Kupersembahkan yang kubisa pada-Mu Tuhan

Sebuah renungan ketika semangat pelayanan melanda Santa Odilia

Beberapa bulan terakhir ini  di tahun 2022 tentu bagi sebagian umat Santa Odilia merupakan saat-saat yang penuh kekuatiran, kecemasan, sekaligus kekesalan atau bahkan kemarahan ketika menghadapi persoalan dan tugas pelayanan di gereja, teristimewa bagi para Ketua lingkungan dan jajaran pengurusnya.

Hal tersebut terjadi setelah di canangkan suatu semangat dan cita-cita gereja kita yang telah diputuskan oleh dewan Pastoral yaitu “Liturgi yang memerdekakan”

Imbas dari cita-cita gereja untuk bisa menerapkan liturgi yang memerdekakan tersebut adalah dimana setiap lingkungan diharapkan bisa secara mandiri dan aktif menyelengarakan pelayanan misa di gereja dengan melaksanakan tugas-tugas liturgi yang lebih luas dan lebih banyak dari tugas-tugas sebelumnya ketika mendapat giliran dalam tugas pelayanan misa di gereja.

Tentu kebijakan gereja ( Pastoral) ini mempunyai maksud yang mungkin tidak semua umat bisa dan mampu memahami secara dewasa dan dengan kepala dingin, karena diperlukan adanya kesadaran dan kematangan rohani serta tanggung jawab selaku umat beriman teristimewa sebagai insan umat Katolik yang harus senantiasa “hidup dan menghidupi”, sebab kita semua tidak menginginkan kejadian-kejadian di beberapa negara Eropa khususnya yang konon kabarnya, telah kehilangan semangat menggereja baik fisik ( minimnya kehadiran umat di gereja ), maupun iman, dengan banyaknya prilaku dan gaya hidup yang menjauhi ajaran kristiani, bahkan membuat beberapa komunitas gereja terpaksa ditutup, karena keberlangsungan komunitas gereja hanya bersandarkan pada rohaniwan dan para imam/gembalanya semata.

Berkaca pada kejadian tersebut, maka timbulah kesadaran akan pentingnya ketahanan dan keberlangsungan iman dan hidup menggereja tidak semata-mata tanggung jawab para rohaniwan atau para gembalanya yang tinggal di gereja, paroki atau biara-biara saja, tetapi harus tumbuh dan berkembang di lingkup dan cakupan yang lebih kecil yaitu di tengah-tengah keluarga.

Sehingga diharapkan dengan semangat hidup menggereja yang dimulai umat di tengah-tengah keluarganya, maka akan timbul gereja-gereja kecil yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah komunitas basis yaitu Lingkungan.

Kebijakan Pastoral Gereja Santa Odilia mempunyai pandangan yang mungkin tidak mudah dimengerti, ketika kita sebagai umat hanya memahami “Semangat liturgi yang memerdekan”  hanya sebatas mengimplementasikan dan memahami sebagai sesuatu yang hanya menambah beban umat, teristimewa disaat-saat mendapat tugas pelayanan misa di gereja, apalagi di lingkungan yang terbatas/sedikit jumlah umatnya atau banyak umat namun sedikit yang peduli atau aktif terhadap kegiatan lingkungan atau menggereja.

Bagaimana tidak pusing seorang Ketua lingkungan yang harus mempersiapkan tim koor, tim putra-putri altar, lektor dan pemazmur bahkan sampai prodiakon secara mandiri, ketika mendapat giliran bertugas di pelayanan misa gereja.

Banyak yang pro namun tidak sedikit juga yang kontra dari kebijakan tersebut. bahkan timbul protes, walaupun tidak secara terbuka, serta terdengar walau samar-samar ungkapan ketidak senangan pada pribadi yang dianggap pencetus gagasan tersebut.

Tiga, empat bulan berlalu sudah, ketika kebijakan tersebut diberlakukan, walaupun tidak secara serta-merta perubahan itu terjadi secara radikal, namun umat Santa Odilia berusaha untuk tetap semangat dalam menjalankan perubahan tersebut, karena kami percaya “Rahmat Tuhan itu tersembunyi dibalik tantangan-tantangan yang harus kita hadapi”.

Tentu terjadi kendala disana-sini, baik dari para ketua lingkungan, jajaran pengurus lingkungan, pemerhati BIA, BIR dan OMK, juga para pembina di komunitas pendidikan, para Suster dan Bruder, serta para Guru.

Namun disaat-saat seperti ini iman dan kesetian kita pada gereja sungguh diuji, bukan sekedar slogan semata, tetapi kerja nyata. Kebersamaan, saling melengkapi dan kepedulian sesama umat akan tanggung jawab umat beriman adalah kunci utama.

Puji Tuhan dan Syukur layak kita kumandangkan, ada wajah-wajah baru tampil dalam pelayanan misa di Gereja Santa Odilia, anak-anak dengan wajah sukacita dan kebanggaan tersendiri ambil bagian dalam tim putra-putri altar, lektor, lektris bahkan pemazmur serta koor.

Pasti ada sedikit ketidak sempurnaan disana-sini, namun dengan senyum dan wajah sukacita, Para Romo Santa Odilia yang senantiasa berlaku sebagai Gembala yang baik nan bijaksana, tidak lupa senantiasa memberikan dorongan, semangat, dukungan, pujian,  penghargaan dan ungkapan kegembiraan yang disampaikan di akhir misa, tidak sedikitpun terucap kata cela dan ketidak puasan ada disana, meskipun ada ketidak sempurnaan yang kita sajikan disana-sini.

Hal tersebut menambah semangat bagi kita semua dan timbul semangat akan cinta pada pelayanan menggereja, “Ku mau berikan yang aku bisa, pada-Mu Tuhan”.

Minggu, 13 November 2022 di Misa ke 2, jam 09:00, tibalah pelayanan misa yang disampaikan oleh anak, adik dan saudara kita dari Yayasan “Bhakti Luhur” yang dimana tempat mereka untuk menimba ilmu, belajar menghadapi “hidup mandiri”  walaupun dengan segala keterbatasan mereka yang penyandang difabel ( disabilitas rungu, disabilitas wicara, disabilitas netra  dan disabilitas mental ).

Gereja senantiasa membuka pintu untuk segala umat untuk dapat ambil bagian dalam pelayanan hidup menggereja, dalam segala keadaan dan kondisi.

Beberapa minggu terakhir, di misa kedua tersebut memang pelayanan misa telah dipersembahkan juga dari adik-adik sekolah kita, baik dari TK, SD, SMP maupun SMA yang dipersembahankan dari Yayasan Pendidikan Tarakanita.

Pembacaan Kitab Suci dan Pemazmur dibacakan oleh dua lektris penyandang Tuna Netra dengan Alkitab berhuruf braille, mungkin baru pertama kali terjadi di Gereja Santa Odilia, atau bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari, terjadi diseluruh Paroki Keuskupan Agung Jakarta.

Suara yang lantang, menyentuh dan penghayatan yang tepat dari ucapan dan madah yang mereka kumandangkan, membawa kita haru, dan hanyut dalam firman Tuhan yang disampaikan.

Tercipta rasa syukur akan kasih dan kebesaran Allah timbul dalam nurani kita, menyadarkan bahwa untuk menjadi berarti, memberi dan melayani tidak harus istimewa dan berada.

Begitu juga saat rangkaian perarakan persembahan, yang disajikan dengan iringan tarian adik-adik difabel mental, dengan sukacita menyajikan dan mengiringi persembahan, sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan, “kuhantar Persembahanku”.

 

Kupersembahkan  yang kubisa pada-Mu Tuhan.

 

Tuhan Yang Maha Kasih,

Terima kasih atas kehidupan yang ku punya,

Segala yang ada padaku milik-Mu jua,

Kesempurnaan dan kekurangan adalah karunia,

 

Hanya syukur yang dapat ku rasa,

Bila aku dapat berkarya, memberi, melayani, dari yang aku punya

 

Kini aku sadari,

Buah Roh dari Kasih yang Kau beri,

Memberi bukan karena berlebih dan berarti,

Kekurangan bukan alasan untuk tidak memberi dan melayani,

Hanya semangat, sukacita dan bara cinta yang aku punya.

 

Tuhan, ……

Jadikanlah aku untuk senantiasa menjadi alat-Mu

Penebar kasih dan sukacita bagi sesama,

Selagi aku mampu dan diberi waktu,

Kuberharap tetap berarti dalam peziarahan hidupku,

Hingga Kau panggil namaku untuk menghadap-Mu

Amin

 

Ada sebuah kata bijak dari Bunda Theresa yang pantas kita renungkan :

“Jika Anda tidak dapat melakukan hal-hal besar, lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Jika Anda tidak dapat melakukannya dengan cinta yang besar, lakukan dengan sedikit cinta. Jika Anda tidak bisa melakukannya dengan sedikit cinta, lakukan saja.”

Selamat melayani dengan sukacita,

Jadikan keluarga kita gereja-geraja kecil baik dalam suka maupun duka, bawalah persembahan yang mampu kita berikan dihadapan Allah Yang Maha Kuasa, selagi kita masih diberi kesempatan.

 

Kiranya Berkat dan Kasih Tuhan senantiasa menyertai kita semua, Amin

 

Penulis : Aspranoto  ( Sie Komsos )

FG : Andrian Yuliarto, Marini Widin, Yustinus Onny

https://youtube.com/clip/UgkxOm9aQlVTtoq8S1fdBI3RcS87oWIGVU9-

https://bit.ly/BhaktiLuhur_131122

Leave a Reply

Scroll to Top