Allah menurunkan perintah-Nya bukan kepada orang-orang munafik yang mengikuti hukum Taurat dengan hati yang sombong dan saleh, tetapi bagi mereka yang menyadari kerapuhan akibat dosa mereka dan mengakui keterbatasan mereka sehingga mendapatkan pertolongan, penyembuhan dan keselamatan, kata Paus Fransiskus.
“Berbahagialah mereka yang berhenti membodohi diri sendiri, percaya bahwa mereka mampu menyelamatkan diri dari kelemahan mereka tanpa memohon belas kasihan Tuhan, yang merupakan satu-satunya cara yang dapat menyembuhkan hati yang penuh kerapuhan dan dosa,” katanya saat audiensi umum mingguan pekan lalu di Lapangan St. Peter.
“Berbahagialah orang-orang yang mengenali keinginan jahat mereka dan, dengan hati penuh penyesalan dan perasaan diri terhina dan tidak pantas, di hadapan Allah dan umat manusia, bahwa mereka bukan sebagai salah satu yang saleh, tetapi sebagai orang berdosa,” katanya.
Paus melanjutkan seri ceramahnya dengan mengutip Sepuluh Perintah Allah, dan lebih jauh merenungkan perintah terakhir, “Anda tidak boleh mengingini … istri tetangga Anda” dan “apa pun yang menjadi milik tetangga Anda.”
Perintah-perintah terakhir, katanya, merangkum esensi dari semua perintah Allah – bahwa setiap dosa atau pelanggaran berasal dari “mengingini” dan terperangkap dalam pikiran dan keinginan jahat.
Perintah-perintah itu bertujuan untuk menetapkan batasan yang jelas, yang jika dilanggar, akan sangat merugikan diri sendiri dan hubungan seseorang dengan Tuhan dan dengan sesama yang lain, kata paus.
“Tetapi apa yang memaksa orang melanggar batas-batas itu?” tanya paus.
Semua pelanggaran dan dosa berasal dari satu akar batin yang sama: keinginan jahat. Keinginan-keinginan ini menggerakkan hati dan jika seseorang masuk perangkapnya maka akan berakhir dengan melakukan pelanggaran. Tetapi bukan pelanggaran formal atau legal, melainkan sebuah pelanggaran yang melukai diri sendiri atau melukai orang lain.
Dia mengatakan Yesus menjelaskan dalam Injil St Markus bahwa apa yang jahat berasal dari apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang ada di dalam hati mereka – pikiran jahat seperti, “ketidaksucian, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kebencian, tipu daya, ketidaksopanan, iri hati, hujatan, kesombongan, kebodohan. ”
“Kita masing-masing dapat bertanya pada diri sendiri keinginan mana yang sering muncul dalam diri saya,” sebagai bagian dari pemeriksaan batin dan pengakuan akan kebenaran, katanya.
Sepuluh Perintah Allah tidak akan memiliki dampak atau efek jika orang tidak memahami sumber dosa ada di dalam mereka dan tantangannya adalah untuk “membebaskan hati dari semua kejahatan dan hal-hal buruk ini,” kata paus.
Hukum Tuhan dapat saja direduksi menjadi hanya “pemandangan indah dari kehidupan yang masih merupakan kehidupan seorang budak dan bukan anak-anak” Tuhan, katanya.
“Seringkali, di balik topeng kemunafikan tersembunyi sesuatu yang buruk dan tidak terselesaikan,” tambahnya.
“Sebaliknya, kita harus membiarkan diri kita diresapi oleh perintah-perintah” untuk mengungkapkan kemiskinan spiritual seseorang dan dituntun ke “penghinaan suci,” mengakui kegagalan seseorang dan memohon kepada Tuhan untuk keselamatan.
Hukum-hukum Alkitab tidak dimaksudkan untuk “menipu manusia bahwa ketaatan literal (kepada hukum) membawa seseorang kepada keselamatan semu,” katanya.
Hukum ini dimaksudkan untuk membawa manusia kepada kebenaran tentang diri mereka sendiri – untuk mengenali kemiskinan mereka dan untuk secara otentik membuka diri mereka kepada belas kasihan Allah, “yang mengubah kita dan memperbarui kita. Allah adalah satu-satunya yang mampu memperbaharui hati kita selama kita membuka hati kita kepadanya. Itulah satu-satunya syarat. ”
10 Perintah Allah itu membantu kita semua menghadapi “kekacauan hati kita untuk berhenti hidup secara egois” dan menjadi anak-anak Allah yang otentik, yang ditebus oleh PutraNya sendiri dan dituntun serta dibimbing oleh Roh Kudus.