“Bagaimana mungkin Allah di surga dapat mendengar jeritan orang miskin, kalau begitu banyak orang yang melihat atau berdiri di dekat mereka tidak mendengar atau tidak peduli?” tanya Paus Fransiskus.
Orang harus melakukan “pemeriksaan batin yang serius untuk memahami apakah kita benar-benar mampu mendengarkan orang miskin,” kata paus dalam pesan untuk Hari Orang Miskin Sedunia yang akan dirayakan pada 18 November.
Pesan itu berfokus pada sebuah ayat dari Mazmur 34 bahwa “apabila orang malang berseru, Tuhan mendengarnya.”
“Mari kita bertanya pada diri sendiri, bagaimana mungkin tangisan orang miskin, yang jeritannya sampai ke Tuhan, tidak mampu menembus telinga kita dan mengapa kita tidak peduli dan tanpa ekspresi?” tanya paus dalam pesannya.
Untuk menyadari penderitaan orang lain dan tahu cara terbaik untuk merespons dengan cinta, orang harus belajar untuk diam dan mendengarkan, kata paus.
“Jika kita berbicara terlalu banyak, kita tidak akan bisa mendengarnya,” katanya.
Itulah yang sering terjadi ketika prakarsa yang penting dan perlu dilakukan lebih sebagai cara untuk menyenangkan diri sendiri “daripada benar-benar mendengarkan jeritan orang miskin,” katanya.
“Kita sering terperangkap dalam budaya yang memaksa kita untuk melihat diri sendiri” dan terlalu “memanjakan diri,” katanya. Orang-orang seperti itu percaya bahwa tindakan altruisme mereka sudah cukup tanpa harus merasakan empati atau kebutuhan untuk berkorban atau “membahayakan” diri mereka secara langsung.
Tidak ada yang mau menjadi miskin atau termarjinalisasi, dianiaya dan mengalami ketidakadilan, kata paus.
Paus mengatakan kemiskinan disebabkan oleh keegoisan, kesombongan, keserakahan dan ketidakadilan. Ini adalah kejahatan yang setua umur manusia, tetapi juga dosa-dosa di mana orang-orang tak berdosa terperangkap, membawa konsekuensi pada tingkat sosial, yang dramatis.
“Jawaban Tuhan untuk orang miskin selalu merupakan intervensi keselamatan untuk menyembuhkan luka jiwa dan raga, memulihkan keadilan dan membantu untuk memulai hidup baru dengan bermartabat. Jawaban Tuhan juga merupakan daya tarik agar mereka yang percaya padanya bisa melakukan hal yang sama, “tambahnya.
Hari Orang Miskin Sedunia dimaksudkan sebagai upaya kecil yang dapat dilakukan seluruh gereja agar orang miskin tahu bahwa tangisan mereka tidak pernah tidak didengar, kata paus.
“Ini seperti setetes air di padang pasir kemiskinan, namun itu bisa menjadi tanda berbagi bagi mereka yang membutuhkan, bahwa mereka mengalami kehadiran aktif seorang saudara laki-laki atau perempuan,” katanya.
Pertemuan ini adalah panggilan untuk keterlibatan pribadi, bukan delegasi kepada orang lain, katanya. Dan itu bukan pemberian yang bersifat dingin, jauh, tetapi suatu tindakan yang membutuhkan “perhatian penuh kasih” sama seperti Allah menawarkan semua orang.
Begitu banyak orang yang membutuhkan pencarian makna keberadaan mereka dan tanggapan atas pertanyaan mereka tentang mengapa mereka terpuruk sejauh ini dan bagaimana mereka dapat membebaskan diri. Mereka menunggu seseorang untuk datang dan berkata ‘semangat dan bangkitlah.’
Sayangnya, orang sering ditolak, tidak tertarik pada orang miskin. Jeritan orang miskin sering kali ditimpali dengan teguran dan peringatan untuk diam dan bersabar.
Ada fobia pada orang miskin yang nyata. Mereka dilihat tidak hanya sebagai orang miskin, tetapi juga sebagai pembawa ‘ketidakamanan dan ketidakstabilan’ yang harus ditolak dan disingkirkan ketempat yang jauh.
“Kecenderungan untuk menciptakan jarak berarti orang menjauhkan diri dari Yesus sendiri, yang tidak menolak orang miskin, tetapi memanggil mereka dan menghibur mereka,” kata paus.
Kalau anggota Gereja Katolik menawarkan perawatan dan bantuan, mereka dimotivasi oleh iman mereka dan keinginan untuk membagikan Kabar Gembira dengan orang lain. Dia mengatakan bahwa para uskup, imam, religius, dan umat Katolik awam harus mengakui bahwa “di dunia yang sangat miskin, kapasitas kita untuk bertindak sangat terbatas, lemah dan tidak memadai. ”
Gereja harus bekerja sama dengan orang lain sehingga upaya bersama dapat mencapai tujuan mereka dengan lebih efektif, katanya.
Gereja harus memberi kebebasan dengan sikap rendah hati, “tanpa mencari sorotan,” katanya.
“Dalam melayani orang miskin, hal terakhir yang kita butuhkan adalah perjuangan untuk tempat pertama,” katanya. Orang miskin tidak membutuhkan pahlawan, tetapi cinta yang tahu bagaimana tetap tersembunyi dari pengakuan duniawi, katanya.
“Para protagonis sejati adalah Tuhan dan orang miskin,” dan mereka yang melayani hanyalah instrumen “di tangan Tuhan untuk mewujudkan kehadiran dan keselamatannya.”
Uskup Agung Rino Fisichella, presiden Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, mengatakan kepada para wartawan bahwa Paus berharap Hari Orang Miskin Seduni akan mengingatkan semua orang di gereja untuk mengarahkan pandangan mereka kepada orang miskin, mendengarkan dengan sungguh-sungguh kebutuhan mereka dan merespon langsung dengan cinta yang bertujuan untuk mengembalikan martabat mereka.
Gereja-gereja, organisasi dan lembaga lokal sekali lagi diminta untuk inisiatif yang kreatif menumbuhkan momen-momen pertemuan nyata, persahabatan, solidaritas, dan bantuan konkret.
Uskup agung itu mengatakan paus akan merayakan Misa di Basilika Santo Petrus pada 18 November bersama orang-orang miskin dan sukarelawan, dan dia akan makan siang sesudahnya dengan sekitar 3.000 orang di aula Paulus VI Vatikan. Kelompok relawan dan sekolah juga akan menawarkan makanan gratis dalam suasana “perayaan dan berbagi, “tambahnya.