Oleh : Sutopo Yuwono
Membaca parodi oleh Samuel Mulia di kompas, minggu 31/8/2014 dengan judul ‘peta’, membuatku mengingat akan pengalaman – pengalaman masa kecilku hingga dewasa. Ingatanku tertuju sekitar 25 tahun yang lalu, ketika itu aku adalah seorang kanak – kanak dengan badan paling bongsor diantara teman – teman sepermainan.
Karena bongsor, kala itu aku menjadi yang paling kuat diantara temen temanku, bahkan sering diadu untuk berkelahi dengan yang anak yang usianya diatasku. Meski bongsor, dalam hal atletikpun aku seringkali masuk 4 besar diantara teman sebayaku, loncat tinggi, lompat jauh, lari cepat, dan lain sebagainya. Dan bahkan, dalam urusan sepakbolapun, aku termasuk pemain andalan, biasanya sebagai pemain belakang. Striker lawanpun gentar menghadapi aku, bukan saja karena menang body, tapi juga tak kalah dalam hal berlari.
Tapi itu dulu, ketika aku masih kanak – kanak. Bagaimana dengan sekarang? jangankan sepakbola, berlari sebentar saja sudah hampir pingsan. Jangankan berlari, duduk saja nafas ngos ngosan. Itu yang ku kenang setelah membaca parodinya samuel mulia yang berkisah tentang peta hidupnya, dimana dulu beliau begitu kuat dan antusias, tapi sekarang aktifitas dan antusiasmenya terhalang oleh kondisi fisiknya, jantung sehat, tekanan darah normal, tapi kok tetap sakit, hingga akhirnya oleh dokter divonis hydropilipia.
Dalam keadaanya sekarang, melalui tulisannya beliau menceritakan bahwa hidup itu sudah dipetakan, masalahnya adalah apakah kita mau mengikuti peta yang sudah dibuat Tuhan dengan mengambil jalan kanan, atau membuat peta sendiri dan mengambil jalur kiri.
***
Beberapa hari yang lalu, dalam hening dan mata terpejam, aku seakan melihat ada sebuah piring berisikan 3 buah gethuk (makanan dari singkong ditumbuk) dengan 3 warna yang berbeda. Seketika itu juga muncul hasrat yang kuat untuk menyantap makanan tersebut, singkat kata, aku pun berusaha mencari penjual gethuk di sekitar tempat tinggalku, mulai dari pasar tradisional hingga pasar kaget, kususuri jalanan sekitar citra raya hingga korelet, belok ke kanan ke arah pemda tiga raksa, tapi tak juga kutemukan makanan yang bernama gethuk tersebut. Karena keinginan itu begitu kuat, akhirnya kuputuskan untuk membuatnya sendiri dengan warna merah, hijau dan kuning.
Hmmm, terpenuhi juga keinginan makan gethuk. Perjalanan masih berlanjut, tiba-tiba terlintas pertanyaan, kenapa warna itu muncul, merah , hijau, kuning.
Saya diingatkan tentang peta hidup melalui tulisan Samuel Mulia, hingga akhirnya benak saya mereka-reka makna bahwa Merah itu laksana matahari yang baru terbit, Meskipun siang malam itu merupakan siklus yang tiada henti, tapi banyak orang meyakini bahwa awal hari adalah ketika matahari terbit. Bayi yang baru lahir sering disebut jabang bayi (bayi merah), itu juga adalah awal kehidupan manusia di dunia. Dalam peta hidup, saya pernah mengalami menjadi bayi.
Hijau menggambarkan sesuatu yang segar, sayuran hijau, daun hijau, daun yang masih muda. Hijau adalah sesuatu yang segar, ibarat buah sedang ranum ranumnya, ibarat manusia sedang seger-nya. Hijau juga menggambarkan semangat ketika masih muda, dan aku juga pernah mengalami saat – saat penuh semangat.
Kuning laksana padi yang siap dipanen, sudah matang, sudah berisi. Padi juga seringkali dikaitkan dengan kerendahan hati, semakin berisi, semakin merunduk, semakin mendekati tanah semakin dekat dengan manifestasi menghasilkan padi yang lebih lagi atau menjadi makanan dan sumber energi bagi hidup bagi makhluk hidup lainnya. Akan tetapi di dalam kenyataan, tidak jarang dijumpai juga padi yang gabuk (tidak berisi), ketika muda menjulang tinggi melebihi daunnya akan tetapi belum berisi, kemudian setelah tua akan lepas dari tangkainya dan terbang melayang terbawa angin, seperti itulah biasanya padi yang gabuk.
Bila dilihat dari usia, tak berasa, ternyata aku sudah tidak hijau lagi, meskipun masih tersisa sedikit semangat untuk mewujudkan harapan – harapan yang belum kesampaian. Ada asa yang sudah terwujud bahkan lebih, ada juga yang masih jauh dari harapan.
Di bilang berisi, jelas belum, entahlah apakah nanti aku ini seperti padi yang belum berisi tapi sudah berani menjulang tinggi, atau seperti padi gabuk yang akan terbang tertiup angin tanpa manisfestasi yang berarti bagi dunia. Terlepas seperti apapun jadinya nanti, yang jelas masa hidup di dunia ini ada batasnya.
Saya diingatkan dengan peta hidup yang sudah dirancang sang pencipta, ada jalan ke kanan, ada jalan ke kiri, ada daya hidup untuk menempuh perjalanannya, ada guidance atau pemandunya, ada petunjuk – petunjuk yang senantiasa mengarahkan dan meluruskan bila salah jalan, dan tentu saja juga ada wewelar atau rambu – rambunya. Petunjuk bisa berupa Sabda Tuhan melalui Kitab Suci, nasehat dari sesama, bisikan hati nurani, penglihatan mata wadag, dan tidak tertutup kemungkinan penglihatan mata batin.
Sang pencipta memberikan kebebasan penuh bagi manusia untuk menempuh jalur perjalanan pribadinya atau peziarahan hidupnya. Termasuk aku, Sang pencipta melalui jagad raya memberikan banyak pilihan jalan bagi keinginanku, tapi tentunya semua pilihan ada konskwensinya, dan semuanya terpampang lengkap di semesta yang penuh misteri ini.
Menjadi kaya misalnya, saya mengira bahwa hampir semua orang jaman sekarang pasti punya keinginan tersebut, atau paling tidak berkecukupan, ini normal dan tidak ada yang salah dengan keinginan tersebut, dan sang penciptapun menfasilitasi keinginan tersebut, ada cara kiri, ada cara kanan. Ada jalur bekerja, ada jalur mencuri, ada jalur korupsi dan bahkan ada yang tidak perlu mencuri atau korupsi dan aman dari dakwaan pasal – pasal hukum negara tapi bisa kaya dalam hitungan bulan, minggu bahkan hari, dan tentunya ada juga jalur yang resmi atau tidak melangar ketentuan. Yang menjadi pertanyaan dalam benakku, apakah sebenarnya hakekat hidup itu?
Jika kehidupan dunia yang penuh harta sudah menjadi tolok ukur kesuksesan, kecenderungan untuk mencari jalan yang paling instan kerap menjadi pilihan, sudah tidak lagi memperhatikan tuntunan apalagi wewelar/ peraturan. Di sinilah biasanya seseorang lupa akan hakekat hidup.
Perihal hakekat hidup, sebenarnya saya pribadi bukan yang paham tentang hakekat hidup, tapi alam semesta senantiasa mengajari tentang makna hakekat lewat pengalaman hidup sehari – hari. Pengalaman melihat orang jualan yang sangat laris, orang jualan tapi tidak laku, melihat seseorang yang meninggal dengan tragis, pengalaman melihat seseorang sakit kronis, pengalaman melihat orang hura hura, pengalaman melihat orang bahagia dan sebagainya, pemaknaannya ada pada yang menyebabkannya atau sesuatu di belakangnya. Pengalaman makan gethuk 3 warna mengingatkanku bahwa waktu ku di dunia ini terbatas dan meski tidak tahu kapan akan dipanggil Tuhan, tapi berapa lamanya masih bisa diprediksi dengan angka-angka.
Saya yakin bahwa semua Agama dan Keyakinan di Indonesia ini meyakini tentang kehidupan setelah meninggal dengan versi, kisah dan pemahamannya masing – masing. Dalam Syahadat Katolik disebut bahwa Yesus Kristus turun ke tempat penantian, pada hari ke 3 bangkit dari antara orang mati, naik ke Surga duduk di sebelah Allah Bapa yang Maha Kuasa.
Dalam syahadat juga disebut ‘aku percaya akan Roh Kudus, Persekutuan para Kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal.
Apa itu alam penantian, apa itu kehidupan kekal? Jangankan menjelaskan, membayangkan saja aku tak sampai, mengira-ngira berapa lama di alam penantian, kekal itu seperti apa? Apakah ada batas waktunya, jika ada berapa lama? Selamanya itu seperti apa? Menanggapi pertanyaan yang muncul dalam hati tersebut, aku kembali bertanya “Jika dibanding kehidupan Kekal, apalah arti panjang umur di dunia? Apalah arti kesuksesan jika kita tidak sampai kepada kehidupan kekal bersama Bapa di Surga?”.
Menanggapi pertanyaanku sendiri tersebut, batinku menjawab nakal “jangan ngomong dulu sampai hidup kekal bersama Bapa di Surga, urusi dulu nasibmu di dunia, syukur-syukur dirimu berguna bagi sesama, jika mati nanti mendapat tempat layak di alam penantian”.
Ups, jujur aku sendiri ga paham , tapi karna sudah terlanjur tertulis, jadi ya tidak saya hapus, barangkali yang membaca tulisan ini justru paham.
Hmm, ini juga bukan berarti ungkapan frustasi hidup di dunia. Jika teringat akan ilmu padi, tentu saja alangkah baiknya jika selain berisi dan rendah hati, hendaknya juga bisa bermanifestasi bagi kelangsungan hidup sesama ataupun penerus kita. Seorang tetua pernah berkata, itu merupakan bekal agar bisa sampai di alam sejati/ keabadian.
“Agar bisa sampai? berarti ada yang tidak bisa sampai? “ tanyaku pada beliau,
tapi tiada jawaban selain senyuman ramah penuh kasih sayang.
Dan seseorang berkata demikian “Silaunya dunia dapat diredam dengan mata terpejam, megahnya dunia seringkali hanya gebyar, gebyarnya dunia hanyalah ilusi. Semua yang ada dibaliknya dapat terlihat jelas ketika kita menengok ke dalam hati.
Tangerang, 4 september 2014
F11/11
***
Ketika kubaca ulang tulisan ini , sayup sayup terdengar untaian Doa Salam Maria, “…Santa Maria Bunda Allah, Doakankah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati”.
Dilanjut Doa Fatima, “Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami. Selamatkanlah kami dari api neraka, dan hantarlah jiwa-jiwa ke surga, terlebih jiwa-jiwa yang sangat membutuhkan kerahiman-Mu, Amin.
Tangerang, 9 mei 2018