( Oleh: Romo Asran Making, SSCC )
Pengantar
Banyak berita di media masa menghadirkan dilemma dalam hati dan mengguncang iman orang Kristiani. Umat Kristen percaya bahwa Allah kita adalah Allah yang Maha tahu, Maha cinta, dan Maha kuasa. Namun realitas yang terjadi adalah banyak orang tak bersalah meninggal karena bencana alam, atau akibat tindakan jahat sebagian orang. Dapatkah kedua hal ini bisa didamaikan? Ada yang mengatakan bisa tapi ada yang kemudian mengajukan argument ini:
- Umat Kristen percaya akan Allah yang maha kuasa, maha cinta dan maha tahu
- Allah yang maha tahu harusnya tahu menciptakan sebuah dunia tanpa kejahatan; Allah yang maha cinta harusnya mau menciptakan dunia yang demikian; dan Allah yang maha kuasa harusnya memiliki kemampuan untuk menciptakannya.
iii. Kejahatan ada dalam dunia
- Oleh karena itu, Allah yang maha tahu, maha cinta dan maha kuasa itu tidak ada
Argument ini akan menjadi kerangka berpikir kita untuk mengeksplorasi berbagai tanggapan yang muncul mengenai persoalan ini.
Umat Kristen yang ingin menanggapi argument di atas harus menyerang satu atau lebih premis-premis itu. Dalam theology ada terminology yang digunakan untuk menjelaskan konsep ini, yaitu “Theodicy”, sebuah term yang berasal dari dua kata bahasa Yunani, “Theo” (Allah) dan “dicy” (keadilan). Theodicy mengafirmasi keadilan Allah meskipun ada kejahatan dan penderitaan dalam dunia.
Tanggapan atas Premise i
Tanggapan yang muncul atas premise 1: “Umat Kristen percaya akan Allah yang maha tahu, maha cinta dan maha kuasa” adalah munculnya dualisme. Dualism adalah kepercayaan bahwa alam semesta tidak dikuasai oleh satu kuasa tetapi oleh dua kuasa. Dalam dualism, Allah tidak maha kuasa melainkan kuasa Allah dibatasi oleh kuasa yang lain. Dualism ini memiliki dua bentuk, yaitu dualism permanent dan dualism temporal. Dalam “dualisme permanen” alam semesta selalu dan akan selalu menjadi medan pertempuran antara kuasa terang dan kuasa kegelapan. Dalam berbagai mitologi kuno kita bisa menemukan berbagai kisah tentang perang yang tak berkesudahan antara kuasa terang dan kuasa kegelapan untuk menguasai manusia. Dalam “dualisme temporal” ada kuasa jahat yang independent di dunia saat ini. Kuasa jahat ini, bagaimanapun juga, tidak selamanya menjadi musuh Allah. Ia tidak akan hadir selamanya. Allah akan membuang semua kejahatan dari dunia. Untuk sementara waktu setan akan menimbulkan kerusakan di dunia, tetapi aktivitas setan suatu hari akan musnah.
Para pendukung menegaskan bahwa kedua dualism ini menawarkan jawaban yang masuk akal atas problem kejahatan. Pertama, keduanya mampu memenuhi jawaban atas berbagai kemalangan yang menimpa seseorang ─ yakni, bahwa orang bisa saja jatuh dalam tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam bahasa sehari-hari, kita juga bisa saja mengalami apa yang disebut dengan “sial”. Karena Allah tidak maha kuasa, Allah tidak bertanggung jawab terhadap berbagai tindakan kejahatan di dunia. Kedua, kejahatan harus ada supaya kita bisa tahu apa artinya kebaikan. Mereka berargumen bahwa kita bisa memahami suatu konsep hanya dengan mengalami yang sebaliknya. Contohnya, kita bisa tahu artinya “manis” jika membandingkannya dengan yang “asem”.
Jawaban Teologis
Tanggapan dari komunitas teologis atas persoalan dualism beraneka ragam. Beberapa teologan tetap percaya bahwa Allah itu maha kuasa. Mereka berpendapat bahwa walaupun Allah tidak bisa mencegah kejahatan iu terjadi, Allah akan akan hadir sebagai sumber penghiburan dan pertolongan bagi mereka yang merasakan akibat dari kejahatan itu. Allah ikut menderita bersama mereka yang menderita akibat kejahatan. Kebanyakan teologan menolak “dualism permanent” atas dasar iman akan kemahakuasaan Allah yang tidak dapat disangkal. Mereka menentang berbagai usaha pembatasan atas kuasa Allah. Sementara itu, “dualism temporal” agak mudah diterima walaupun mengalami berbagai macam kritik. Pertanyaan-pertanyaan kritis muncul: “Darimana datangnya kejahatan?” Dalam kisah Taman Eden, Ular penggoda itu sudah ada di dalam taman. Bagaimana mungkin ia bisa masuk dalam Taman Eden? Apakah Allah tidak menciptakan dunia secara sempurna? Jika demikian, “Apakah Allah bertanggung jawab terhadap kejahatan di dunia?” Pertanyaan yang sama diajukan pada kisah kejatuhan Iblis yang kemudian memberontak melawan Allah. Mengapa Iblis harus melawan Penciptanya? Jawaban tradisional adalah bahwa mereka dianugerahi ‘kehendak bebas’ oleh Sang Pencipta dan mereka memilih untuk melawan Sang Pencipta.
Tanggapan atas Premis 2
Premise ii: Allah yang maha tahu harusnya tahu menciptakan sebuah dunia tanpa kejahatan; Allah yang maha cinta harusnya mau menciptakan dunia yang demikian; dan Allah yang maha kuasa harusnya memiliki kemampuan untuk menciptakannya. Atas premis ini banyak theologian Kristen menjawab bahwa adanya kejahatan tidak harus menegasikan kenyataan akan Allah yang maha tahu, maha cinta dan maha kuasa.
Para penganut pandangan “kehendak bebas” berargumen bahwa ada kejahatan karena manusia salah dalam menggunakan kehendak bebasnya. Allah menciptakan dunia baik adanya dengan memberikan kehendak bebas kepada setiap ciptaan. Allah bisa saja menciptakan sebuah dunia tanpa kejahatan atau tanpa kehendak bebas, tapi dunia tidak akan menjadi lebih baik tanpa adanya kehendak bebas. Allah bukanlah ilmuwan yang menciptakan robot tanpa kehendak bebas, semuanya terprogram oleh sang pencipta. Memang, adanya kejahatan membuat dunia menjadi sangat kacau. Banyak orang tak bersalah menjadi korban penyalahgunaan kehendak bebas. Para penganut pandangan “kehendak bebas” tidak mempersalahkan Allah, tetapi kepada mereka yang salah dalam menggunakan kehendak bebasnya. Allah tidak bertanggung jawab atas kejahatan moral yang ada dalam dunia; manusia yang harus bertanggung jawab atas setiap tindakannya.
Pandangan para penganut “kehendak bebas” ini bukan tanpa kritik. Kritik pertama yang dilontarkan adalah bahwa Allah seharusnya menciptakan sebuah dunia yang mana semua manusia memiliki kehendak bebas yang murni, dimana selalu memilih untuk melakukan yang baik. Dunia seperti ini akan menjadi dunia yang paling baik dari semua kemungkinan yang harusnya diciptakan Allah. Kritik kedua yang dilontarkan adalah bahwa banyak orang bersalah yang menderita bukan hanya akibat dari penyalagunaan kehendak bebas tetapi juga oleh hal yang lain, misalya gempa bumi, tanah longsor atau tsunami dan berbagai bencana alam lainnya, yang oleh sebagian orang dipandang sebagai “tindakan Allah.”
Para teologan menamai kejahatan yang ditimbulkan oleh manusia sebagai “kejahatan moral” dan bukan oleh manusia (oleh alam) sebagai “kejahatan alam”. Bagi mereka, kejahatan alam adalah sebuah kemalangan yang terjadi akibat system kerja ekosistem global yang kompleks. Elemen-elemen penting untuk kehidupan manusia seperti air, udara, matahari, sering menciptakan kondisi atau kejadian yang merusak kehidupan manusia. Pertanyaan yang akan diajukan adalah mengapa Allah tidak menciptakan sebuah dunia dengan ekosistem yang lebih baik, yang tidak akan merusak kehidupan manusia? Mereka juga bertanya, mengapa haya orang tertentu yang terbunuh dan yang lain tidak? Mengapa Allah tidak hadir untuk menyelamatkan orang-orang tak bersalah saat bencana itu terjadi? Namun para pendukung pandangan kehendak bebas tidak berhubungan langsung dengan kejahatan alam, mereka lebih menjawabi persoalan tentang kejahatan moral. Persoalan kejahatan alam lebih diarahkan pada mereka yang ingin mempertahankan kesesuaian antara Allah yang maha cinta dan realitas kejahatan di dunia.
Jawaban Teologis
Argument pertama yang mencoba mendamaikan cinta Allah dengan realitas kejahatan di dunia adalah dengan menginterpretasikan kisah kejatuhan manusia dalam dosa dalam Kej 3. Dalam pandangan tradisional, akan ada dua tema yang terungkap dalam kisah ini. Pertama, bahwa Allah sejak awal menciptakan dunia dalam harmoni (baik adanya). Kedua, bahwa manusia salah menggunakan kebebasannya yang berakibat pada ketidakharmonisan dalam dunia. Namun bagi kelompok ini, kisah kejatuhan ini merupakan sebuah fase dari proses berkepanjangan sebuah pertumbuhan. Dalam hal ini, sakit dan penderitaan bukan tidak sejalan dengan kasih Allah.
Hidup manusia dipenuhi dengan berbagai macam contoh dimana kebaikan dan penderitaan jalan beriringan. Sebagai contoh, seorang atlet harus menjalani program yang keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Dalam rangkah menyembuhkan seorang pasien, seorang dokter bisa menentukan sebuah treatment yang kadang menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman bagi pasien. Orang tua yang baik kadang menggunakan cara yang agak keras dalam mendidik anak-anaknya agar bisa mencapai sukses di masa depan. Penggunaan berbagai contoh itu untuk menunjukkan bahwa kebaikan dan rasa sakit bisa saja seiring sejalan.
Dengan menggunakan contoh seperti di atas, pandangan-pandangan kemudian muncul mengenai keselarasan antara Allah yang maha cinta dan penderitaan manusia. Pandangan pertama menfokuskan perhatian pada penderitaan yang dialami secara individu dan kedua pada penderitaan kemanusiaan secara umum. Dalam pandangan pertama, setiap orang berjuang dan kadang jatuh, berhasil dan gagal, ia mengalami semuanya dalam ziarah hidupnya untuk menjadi orang yang baik moralnya. Kegagalan bisa membawanya kepada kejahatan tetapi keberhasilan akan menjadikannya sebagai orang baik. Sementara pada pandangan kedua, perkembangan kemanusiaan membuat manusia semakin mengenal mana yang baik dan mana yang jahat. Sebagai tambahan, adanya kejahatan membuat manusia, baik secara individu maupun secara kolektif semakin bertumbuh dalam kebaikan dan kebijaksanaan. Sebagai contoh, munculnya berbagai undang-undang perlindungan baik terhadap HAM, anak, binatang dan lain-lain muncul karena pertumbuhan kesadaran manusia karena adanya begitu banyak pelanggaran dan kejahatan terhadap pihak-pihak terkait.
Pandangan ini berusaha untuk mendamaikan pandangan tentang Allah yang maha cinta dan adanya kejahatan di dunia. Namun pandangan ini tidak lepas dari berbagai kritik. Kritik pertama berkaitan dengan distribusi kejahatan. Ada yang mengalami banyak penderitaan tetapi ada yang sangat sedikit menderita. Pertanyaan kritis, “Jika penderitaan adalah sebuah bagian penting dalam pembentukan manusia, mengapa ada perbedaan yang sangat mencolok dalam hal pengalaman penderitaan; ada yang sedikit tapi ada yang sangat menderita?” Kritik kedua berkaitan dengan kesia-siaan dari penderitaan. Benar bahwa kegagalan menjadi kesempatan bagi orang untuk belajar menjadi lebih baik; namun bagaimanapun, tidak semua orang yang menderita belajar dari penderitaan. Pertanyaan kritis, “Nilai-nilai apa yang bisa didapatkan oleh mereka yang suara hatinya menjadi tumpul akibat pengalaman penyiksaan dan pembunuhan?”
Argument kedua yang berusaha untuk mendamaikan kebaikan Allah dan adanya penderitaan adalah merupakan salah satu solusi yang paling kuno, yaitu bahwa manusia menderita karena hukuman dari Allah. Kitab Suci menyajikan sangat banyak contoh dari konsep seperti ini. Dalam Hak 13;1, Orang Israel diserahkan ke tangan orang Filistin selama 40 tahun karena melakukan apa yang jahat di mata Tuhan. Namun menariknya, dalam Kitab Suci juga ditemukan sebaliknya. Orang jahat hidupnya baik sedangkan orang baik seringkali mengalami penderitaan. Misalnya dalam Pkh 8:13 dan Ayub. Dalam Perjanjian Baru, Yesus justru menolak anggapan bahwa dosa menyebabkan penghukuman Allah (bdk Luk 13:1-5).
Argument ketiga yang berusaha untuk mendamaikan kebaikan Allah dan adanya kejahatan adalah dengan analogi seni atau music. Seorang composer meramu nada-nada untuk menghasilkan sebuah melodi music. Kadang-kadang ada nada kontras, namun jika dalam kesatuan akan menjadi indah. Kalau berdiri sendiri nada itu bisa terdengar fals tapi jika dalam harmoni menghasilkan sebuah karya music yang indah. Dengan logika yang sama, apa yang terlihat jahat di mata manusia mungkin merupakan sebuah bagian kecil dari seluruh rencana Allah yang indah bagi manusia. Kritik yang ditujukan pada pandangan ini bahwa gambar Allah dalam hal ini menjadi tidak menarik. Allah membiarkan begitu banyak orang yang menderita hanya sebagai kontras bagi kesenangan orang lain.
Argument keempat adalah klaim tentang kebiasaan manusia. Manusia dinilai secara luas memiliki ketertarikan pada urusan pribadinya. Egosentris menghantar manusia pada pandangan yang salah tentang dunia. Kita melihat sebuah kejadian di dunia sejauh kejadian itu membawa pengaruh dalam hidup kita. Diri menggantikan Allah sebagai pusat dari hidup manusia. Menjadi tua dan menderita, bagaimanapun, untuk mengingatkan kita bahwa hidup kita di dunia terbatas dan energy kita harusnya digunakan untuk melayani Tuhan dan sesama. Namun kritik kemudian muncul, apakah solusi ini sudah memperhitungkan jumlah kejahatan di dunia? Apakah banyaknya kejahatan perlu untuk menghancurkan ilusi egosentris kemansiaan?
Tanggapan atas premis iii
Premise iii: Kejahatan ada dalam dunia. Premise ini hanya bertujuan untuk menyerang karena dalam realitas kita menemukan begitu banyaknya kejahatan. Kita tidak menyangkal adanya kuasa kejahatan namun kita menyangkal bahwa kejahatan itu memiliki kuasa yang independen, berdiri sendiri. Kejahatan dalam kaca mata ini adalah “ketiadaan kebaikan”. Analoginya adalah bahwa kegelapan ada karena kekurangan/ketiadaan cahaya, ada kekeringan karena kekurangan/ketiadaan air. Maka kejahatan bukan merupakan sebuah kuasa yang berdiri sendiri melainkan ia hadir karena apa yang seharusnya ada (kebaikan) berkurang atau tidak ada. Namun pandangan ini tidak lepas dari kritik. Kritik mengatakan bahwa walau tampak menarik untuk menjelaskan tentang adanya kejahatan namun tidak banyak penghiburan bagi yang mengalami penderitaan. Mengatakan bahwa sakit berarti kurang sehat adalah benar tapi akan menimbulkan pertanyaan tajam dari mereka yang sakit, “Mengapa saya?”
Penutup
Bagi sebagian orang, premise-premise yang didiskusikan itu salah arah. Bagi mereka, persoalan kejahatan adalah sebuah misteri yang tak bisa diselami. Sebagaimana halnya kisah Ayub, orang baik dan suci namun mengalami juga penderitaan yang parah. Ada yang berpikir bahwa hanya setelah kematian kebenaran akan terungkap; yang jahat dihukum dan yang baik menerima berkat. Ada juga yang berpikir bahwa kejahatan harus dilihat dalam kacamata misteri penderitaan, wafat dan kebangkitan Kristus. Salib Kristus merupakan saat dimana Allah memulihkan segala ciptaan dan orang Kristiani harus percaya bahwa rencana ini akan dibawa sampai saat kepenuhan itu tiba.
Namun semua pandangan dan diskusi ini tidak pernah mampu mengurangi kesedihan dari orang-orang yang mengalami penderitaan yang hebat dalam hidup mereka. Ini hanya sebagai bahan bagi kita untuk merefleksikan relasi antara Allah dan manusia.
Pertanyaan Diskusi
- Solusi mana yang Anda pandang paling memuaskan? Mana yang kurang? Apa tanggapan Anda terhadap kritik-kritik yang diarahkan pada pandangan itu?
- Apakah Anda memiliki solusi yang lain di luar yang ditawarkan untuk menjawab dilemma ini?
- Apakah tanggapan Anda terhadap penderitaan yang ditimbulkan oleh bencana alam? Apakah Allah sengaja membiarkan bencana itu terjadi?
- Berapakah persentasi penderitaan yang ditimbulkan oleh kehendak bebas?