Kisah Prajurit Non Katolik Berhutang Nyawa pada Bunda Maria

Aku prajurit non-Katolik, tetapi aku tak pernah meninggalkan rosarioku karena aku berhutang nyawa pada Bunda Maria. Jika aku berganti celana, yang aku pindahkan pertama adalah rosarioku, baru sesudah itu dompet dan barang lain.

Waktu itu adalah bulan Mei 1940, dan kami telah bergabung dengan Angkatan Udara akhir September. Di Halifax, kepada kami diberikan suatu pelatihan intensif, sebab mereka membutuhkan kami untuk tugas luar negeri, dan bagi kami para pemuda, keseluruhan program tersebut sungguh menarik.

Kami dikelompokkan dalam skwadron- skwadron, masing-masing terdiri dari enam hingga sepuluh pesawat, dan masing-masing dilatih maneuver sebagai satu kesatuan. Karenanya ada sekitar tigapuluh hingga limapuluh orang dalam satu skwadron, bersama pemimpin skwadron yang memberikan semua perintah dan menjaga kerja kelompok dalam kesatuan.

Pada bulan Mei, kepada skwadron kami diberitahukan bahwa kami akan bertugas ke luar negeri dan akan beraksi segera. Kami akan bekerja dalam misi-misi malam hari di atas wilayah musuh hingga perang berakhir.

Kami menantikan pemimpin skwadron kami yang baru, yang akan tiba dalam dua hari pada pukul 9:00 dengan pesawat militer. Sebagai seorang pejabat, kami pikir ia akan segera ke markas pejabat.

Kami melihat pesawatnya, memandangnya sekilas dari kejauhan, dan undur diri menanti hingga keesokan hari untuk “menilainya”. Beberapa jam kemudian, pemimpin skwadron ini, Stan Fulton, dalam seragam lengkap, memasuki barak kami.

“Baiklah teman-teman, kita akan melewatkan jam-jam berbahaya bersama, tetapi baiklah kita berharap bahwa kita semua akan berjumpa kembali di sini ketika semua sudah usai. Ah, ada ranjang kosong dan aku lelah! Aku akan temui masing-masing kalian besok.”

Seraya berkata, ia melemparkan ranselnya di sebuah ranjang atas. Pemimpin skwadron kami, seorang pejabat, tidur di sini bersama kami! Kami semua langsung suka padanya dan rasa suka kami dan hormat kami kepadanya bertumbuh setiap hari.

Malam pertama itu ia berlutut di lantai dan mendaraskan rosarionya dalam keheningan. Terperanjat, kami semua diam membisu. Ketika selesai, ia memandang kami dengan senyum bersahabat dan mengatakan, “Aku harap kalian tak berkeberatan seorang teman mendaraskan doa sebab ke mana kita pergi, kita akan membutuhkannya.”

Keesokan harinya latihan maneuver, di bawah perintahnya, meyakinkan kami bahwa Fulton bukanlah sekedar pemimpin militer kami, melainkan sahabat kami. Ia salah seorang dari kami; ia tak pernah berusaha mengintimidasi kami dengan posisinya.

Malam itu, ia mengulang sesi doanya. Meski kelompok kami telah berlatih bersama setidaknya selama enam bulan, aku tidak pernah meihat seorang pun berlutut dalam doa, dan tak pernah terpikir bahwa ada orang Katolik dalam kelompok kami; tetapi pada malam ketiga tiga orang rekan mengabungkan diri bersama Fulton mendaraskan Rosario. Sebagian besar dari kami tidak mengerti, tetapi kami dengan hormat menjaga keheningan.

Beberapa malam sesudahnya – kami adalah orang-orang yang cepat belajar – kami semua menjawab Salam Maria dan Bapa Kami. Fulton kelihatan senang, dan demikianlah kami mengakhiri setiap hari dengan doa.

Pada tanggal 1 Juni 1940 kami akan meninggalkan Halifax untuk memulai serangkaian serangan malam dari Inggris atas Jerman. Sore sebelumnya, Fulton memberikan kepada masing-masing kami seuntai Rosario.

“Kita akan berada dalam situasi-situasi sulit, tetapi, jika kalian setuju, kita akan mendaraskan Rosario. Jika kalian berjanji untuk membawa Rosario bersamamu senantiasa sepanjang hidupmu dan mendaraskannya, aku dapat menjanjikan kepada kalian bahwa Bunda Maria akan membawa kalian semua kembali dengan selamat ke Kanada.”

Kami menjawab, “Pasti.” Tak terbayangkan bahwa kami akan bertugas selama empat tahun, berulang kali dalam bahaya mengerikan dengan tembakan-tembakan sekeliling kami. Di saat-saat demikian, suara Fulton menggema menembus setiap pesawat, “Salam Maria…” Betapa khusuk dan tulus kami menanggapinya! Berapa ratus Rosario pastilah telah kami daraskan.

Sesudah dua tahun, tercatat bahwa kami adalah satu-satunya skwadron yang tak kehilangan sebuah pesawat atau satu nyawa sekalipun. Kami tak mengatakan apa-apa, tapi kami tahu.

Pada akhirnya, perang yang mengerikan usai sudah. Sepanjang tahun-tahun itu kami kehilangan segala rasa antusias dan jiwa petualang. Satu-satunya kepedulian kami adalah selamat! Dan kami sungguh selamat pula. Semua pulang ke Kanada pada tahun 1945, sepenuhnya yakin bahwa Bunda Maria telah memelihara kami.

Jadi, aku tiada pernah lupa membawa rosarioku bersamaku dan mendaraskannya setiap hari meski aku bukanlah seorang Katolik. Apabila aku berganti celana panjang, hal pertama yang aku pindahkan, bahkan sebelum dompetku, adalah rosarioku.

Catatan: Artikel ini dipublikasikan dalam jurnal “Michael” edisi Mei-Juni-Juli 2003, diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net

1 thought on “Kisah Prajurit Non Katolik Berhutang Nyawa pada Bunda Maria”

Leave a Reply

Scroll to Top