( Oleh : Idus Masdi )
Romo Felix itu luar biasa. Bayangkan kalau tidak ada acara di gereja, beliau itu mainnya ke pesantren-pesantren, termasuk ke rumah saya. Pernah jam 12 malam Romo Felix ke rumah saya hanya sekedar ngopi bareng. Saya dan Romo Felix bisa ngomong ngalor ngidul higga jam 2 pagi, hanya bicara soal kebangsaan dan keumatan. Alhamdulillah, semoga Romo Felix diberikan kesehatan dan kekuatan untuk membimbing kita semua dan terutama membimbing umat Katolik yang ada di Paroki Santa Odilia ini,” kata Khoirun Huda”, Sekretaris Gerakan Pemuda (GP) Ansor Provinsi Banten, untuk menggambarkan kedekatan Romo Felix Supranto, SS.CC, Pastor Paroki Citra Raya Tangerang, dengan tokoh lintas agama di kabupaten Tangerang, Banten.
Huda menyampaikan pernyataan ini kepada tim redaksi Melodi saat “Sharing Kebangsaan” dengan umat Gereja Santa Odilia, Paroki Citra Raya, Minggu (18/3/2018). Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) ini merasa bersyukur dan sekaligus sebuah kehormatan karena diberikan kesempatan untuk sharing pengalaman tentang kehidupan toleransi antara umat beragama di Kabupaten Tangerang, lebih khusus antara Islam dan Katolik. Pertemuan ini pun dilihat sebagai sebuah momentum yang luar biasa dalam pengalaman keberagamaan.
Dalam acara “Silaturahmi Kebangsaan” ini, tokoh muda NU ini menyampaikan secara garis besar tiga prinsip dasar dalam menjalin hubungan persaudaraan (silaturahmi) menurut pandangan Islam, yakni tahap pertama, Ukhuwah Islamiyah; kedua, Ukhuwah Wathaniyah; dan ketiga, Ukhuwah Basyariyah atau bisa juga disebut Ukhuwah Insaniyah. Huda yakin ketiga prinsip dasar ini dapat menjadi acuan untuk merajut benang-benang kebhinekaan dan merawat kebangsaan.
Apa yang dimaksudkan dengan ketiga istilah tersebut? Menurut Huda, Ukhuwah Islamiyah merupakan sebuah tahapan dalam hubungan persaudaraan di mana seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Sementara konsep ukhuwah wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia. Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan konsep Ukhuwah Basyariyah atau Ukhuwah Insaniyah, yakni sebuah tataran hubungan di mana seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk ciptaan Tuhan.
Hampir sama dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah basyariyah juga tidak dibatasi oleh baju luar dan sekat-sekat primordial seperti agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan sebagainya. Ukhuwah Basyariyah merupakan level ukhuwah yang tertinggi dan mengatasi dua ukhuwah lainnya: Islamiyah dan wathaniyah. Artinya, setelah menapaki ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah, sudah sepatutnya seseorang menggapai ukhuwah yang lebih tinggi, lebih mendalam, dan lebih mendasar, yaitu ukhuwah basyariyah.
Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Jadi seseorang menolong orang lain bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya ditolong, apa pun agama dan sukunya.
Dalam membangun persaudaraan lintas agama, Huda kagum dengan keteladanan Romo Felix dalam menjalin silaturahmi kebangsaan dengan umat muslim di Tangerang. Bahkan Sekretaris GP Ansor ini mengaku mendapat banyak petuah dari Romo Felix tentang persaudaraan antar-umat beragama, meskipun dia sendiri sebagai seorang pribadi muslim.
“Saya yakin Romo Felix sudah bergerak pada level ketiga dalam persaudaraan Islam, yaitu Ukhuwah Basyariyah. Jadi, dalam tataran ini, beliau bergaul dan bersilaturahmi tidak lagi memandang apakah itu orang Katolik, Kristen, Muslim, orang Jawa, tetapi memandang bahwa kita bergaul karena kita adalah sesama manusia atau sama-sama anak-anak cucu Nabi Adam,” tuturnya kepada Melodi.
Merasa Diterima
Dalam “Sharing Kebangsaan” dengan umat Katolik di Gereja St. Odilia, Huda tidak bisa menyembunyikan rasa kagum dan keharuannya karena bisa berdiri dan berbagi pengalaman dengan umat Katolik di sebuah tempat ibadah yang sakral. Ini hanya bisa terjadi karena adanya hubungan yang baik.
Diakuinya, penerimaan yang luar biasa itu, membuat dirinya merasa tidak lagi dianggap sebagai tamu atau orang luar, tetapi seperti menjadi bagian dari keluarga besar Gereja St. Odilia. Bahkan ia merasa seperti berada di tengah keluarganya sendiri. Hubungan baik ini direfleksikannya sebagai sebuah jalinan persaudaraan yang tidak lagi membatasi diri pada persoalan-persoalan yang bersifat privat (pribadi) tetapi sudah menjangkau pada level hubungan persadauraan sesama bangsa yang melintasi suku, ras, etnis, agama dan jens kelamin.
Pada sharing kali ini Huda bertutur tentang konsep kebangsaan dalam lingkup Ansor, Banser, dan NU pada umumnya. Ditegaskannya, konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga mati bagi NU. Di kalangan NU NKRI bukan hanya sekedar jargon belaka, tetapi konsep tersebut terus bergerak dinamis dengan mengajak semua komponen bangsa untuk merajut kebhinekaan dan merawat keindonesiaan. Ia melihat kehadirannya di tengah umat Katolik di Gereja St. Odilia merupakan salah satu upaya nyata dan terus menerus untuk merajut kebinekaan. Karena itu, ia pun mengajak umat katolik St. Odilia untuk sama-sama bergandengan tangan mempertahankan empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebinekaan.
Acuan Ansor, Banser dan tentu saja NU pada umumnya dalam merawat Kebinekaan dan NKRI, kata Huda, adalah kesepakatan yang diputuskan oleh para Kiai Nahdlatul Ulama dalam Muktamar (Kongres) NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Jadi komitmen NU terhadap NKRI sudah diputuskan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Hingga saat ini Ansor dan Banser konsisten memelihara apa yang telah diputuskan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1936 itu. Dalam Muktamar itu juga para Kiai NU mendiskusikan secara intens tentang bentuk negara setelah Indonesia merdeka. Para Ulama NU saat itu sepakat bahwa Indonesia yang akan dibentuk adalah negara “Darussalam”, yakni negeri yang damai dan sentosa, bukan Darul Islam atau Negara Islam. Keputusan tersebut jelas berangkat dari pemahaman yang brilian dari para Ulama NU, bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya dirangkai dari multi ras, suku, etnis, dan agama, sehingga tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah negara Islam. Para ulama NU sadar akan keberagaman tersebut.
Setelah sepakat membentuk Negara Dasarusalm atau negara Damai, maka NU berpandangan bahwa formalisasi agama tidak diperlukan, sehingga agama tidak perlu diatur secara formal dalam negara. Menurut NU, elemen yang paling penting dalam menata hubungan antara agama dan negara adalah bagaimana mamasukkan instrumen-instrumen atau nilai-nilai keagamaan dalam tataran pelaksanaan berbangsa dan bernegara. Nah, ini merupakan konsep besar NU yang terus dirawat hingga saat ini.