oleh : Sutopo Yuwono
Beberapa waktu lalu terjadi insiden nasi catering di tempat kerjaku berwarna kuning, nasinya pera dan agak keras. Respon kawan-kawanku bermacam-macam, ada yang mengumpat tapi tetap dilahap habis, ada yang dimakan setengah, ada yang tidak doyan tapi dipaksa didoyan-doyankan, bahkan ada yang frontal tidak dimakan sama sekali. Saya sendiri termasuk yang tidak peduli, meski agak keras tapi bagiku tetap nikmat-nikmat saja.
Hal tersebut mengingatkanku pada masa kecilku, dimana saat itu ada yang namanya nasi ‘Aking, yaitu nasi yang sudah basi, kemudian dijemur dan disimpan dalam waktu tertentu, kemudian nantinya akan dimasak lagi dengan cara direndam terlebih dahulu , baru dikukus seperti mengukus nasi pada umumnya.
Nasi aking ini termasuk jenis makanan kelas sekian, grade nya jauh lebih rendah dibanding nasi putih kualitas paling bawah. Biasanya nasi aking ini dimakan bila persediaan nasi putih sudah tidak ada, kalau kebetulan masih ada persediaan nasi putih, maka nasi aking ini hanya akan jadi pakan bebek atau ayam.
Bagiku, generasi paling muda kala itu, dimana lahir pada masa yang tidak terlalu sulit dalam hal mendapatkan nasi, dan sudah ada urea tablet beserta ramuan pupuk lainnya yang bisa membuat hasil panen bisa 2 kali lipat dari sebelumnya, dan juga berasnya sudah tidak diambil oleh VOC atau Nippon, maka masak nasi aking ini sangat jarang sekali, karena stok nasi putih melimpah.
Karena jarang, maka momentum ibuku masak nasi aking ini menjadi sangat istimewa sekali, dan bagiku rasanya tidak buruk – buruk amat, justru lebih gurih dibanding nasi biasa, karena biasanya nasi aking ini ditambahkan santan kelapa. Singkat kata, nasi grade nomer sekian tersebut menjadi grade nomer 1 bagiku yang hanya bisa aku santap pada moment – moment tertentu.
Ada kisah lain, waktu itu aku sedang membicarakan tentang masakan di lapo, kawan yang dari jawa berkata bahwa tidak senikmat kalau di Djogja atau di Solo, sementara kawan yang dari medan berkata bahwa masakan di lapo itu lezat sekali, bahkan karena begitu menghayati membayangkan daging lapo tersebut, cerita berkembang sampai membahas lezatnya BPK (Babi panggang karo, red) yang bikin ngiler. Dan kawan-kawan yang dari jawa juga hanya bisa melonggo karena tidak tahu apa itu BPK.
Enak dan tidak enak itu ternyata tidak tergantung objecknya, sama – sama nasi aking, sama-sama daging lapo, sama-sama nasi berwarna kuning pera dan keras, tapi menariknya ada yang beranggapan lezat dan ada pula yang beranggapan tidak lezat bahkan anti pati jika harus memakannya.
Barangkali begitu juga dengan kebahagiaan dan rasa syukur, tidak tergantung dari keadaannya, tapi bergantung pada kemampuan diri dalam menyikapi suatu keadaan tertentu, atau mungkin karena pengalaman tertentu yang pernah dialaminya.
Kembali pada nasi catering yang kuning dan keras, tentu saja nasi tersebut tidak segurih nasi aking masakan ibuku, akan tetapi kenangan akan nasi aking telah membuatku lupa bahwa nasi tersebut keras dan pera, dan efeknya aku merasa bahwa nasi catering tersebut nikmat – nikmat saja.
“Apa yang kelihatan baik belum tentu itu benar-benar baik, begitu juga dengan apa yang kelihatan buruk bisa jadi justru itu yang terbaik, tugas kita sederhana, cukup berbaik sangka saja pada penyelenggaraan Tuhan”, begitu seorang tetua pernah berkata.
Nasib tidak baik ataupun kesusahan saat ini, bisa jadi itu merupakan proses belajar atau mungkin latihan untuk membentuk kemampuan tertentu dalam menghadapi rancangan-rancangan yang telah disiapkan Tuhan di hari kemudian. Atau mungkin juga semacam shok terapi agar kita paham akan berkah yang kelak akan dianugerahkan Tuhan, atau agar kita benar-benar merasakan keindahan berkah tersebut secara maksimal. Seperti nasi aking tempo dulu di masa kecilku, telah membuatku merasakan nikmatnya nasi catering yang kuning dan pera sementara kawan – kawanku tersiksa ketika terpaksa harus memakannya.