Umat Katolik dan Protestan diajak rayakan Natal dengan membela hak asasi manusia

“Marilah merayakan Natal bukan hanya dengan nyanyian dan pujian, tapi juga dengan upaya konkret untuk hidup dalam hikmat Allah. Kita diajak membela hak-hak asasi manusia sebagai ungkapan kewajiban asasi manusia. Perayaan kelahiran Yesus, Sang Juruselamat, menjadi saat dan kesempatan untuk memahami hakikat hak asasi manusia (HAM) secara baik dan benar, menyadari luhurnya martabat manusia dan pentingnya gerakan menghormati HAM.”

Ajakan itu tertulis dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2018 bertema “Yesus Kristus Hikmat bagi Kita (1 Kor 1: 24, 30), yang ditandatangani di Jakarta, 14 November 2018, oleh Ketua dan Sekretaris Jenderal KWI Mgr Ignatius Suharyo dan Mgr Antonius Bunjamin OSC serta Ketua Umum dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Dr Henriette T. Hutabarat-Lebang dan Pendeta Gomar Gultom.

Sudah lebih dari dua ribu tahun Yesus datang ke dunia, tulis pesan itu, “tetapi karya keselamatan yang Dia tawarkan kepada umat manusia masih harus terus diwujudkan. Banyak orang telah menanggapi undangan Allah ini dalam hidup sehari-hari, di antaranya, dengan menjunjung tinggi HAM. Akan tetapi, kita masih menjumpai orang yang tidak peduli pada suara hati dan tidak mengindahkan hati nurani serta tidak malu terhadap sesamanya dan tidak takut kepada Allah hingga berbuat sesuatu yang melanggar HAM. Tiada lagi sukacita dan gembira ketika manusia diperlakukan tidak adil oleh sesama; saat HAM diinjak-injak.”

HAM, jelas pesan itu, adalah hak dasar melekat yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang. Perwujudan HAM secara baik dan benar membuat manusia hidup secara manusiawi. Dalam Perjanjian Lama, Allah memanggil para nabi, salah satunya, untuk mewujudkan keadilan yang juga berkaitan dengan HAM. Nabi Amos mengingatkan, yang menginjak-injak hak asasi orang lemah dan miskin tidak akan hidup sejahtera (bdk. Am 5:11-12).

Para pimpinan KWI dan PGI mengajak umat bersyukur kepada Allah karena bangsa Indonesia menjunjung tinggi HAM dan berterima kasih kepada pemerintah yang telah berusaha menangani masalah HAM secara serius. Sekalipun demikian, lanjut mereka dalam pesan itu, “persoalan HAM masih terjadi di sejumlah tempat dan pelanggaran HAM berat di masa lalu belum selesai secara tuntas.”

Dikatakan, “Hak hidup layak di bidang ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan hidup masih terganggu di beberapa daerah. Kebebasan berbicara dan berujar dikacaukan oleh maraknya ujar kebencian dan berita bohong yang kadang disertai kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Ancaman, pengrusakan dan penutupan rumah ibadah masih terjadi. Izin mendirikan rumah ibadah masih tersendat.”

Selain itu, “Eksploitasi alam berlebihan dan transaksi penjualan tanah masih merugikan masyarakat tertentu. Hak ekologis untuk menikmati lingkungan yang sehat tidak sepenuhnya dirasakan, terutama oleh kalangan masyarakat sederhana, karena pencemaran air, tanah dan udara. Hal-hal sedemikian merupakan pelanggaran HAM dan itu adalah tindakan manusia yang hidup menurut hikmat dunia.”

Para pimpinan Gereja di Indonesia itu menegaskan, perilaku pemimpin koruptif telah merusak kesadaran moral masyarakat, seolah jalan pintas yang tidak pantas adalah cara cepat mencapai keberhasilan. “Tindakan koruptif sering berhubungan dengan pelanggaran HAM. Untuk itu, kita membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang penuh hikmat. Hal ini sejalan dengan sila keempat Pancasila: ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.’”(PEN@ Katolik/paul c pati)

Pesan Natal Bersama PGI dan KWI 2018 bisa dibaca sepenuhnya di:

PESAN NATAL PGI-KWI 2018 Versi PDF

Leave a Reply

Scroll to Top