dengan sungguh, sabar dan tekun terhadap penduduk-penduduk miskin di pedesaan. Ia selalu ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang mau mendapatkan pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu pasien yang sembuh dari penyakit kusta diberikan kesempatan untuk mengikuti latihan keterampilan, sehingga mereka menjadi produktif. Kepercayaan diri mereka dipulihkan dan bisa bergaul dengan anggota masyarakat lain.

Karya pelayanan Sr. Virgula tidak hanya sebatas menyembuhkan orang sakit, tetapi juga meluas hingga pemberdayaan di bidang pendidikan. Banyak anak orang miskin disekolahkannya hingga perguruan tinggi. Sebagian dari mereka menjadi pejabat dan guru, dan bahkan ada beberapa  diantaranya  menjadi pastor dan suster. Bagi Sr. Suster Virgula, kesehatan dan pendidikan merupakan hal penting dalam membangun manusia. Saat ini banyak orang berbicara tentang kesehatan dan pendidikan sebagai pilar penting dalam membangun bangsa, tapi Sr. Virgula sudah melakukan hal itu beberapa puluh tahun lalu di Flores, tanpa pemberitaan media. Ia telah memenangkan   dan memulihkan banyak  jiwa.

Dalam sebuah Perayaan Ekaristi mengenang karya pelayanan  para suster SSpS dalam bidang kesehatan dan pendidikan di Flores, Sr. Virgula  memberikan kesaksian yang sangat mengharukan. Ia memulai ceritra tentang pengalamannya di Jerman saat berada dibawah pemerintahan Nazi, yang dipimpin Adolf  Hitler. Ia mengakui banyak penderitaan yang dialaminya dan keluarganya karena enggan mendukung Nazi secara terbuka. Ia banyak melihat banyak keluarga yang disiksa dan dibunuh oleh tentara Nazi. Sebagai orang Katolik, ia melihat bahwa itu sebuah tindakan yang kejam. Membunuh orang tanpa alasan yang jelas bukan hanya melanggar hukum negara tapi juga melanggarkan hukum cinta kasih Tuhan. Karena itu, tidak alasan untuk mendukung tindakan yang tidak  berprikemanusiaan. Ia bersama keluarga terus berdoa agar Tuhan ikut campur tangan mengatasi kemerosatan moral yang sedang dialami oleh bangsanya. Doanya rupanya terkabul, sebab tidak lama setelah itu Jerman takluk dan dinyatakan kalah perang  di hadapan tentara sekutu  di bawah pimpinan Amerika Serikat.

Hidup mereka pasca Nazi ternyata juga tidak kunjung membaik. Mereka harus mulai kembali dari nol, karena semuanya hancur akibat perang. Tapi situasi itu tidak menyurut semangat seluruh anggota keluarganya untuk bekerja keras. Kerja keras itu akhirnya membuahkan hasil. Kehidupan ekonomi keluarga mulai membaik. Meskipun pendapatan keluarganya pas-pasan saja, tetapi itu tidak mematikan semangat juang mereka membantu orang lain yang masih miskin dan tidak beruntung. “Saat itu saya melihat diri saya dalam  orang miskin dan terlantar,” tegasnya.

Dalam kesaksian itu ia dengan gamblang menuturkan apa yang menjadi resep bagi dirinya sehingga begitu mudah berempati dengan orang miskin dan menderita. Ia memulai  dengan pengalamannya. “Saya pernah mengalami sebagai orang kecil, terpinggir,  sakit, miskin dan terkucil. Ada penderitaan yang luar biasa di sana. Di situ saya baru menyadari tentang penting arti sebuah kehidupan bersama dengan orang lain. Saat itu saya betul-betul sangat mengharapkan bantuan orang lain.  Dalam ketidakberdayaan itu, saya sungguh-sungguh menyadari betapa berarti kehadiran orang lain dalam hidup saya. Karena itu, saya berjanji kepada Tuhan untuk mengabdi kepada orang miskin dan sakit bila diberikan umur panjang. Pengalaman inilah yang memudahkan saya untuk bisa berempati dengan orang lain” ungkap Sr. Virgula sambil menitikkan air mata.  Dan hampir sebagaian besar umat yang hadir perayaan ekaristi tersebut juga ikut  menitik air mata.

Pengalamam Sr. Virgula tampaknya memberikan sebuah pencerahan tentang pentingnya rasa empati. Sulit rasanya membangun kepedulian kalau tidak ada empati. Minimnya kepedulian dan perhatian terhadap sesama lebih banyak disebabkan karena tidak adanya  rasa empati. Empati lebih dalam dari rasa simpati, dimana seseorang benar-benar merasakan posisi dan kondisi yang sedang dialami orang lain. Seseorang yang tidak memiliki rasa empati dalam dirinya, tidak akan mampu merasakan penderitaan atau kesusahan yang sedang dialami oleh orang lain. Akibatnya, dia tidak akan berbelas kasihan bahkan terkesan  cuek  ketika menyaksikan sesamanya mengalami kesusahan. Dia tidak akan merasa terpanggil untuk memberikan bantuan kepada sesama mereka itu.

Apa yang mesti kita lakukan untuk mengasah rasa empati sehingga mampu merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain dan dapat berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan bantuan? Tentu tidak mudah untuk menumbuhkan rasa empati. Tantangan terbesar adalah egoisme dan semangat individualistis. Idiom “gue-gue, lu lu” secara kasat mata merefleksikan keegoismean itu. Kita  merasa lebih nyaman  dengan diri kita  sendiri. Kehadiran  orang lain seperti mengusik rasa kesenangan  kita.

Kesaksian hidup Sr. Virgula kiranya memberikan sebuah horisan baru tentang bagaimana  kita memaknai kebersamaan, terutama mereka yang miksin dan menderita.  Hidup itu menjadi lebih bernilai dan berharga ketika dihayati dalam kebersamaan dengan orang lain. Aksi puasa dan pantang yang kita lakukan selama masa prapaskah kiranya dapat dilihat sebagai salah satu bentuk upaya  untuk mengalahkan egoisme, sehingga muncullah  rasa empati.  Dalam konteks inilah maka empati dapat dilihat  sebagai “Paskah Baru” bagi kita. Artinya, kita bangkit karena berhasil mengalahkan rasa egoisme dan kepicikan hati kita. SELAMAT PASKAH.

Leave a Reply

Scroll to Top