Menjaga Lilin Tetap Menyala

Pernahkah kita berpikir, untuk apakah kita diciptakan? Untuk apa kita dilahirkan ? dan Apa yang harus kita perbuat ketika kita diberi waktu untuk menjalani hidup ini ?

Setiap manusia yang bersyukur akan kehidupannya harus mempunyai cita-cita, dan dengan cita-cita tersebut kita bisa bersemangat untuk menjalani hidup ini.

Anak-anak kecil ketika ditanya apa cita-cita-mu nak ? mungkin ada yang menjawab ingin jadi dokter, insinyur, guru, suster, bruder, pastor, wartawan, budayawan, dsb itu menunjukkan optimisme dalam dia menjalani hidup dan jenjang pendidikannya, paling tidak hal tersebut menjadi pemacu dirinya untuk belajar lebih giat.

Begitu juga ketika mereka menginjak usia dewasa dan bersiap ke jenjang pernikahan, dalam persiapan pernikahan, bagi perkawinan secara gereja katholik tentunya harus melalui suatu tahapan pembelajaran persiapan pernikahan atau Kursus Persiapan Pernikahan ( KPP ) atau sekarang disebut dengan Membangun Rumah Tanggga ( MRT ) disini banyak dibahas pentingnya sebuah rencana dari sebuah keluarga baru yang akan dibangun nanti. Bagaimana pengaturan ekonomi/uang rumah tangganya, mau anak berapa, bagaimana dengan pengaturan pendidikan anak anaknya nanti bahkan sampai berkomitmen untuk menjaga hubungan kedua keluarga besarnya tetap terjalin dengan baik.

Bagaimana dengan cita-cita dan perencanaan Iman kita sebagai umat Katholik ?

Sudah terpikirkan kah? Sudah sejak dulu, sekarang, nanti atau sama sekali belum terpikirkan di benak kita.

Abraham Harold Maslow ( 1 April 1908 – 8 Juni 1970 ) seorang psikolog Amerika dalam “ Konsep Teori Hierarki Kebutuhan Maslow” menyatakan bahwa kebutuhan manusia dapat dimulai dari kebutuhan dasar yaitu Kebutuhan Fisiologi, Rasa Aman, Kasih Sayang, Penghargaan dan Aktualisasi diri.

Ia beranggapan bahwa kebutuhan-kebutuhan di tingkat rendah/dasar harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi

Bagaimana dengan kebutuhan akan Iman kita kepada Allah, apakah semua kebutuhan tersebut harus terpenuhi dahulu, baru kita ingat akan Allah?

Ada nasehat orang tua yang pantas kita renungkan “ Berhentilah makan sebelum kenyang “ hal ini mengajarkan pada kita, sekaligus resep yang manjur agar kita dapat segera melangkah ke jenjang yang lebih tinggi dan akhirnya kebutuhan “ Hidup Rohani” menjadi hal yang penting bagi kita yaitu untuk “ TIDAK SERAKAH “ dalam mengejar kebutuhan duniawi.

Setelah Abram kembali dari mengalahkan Kedorlaomer dan para raja yang bersama-sama dengan dia, maka keluarlah raja Sodom menyongsong dia ke lembah Syawe, yakni Lembah Raja.

Melkisedek, raja Salem, membawa roti dan anggur, ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi.

Lalu ia memberkati Abram, katanya : “ Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu” Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya. ( Kej 14: 17-20 )

Bagaimana dengan kita, kita diberi waktu 24 jam dalam sehari non stop dan sekitar 30 hari dalam sebulan dan mendapatkan upah dari pekerjaan dan kemurahan Tuhan, Sudahkan kita “Menyisihkan” bukan “Menyisakan” dari hasil berkat Tuhan yang diberikan kepada kita?

Bukan sepersepuluhnya yang terpenting, tetapi komitmen dan ungkapan syukur kita, ketika kita terima upah kita, yang harus kita ingat pertama-tama adalah persembahan yang terbaik untuk Sang Pencipta, sebagaimana Habel mempersembahkan kurban bakarannya, baru untuk kebutuhan lainnya. “Jangan sampai terjadi” ketika kita memberi persembahan, kita menunggu sisa dari yang kita punya, lebih menyedihkan lagi menunggu sisa ongkos parkir kendaraan kita, ketika kita ke gereja.

Hidup ini adalah kesempatan, kita tidak tahu kapan akan diambil oleh empuNya kehidupan yaitu Sang Pencipta.

Ketika kita asyik dan sibuk dengan keduniawian tidak terasa waktu berjalan cepat, kita lupa menyisakan waktu untuk-Nya, apalagi menyisihkan waktu untuk-Nya.

Filosofi sebuah lilin mungkin dapat kita renungkan sebagai peringatan akan kehidupan ini.

Ketika manusia dilahirkan, mereka akan diberikan sebatang lilin untuk menemani perjalanan hidupnya. Ada yang menggunakan lilin tersebut untuk dilebur dan dibuat untuk membatik, atau dilebur dan dipakai sebagai sarana mencabuti bulu-bulu halus yang tidak diinginkan, atau dia ukir dan dibentuk patung sebagai hiasan, atau hanya didiamkan saja dan disimpan.

Sebagai Iman Katholik, kita harus memahami bahwa sebatang lilin yang diserahkan ke kita harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya, yaitu untuk dinyalakan agar dapat menerangi perjalanan hidup kita dan sesama.

Sakramen Baptis adalah sebagai awal lilin kita dinyalakan, karena dengan lilin itu menyala kita dapat beroleh firman – firman Tuhan sebagai penunjuk jalan dan arah kehidupan kita, dan itulah yang disebut “Iman” yang berarti percaya akan sabda Tuhan.

Iman tidak datang secara otomatis dalam kehidupan kita, iman perlu diperjuangkan bukan sekedar diusahakan, pekerjaan mencari Allah bukanlah perkerjaan sampingan yang hanya kita sediakan cukup satu hari dalam seminggu, yang hanya sekitar 2 jam yaitu di hari minggu saja, tetapi mencari Allah adalah pekerjaan utama dari hidup kita. Bagaimana kita harus senantiasa melaksanakan sabda Tuhan dalam setiap aspek kehidupan kita, dalam pergaulan kepada sesama teman , rekan pekerja atau kantor, tetangga, lingkungan atau sebagai warga negara hendaknya apa yang keluar dari pikiran, ucapan, karya dan perbuatan kita hendaknya adalah buah implementasi dari firman Tuhan yang kita dapatkan.

Ketika api membakar sumbu lilin, lama kelamaan nyala lilin akan makin redup, sebab ketika sumbu habis terbakar, sudah tidak ada lagi bahan bakar yang bisa dipakai untuk menjaga api tetap bernyala, maka badan lilin yang berupa lilin itu sendiri harus rela berkurban untuk melebur dan mencair untuk selanjutnya diserap oleh sumbu lilin, sehingga api tetap menyala dengan cara membakar lilin yang mencair tersebut.

Demikian juga dengan iman kita, terkadang disaat saat tertentu ada kekosongan iman kita karena kita secara tidak sadar jauh dari firman firman Tuhan, bisa karena kita terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, bisnis, atau hal keduniawian lainnya, sehingga iman kita menjadi redup. Bila hal tersebut terjadi kita harus segera sadar untuk bisa menyisihkan dan mengorbankan waktu, tenaga atau materi agar nyala lilin iman kita tetap menyala, jangan sampai menunggu nyala itu menjadi padam.

Bagaikan sebuah perumpamaan, pertumbuhan iman bagaikan deret hitung ( lambat sekali ), sementara redup atau hilangnya iman bagaikan deret ukur ( cepat sekali ).

Sebagai umat Katholik yang telah di baptis dan berjanji dalam persekutuan gereja Allah, kita harus menyadari bila saat-saat tersebut sudah menghampiri bahkan menyerang kita.

Ketika angin kecil bertiup, maka nyala api lilin akan bergoyang, dan bila tidak segera di lindungi, bisa bisa api itu menjadi padam. Demikian juga dengan iman kita bila ada godaan-godaan disekitar kita yang cenderung menjauhkan diri dari keimanan terhadap gereja, maka kita harus segera mendekatkan diri pada lingkungan yang tepat yaitu saudara-saudari kita yang seiman, mendekatkan diri pada gereja dan mendalami firman-firman Tuhan didalam Kitab Suci.

Maka adalah penting bila sebagai umat Katholik kita harus menjadi bagian dari suatu komunitas umat Katholik di lingkungan masing-masing agar tercipta suatu hubungan yang saling menguatkan dalam iman kepada Yesus Kristus.

Bagaimana bila angin yang bertiup sangat besar, bahkan dengan seketika bisa mematikan nyala lilin tersebut ?. Hal tersebut bisa terjadi bila di lingkungan kita dan sebagian besar waktu kita habiskan dilingkungan tersebut, misalnya dilingkungan tempat kerja, namun dilingkungan tempat kerja tersebut sudah menjadi hal-hal yang lazim bila para pegawainya melakukan suatu perbuatan dosa, misalnya budaya korupsi, penyalahgunaan wewenang, penyembah setan atau lingkungan yang asusila.

Kita harus menakar kekuatan iman kita, sudah kuatkah iman kita terhadap lingkungan tersebut, tanpa kita tidak ikut-ikutan melakukan kejahatan? Bila sekiranya iman kita tidak mampu, keluarlah dari lingkungan tersebut, sebab perbuatan dosa akan menjadi tidak terasa karena sudah terbiasa.

Yakinkanlah bila kita tetap menjaga dan dengan tekun memelihara nyala lilin iman kita, maka Karunia Tuhan Yesus Kristus yang ditinggalkan kepada kita berupa Roh Kudus, akan senantiasa melihat nyala lilin kita dan menuntun perjalan hidup kita.

Aku berkata kepadamu : Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan. ( Luk 15:7 )

Kita tidak tahu, apakah kita termasuk yang satu orang berdosa atau sembilan puluh sembilan orang benar, yang jelas karena kasih-Nya, Allah menghendaki seratus yang artinya utuh seratus persen umat-Nya kembali pada-Nya.

Jangan biarkan Allah mencari kita dahulu, tapi selalu berjuanglah mencari Allah terlebih dahulu.

Hal tersebut juga berarti kita harus menjaga nyala lilin-lilin kita, menerangi bahkan harus bisa menyalakan lilin-lilin orang lain yang mungkin masih belum dinyalakan, agar kemuliaan dari-Nya dapat kita peroleh dan bersama-sama Dia dalam Kerajaan-Nya di akhir zaman.

Tetaplah menyala hingga batang lilin yang telah dipercayakan kepada kita masing-masing benar-benar habis, menjadi nyala api dan terang bagi sesama.

Semoga kasih-Nya yang tak berkesudahan senantiasa menguatkan nyala lilin-lilin kita, Amin.

( Penulis : Al. Susilo Pranoto )

1 thought on “Menjaga Lilin Tetap Menyala”

Leave a Reply

Scroll to Top