Doa & Wasiat Seorang Ibu

( Oleh: Konden Manurung )

Aku dan ibu berpisah secara fisik untuk selamanya dengan ayah tercinta ketika usiaku masih enam tahun. Waktu itu aku duduk di bangku kelas satu sekolah dasar (SD). Aku dan ibu rasanya seperti tidak siap untuk menerima kenyataan, kami bertanya: mengapa Tuhan mengambil ayah tercinta dari sisi kami begitu cepat?? Kepergian ayah untuk selamanya sungguh membuat kami terpukul dan tergoncang, apalagi ayah tidak meninggalkan harta benda yang dapat menopang hidup kami secara ekonomi. Ayahku adalah seorang guru honorer sekolah dasar, gaji bulanannya pun pas-pasan hanya dapat mencukupi kehidupan kami sehari-hari. Sedangkan ibuku adalah seorang pedagang sayur yang tidak menentu penghasilannya.  Namun demi cintanya kepadaku ibu dengan tekun dan semangat tanpa lelah berkeliling menjajakan sayur-sayurannya dari rumah ke rumah. Satu hal yang diajarkan oleh almarhum ayahku dan juga  ibuku agar selalu bersyukur atas rezeki yang kami dapatkan sehari-hari. Itu yang membanggakanku.

Almarhum ayahku adalah sosok yang bijaksana didalam keluargaku. Ia taat beragama sehingga aku selalu diingatkan untuk pergi ke Gereja setiap hari minggu.  Ibu selalu berdoa di depan patung Bunda Maria sebelum pergi menjajakan sayur-sayurannya. Setelah itu ibu mempersiapkan kebutuhan ayah dan aku untuk ke sekolah. Itulah kenangan indah bersama ayah yang tidak dapat kami lupakan.

Waktu terus berlalu aku dan ibu menjalani hidup ini dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Aku melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan dan diterima bekerja di sebuah perusahaan kecil. Gajiku dapat menopang keperluan kami. Pada usia dua puluh tiga tahun aku kuliah di salah satu universitas ternama. Aku lulus dengan Cumlaode (nilai yang sangat memuaskan) dan mendapat gelar Sarjana Tekhnik. Ketika aku menyampaikan berita ini kepada ibu, ia sangat gembira. Ibu memelukku, menatap photo (+) ayahku sambil menitikkan air mata tanda haru.

Kini kondisi fisik ibuku semakin menurun. Ia sering sakit tapi tidak pernah mengeluh. Cinta kasih seorang ibu jauh mengatasi segala susah dan derita. Aku selalu mendoakan dan meminta doa untuk ibuku. Ketika tiba saatnya aku wisuda, muncul rasa  khawatir tentang ibuku. Apakah ibu sanggup untuk ikut menghadiri wisudaku? Kekhawatiranku akhirnya terjawab dengan bisikan lembut ibuku:  “anakku.. ibu akan menghadiri wisudamu, karena inilah saat yang ibu dan ayah banggakan dan di nanti-nantikan anakku…

Sebelum berangkat  ke tempat wisuda kami berdoa memohon kepada Bunda Maria dan Putra-Nya supaya semua berjalan lancar. Ketika para mahasiswa/i lengkap memakai Toga, Topi dan menunggu giliran ke depan, ibuku memelukku dan berdoa. Selesai wisuda aku dan ibuku langsung pulang ke rumah. Ketika tiba di rumah ibu memintaku menuntunnya ke kamar tidur. Dengan berbaring  ibuku memegang tanganku dan memintaku untuk berdoa Rosario lalu mengambil selembar kertas di dalam laci ibu. Aku menyalakan lilin lalu berdoa. Setelah  berdoa rosario bagaikan petir di malam hari yang menyambarku? Mengapa? Karena ibuku telah tiada dan kembali kepada Bapa di Surga. Sambil menangis sedih aku mengambil selembar kertas yang ada di laci ibu. Isinya hanya sepotong doa yang sangat berarti untukku yakni “Tuhan… aku sudah lelah dan tubuhku tidak kuat lagi, namun aku selalu bersyukur karena kekuatan doa dan cinta kasih-Mu selalu bersama kami hingga aku mampu memikul tanggung jawab ini dan membimbing anakku sampai mencapai cita-cita yang diharapkan ayahnya.  Bila Tuhan menghendaki, berilah aku kesempatan untuk mendampingi dan melihat anakku hingga dia wisuda nanti. Amin.”

       Dengan kesedihan yang paling dalam, aku menitikkan air mata dan memeluk tubuh dan mencium wajah ibu yang selalu senyum penuh kedamaian. Inilah surat wasiat yang paling berharga  dari ibu untukku.

Leave a Reply

Scroll to Top