Oleh : Sutopo Yuwono
“Selama ini pekerja seringkali menuntut kenaikan gaji, ketika gaji sudah naik, bukan sejahtera yang didapatkan, tapi justru inflasi yang terjadi”, kurang lebih seperti itu ucap Bapak Suroto dalam seminar koperasi dan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh Kerasulan Buruh Dekanat Tangerang (KERABAT), minggu 4 maret 2018 di Gereja St. Matius Penginjil ,Bintaro,
Dalam penjelasan lanjutannya, beliau mengatakan bahwa pengusaha memasukan komponen upah dalam perhitungan biaya produksi, maka untuk menutup biaya produksi yang membengkak karena kenaikan upah pekerja, pengusaha akan menaikkan harga jual produknya, dan lagi – lagi justru para pekerja sendiri yang akan terkena imbasnya.
Lalu, adakah cara lain untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial?
Dengan gaya bicara yang penuh semangat dan meledak – ledak, bapak Suroto berkisah tentang kepemilikan tanah sebanyak 5 juta hektar oleh satu seorang, efeknya adalah bisa mempekerjakan dan memberi nafkah pada ribuan orang, tapi di sisi lain juga membuat jutaan orang lainnya menjadi pengangguran.
Melengkapi penjelasannya, beliau bercerita tentang demokrasi ekonomi, yaitu sebuah sistem bisnis dengan bagi hasil merata. Contohnya adalah sunkist co-operative grower, yang memproduksi juice dalam kemasan, sekarang usaha bisnisnya sudah lintas negara, dan mulanya bisnis tersebut dirintis dari sekelompok petani jeruk di negara asalnya.
Contoh lainnya, beliau berkisah tentang beberapa anak lulusan sekolah teknik di spanyol yang meminta pekerjaan pada Pater Yose Maria. Oleh Pater Yose Maria, kemudian anak – anak muda tersebut diajak untuk membentuk koperasi, dan mulai membuat barang perkakas rumah tangga, Kini koperasi tersebut telah mempekerjakan sekitar 80 ribu karyawan yang juga adalah anggotanya, atau dengan kata lain pemilik perusahaan tersebut. Kira – kira seperti itu penjelasan bapak Suroto tentang demokrasi ekonomi.
Apakah mungkin demokrasi ekonomi diterapkan di Indonesia?
Pada dasarnya, semua bisnis di dunia ini bisa dijalankan dengan koperasi, dan bahkan justru badan usaha berbentuk koperasi inilah yang ada di UUD 45, tapi sayangnya justru perlahan – lahan pendidikan tentang koperasi tersebut mulai dihapuskan dari mata kuliah di kampus. Ironis memang, jika anak anak muda semakin lama semakin melupakan sesuatu yang sudah digagas dengan sangat baik oleh para pendiri bangsa ini. Tidak tertutup kemungkinan, lama – lama akan juga dihapuskan dari undang – undang.
Bahkan citra koperasi kini sering dirusak oleh koperasi koperasi palsu, seperti praktik renternir yang berkedok koperasi.
Muncul berbagai spekulasi, apakah ini termasuk bagian dari rencana besar kapitalis global untuk semakin dalam menancapkan akarnya sampai dalam ke sendi – sendi perekonomian bahkan kebudayaan dan pola berfikir masyarakat Indonesia.
Bapak suroto terus berjuang agar pendidikan tentang koperasi tidak dihapuskan, dan kembali diajarkan di kampus – kampus dan sekolahan. Beliau berkata bahwa dengan mempelopori, membangun dan mempromosikan koperasi berarti turut menjadi promotor citra keadilan.
Nafas utama koperasi adalah kerjasama, kerjasama hanya akan terjadi bila ada kepercayaan, untuk dapat membangun kepercayaan diperlukan perilaku jujur dan bertanggung jawab. Selain hal tersebut, perlu diwaspadai juga bahwa mental bersaing hanya akan menghambat kemajuan. Sebagai penambah motivasi, perlu kita ketahui bahwa di Eropa, koperasi sangat maju.
Lalu, langkah awal apa yang bisa kita lakukan?
Kumpulkan orang – orang yang satu visi dan mulai dengan kebutuhan yang sederhana, begitu bapak Suroto memberikan tips ketika menjawab pertanyaan bagaimana cara mbentuk koperasi, dan menanggapi cerita juga pertanyaan dari bapak wardoyo yang bersama kawan – kawan sudah menjalankan koperasi simpan pinjam selama bertahun – tahun dan berhasil menghimpun dan mengembangkan dana hingga angka M (mbuh pira? Red), dan kini mulai ada wacana untuk mengembangkan usahanya selain dari simpan pinjam.
Di awal seminar, bapak Suroto juga berkisah tentang pengalamannya mengumpulkan para tukang becak untuk membentuk koperasi.
” Rasah kakehan cocot mas, seng penting modale (tidak usah banyak bicara, berikan saja modalnya, red)” begitu tanggapan mula – mula dari mereka.
Modal sebenarnya hanya alat bantu, maka tak kehabisan akal bagi bapak Suroto dalam membantu para tukang becak untuk menghimpun modal.
Setelah cara pertama dengan mengajak mereka menabung tidak berhasil, maka diterapkan cara kedua, yaitu dengan cara dipaksa menggunakan sistem kaleng, yaitu setiap hari diminta memasukkan uang ke dalam kaleng yang diputarkan, alhasil kini para tukang becak tersebut sudah memiliki usaha sendiri.
Menarik sekali kalimat dari bapak Suroto yang satu ini ” sebenarnya para tukang becak itu kaya, tapi di stop oleh Kapitalis”.
Merenungkan pernyataan tersebut, muncul pertanyaan dalam benak,
1. Bukankah para kaum kapitalis global juga mempunyai koperasi, yaitu konsorsium raksasa yang menguasai industri dari hulu sampai ke hilir dan mengatur pemasarannya mulai dari distributor utama hingga pengecer.
2. Apakah masih ada peluang bagi koperasi, sedangkan saat ini retail raksasa yang mempunyai jaringan pemasaran besar dan bekerjasama dengan produsen sudah merambah hingga ke desa – desa dan perumahan.
3. Apakah sebagai produsen, koperasi mampu memenuhi persyaratan ketertelusuran dan persyaratan mutu yang saat ini diwajibkan dalam beberapa standar Internasional.
Sepertinya diskusi dan seminar seperti ini perlu lebih sering diadakan guna mencari solusi untuk mewujudkan keadilan sosial.
Mengakhiri tulisan ini, perlu disampaikan pula bahwa pada awal seminar, bapak Suroto menceritakan bahwa toko miliknya kini sudah mencapai omset lima puluh juta rupiah per hari. Saat ini beliau juga menjadi anggota dari beberapa koperasi yang menjalankan usaha serupa, dan berani disanding dengan retail modern.
Jadi, tunggu apa lagi?